°
°
°
°
"Kondisi Papa untuk saat ini emang berangsur membaik, Sat. Tapi dokter tetep mewanti-wanti biar kita tetep waspada dengan kemungkinan kalau kondisi Papa bisa saja menurun tiba-tiba lagi."
"Gue bukannya mau doain yang jelek buat Papa. Tapi kita perlu nyiapin diri dengan segala kemungkinan."
"Meski kondisi Papa sudah membaik pun, gue nggak bakal rela ngebiarin Papa ngurusin pabrik. Kini saatnya lo yang harus ambil alih. Lo udah nggak punya pilihan selain mengiyakan. Lo sebagai cowok harus jadi pria yang bertanggung jawab, berhenti lari dan hadapi takdir lo. Udah cukup main-main lo!"
Kepala gue rasanya nyaris pecah mengingat semua ucapan Mbak Mita. Frustasi dan juga putus asa. Itulah yang tengah gue rasakan saat ini. Ingin rasanya gue lari dari semua tanggung jawab memuakkan ini. Gue nggak habis pikir, kenapa juga gue harus bertanggung jawab atas pabrik. Kenapa gue nggak dibiarkan memilih jalan hidup yang gue pilih sendiri? Kenapa garis hidup gue harus ditentukan mereka? Kenapa? Gue cuma mau ngeband, gue mau berkarya, gue mau terus bermusik, tapi kenapa ada aja halangannya.
Drrt Drrt Drrt
Gue buru-buru merogoh saku jaket saat merasakan getaran dari dalam sana. Mengeluarkan benda pipih yang sedari tadi meraung-raung minta dijawab panggilannya. Nama Bang Danu yang tertera di layar. Gue langsung menggeser tombol hijau sebelum menempelkannya pada telinga kiri gue.
"Ya, halo, Bang. Kenapa?"
"Posisi di mana? Masih di RS?"
"Enggak, Bang. Di rumah," jawab gue bohong. Karena sejak semalem gue masih di RS, bahkan saat ini pun gue masih di lokasi rumah sakit, meski kenyataannya gue saat ini cuma di tempat parkir. Tadi sih gue pamitnya mau balik, cuma hampir lima belas menit setelah masuk mobil, gue cuma duduk diem di sana dan nggak kemana-mana.
Helaan napas lega terdengar tak lama setelahnya. "Berarti ini kondisi bokap lo udah membaik nih?"
"Alhamdulillah, udah berangsur membaik, Bang. Semalem udah sadar dan pagi tadi udah dipindahin ke ruang inap biasa, udah nggak di ICU lagi meski masih dipantau agak intens juga."
"Ya, syukur deh kalau emang udah membaik. Moga makin membaik deh ya, sorry nih, gue belum bisa jenguk. Gue bantu doa aja deh sama titip salam buat bokap lo biar cepet sembuh."
"Iya, Bang. Thanks buat doanya."
"Ini anak-anak gimana? Udah ada yang ke sana belum sih? Gue hubungin pada susah bener?"
Gue mengusap rambut ke belakang sambil menyandarkan punggung. "Gue larang mereka ke sini dulu, soalnya kan mereka juga lagi sibuk, Bang. Jae lagi ngurusin Wendy, Dewa ngurusin skripsi, Brian sama Wira juga lagi nyiapin lagu baru."
Lagu baru? Astaga, gue baru inget kalau kita emang lagi nyiapin beberapa lagu baru untuk merilis album kami selanjutnya. Gimana kita bakal rilis album lagi kalau gue harus fokus ngurusin pabrik, gue kemungkinan nggak bakal bisa ikut rilis album bareng mereka. Atau yang lebih parahnya kami tidak bisa rilis album segera karena gue. Ditambah lagi Wendy baru saja melahirkan, karena ini anak pertama mereka, gue rasa Jae juga harus fokus ngurusin mereka dulu. Terus gimana dengan album baru kami?
"Sat! Lo masih di sana? Satya!"
Lamunan gue buyar.
"Hah? Gimana, Bang?"
Terdengar suara decakan dari seberang. "Lagi ngapain sih lo? Sibuk? Gue ngomong dari tadi nggak lo dengerin?"
"Sorry, Bang. Lo tadi ngomong apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage Express
FanficPublish : 10 Maret 2021 End : 17 Januari 2022 Mulai Revisi : 14 Februari 2022 End Revisi : 10 Maret 2022 Jovita Auristella tidak terima dilangkahi sang adik yang baru lulus SMA. Ia bertekad menemukan calon suami yang siap menikahinya sesegera mungki...