33. JOVITA

729 131 35
                                    

"Sat," panggilku pada Satya yang kini sedang fokus dengan kemudinya.

"Hmm," responnya seadanya.

Aku heran, sejak aku selesai mencoba salah satu gaun koleksi milik sang pemilik butik, sikap Satya sedikit berubah. Ia lebih banyak diam, saat ku tanya dipasti akan menjawab seperti barusan.

"Lo kenapa sih?" decakku dengan nada memprotes.

"Kenapa apanya? Gue biasa aja tuh."

"Biasa apanya, lo aneh tahu. Nggak kayak biasanya semenjak gue selesai coba gaun tadi. Kenapa? Seenggak cocok itu gue pake gaun sampai lo begini."

"Enggak," elaknya cepat. Ia menggeleng cepat lalu berdehem. Membuatku semakin bingung dibuatnya, ini orang kenapa sih? Batinku keheranan.

Masalahnya kami sebenarnya belum terlalu mengenal satu sama lain, jadi aku masih suka bingung kalau harus menghadapinya.

"Ya, terus? Kenapa?"

"Enggak papa."

Aku semakin berdecak kesal dibuatnya. "Jangan kayak cewek deh, Sat, ditanya kenapa jawabnya nggak papa," rajukku kemudian.

Aku kesal. Sambil menyilang kedua tangan di depan dada, aku langsung memalingkan wajahku ke luar jendela. Dan bukannya meminta maaf, Satya malah terbahak dan menggodaku.

"Ngambek?"

"Menurut lo?"

Dengan wajah polosnya, Satya mengangguk. "Iya, menurut gue lo lagi kayak ngambek sih. Gue beneran nggak papa kali, nggak usah berlebihan dong, Jovita. Serius, gue beneran nggak lagi kenapa-kenapa," ucapnya berusaha meyakinkanku.

Namun, aku lantas tidak bisa langsung percaya padanya. Bagiku sikapnya masih sedikit mencurigakan.

"Lo nyesel mau nikahin gue?"

Di luar dugaan, Satya tiba-tiba berdecak kesal. Tepat saat sedang lampu merah, ia menghentikan mobilnya dan menatapku galak.

"Apaan sih, kenapa jadi aneh-aneh deh?" protesnya kesal.

"Ya abis, lo jadi berubah tahu abis gue coba gaun tadi. Jadi banyak diem, kayak nggak fokus. Ekspresi lo langsung berubah seketika, wajar dong kalau gue mikir yang macem-macem?"

Saat lampu sudah berganti hijau, Satya memilih melajukan mobilnya terlebih dahulu, ketimbang membalasku.

"Lo bahkan nggak muji gue cantik atau apa gitu," gerutuku dengan suara pelan dan lirih.

Bahkan saking pelan dan lirihnya suaraku. Aku tidak yakin apa dia dapat mendengarnya dengan jelas.

"Lo ngomong sesuatu?"

"Nggak!" ketusku judes.

"Ya, biasa aja kan bisa, nggak usah ngegas."

Aku langsung melirik Satya sinis. "Ya gimana gue nggak ngegas, lo ngeselin, Satya!"

"Gue ngeselin di bagian mananya?" protes Satya terlihat tidak terima, "gue dari tadi biasa aja. Lo aja yang terlalu overthinking. Kurang-kurangin deh, nggak baik segala sesuatu yang over tuh."

"Oh, jadi ini salah gue?"

Kali ini Satya terlihat frustasi. "Ya, bukan begitu maksud gue." Ia melihat ke arah luar dan tiba-tiba menepikan mobilnya, setelah dirasa aman, "bentar, ini sebenernya yang lagi lo ributin apa? Ngomong yang jelas, gue nggak suka disuruh nebak-nebak. Kalau gue nggak paham dengan apa yang lo maksud, udah jadi tugas lo buat jelasin. Kita mau nikah, Jovita, ke depannya banyak hal yang akan kita hadapi nanti. Dan gue mau kerja samanya mulai sekarang."

Marriage ExpressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang