53. JOVITA

681 115 7
                                    

"Lo nggak bisa pergi gitu aja dong, Bri."

Aku otomatis langsung menoleh ke arah Wendy, ibu baru itu balas menoleh ke arahku. Kedua mata kami saling bertatapan, sambil menepuk bokong Alana yang kini terlelap di gendongannya, Wendy mengkodeku untuk melihat ke arah ruang tengah. Aku berpikir ragu.

"Tapi Alana?"

"Enggak papa, dia mah yang penting sama emaknya anteng," balas Wendy mencoba meyakinkan.

Meski awalnya ragu, akhirnya aku menganggukkan kepala tanda setuju. "Tapi nanti mereka bakal ngamuk nggak kalau seumpama kita nguping pembicaraan mereka."

"Enggak," jawab Wendy yakin.

"Tahu dari mana lo?"

"Lo suaminya leader Enam Hari, dan dia sedang bucin-bucinnya, ya kali mau ngamuk. Enggak lah."

Lah, kok aku?

"Udah, ayo buruan!"

"Alana nggak mending ditidurin di kamar gue aja?"

Wendy berdecak kesal. "Enggak, nanti yang ada dia malah bangun. Dia kalau bangun dan nggak ada orang suka rewel, ngambekan kayak bapaknya."

"Buat apa? Udah nggak ada yang perlu diomongin, Bang, perilisan album terancam ditunda lagi. Enggak ada gunanya, mending bubar aja sekalian. Gue capek-capek bikin lagu sampe lupa tidur, dari pagi ketemu pagi tapi apa hasil yang gue dapet? Kita bahkan nggak bisa rilis album itu. Gue mau berkarya karena pengen kasih tahu dunia karya gue, kalau begini, dunia bahkan nggak tahu kalau gue punya karya."

Itu suara Brian. Selama kenal Enam Hari, menurutku Brian memiliki sifat paling asik dan humoris di grup. Dia tuh biasanya yang paling pinter mencairkan suasana, entah itu beneran lucu atau tidak, setidaknya suasana terasa berbeda kalau Brian yang nyeletuk. Tapi sekarang? Justru suara dia yang terdengar paling tinggi. Dan itu terdengar mengerikan.

Orang yang nggak pernah kelihatan marah, sekalinya marah tuh serem. Kayak Satya. Tapi kalau dipikir-pikir Brian nggak ada apa-apanya sih dengan marahnya Satya. Kalau Jae marah-marah sih udah biasa, justru dia serem kalau nggak marah-marah.

"Brian serem juga ya kalau lagi ngamuk."

Wendy mengangguk setuju. "Ini kedua kalinya gue lihat dia ngamuk."

"Yang pertama gara-gara apa?"

"Cewek."

"Dia ada cewek."

"Ya ada lah, ganteng dan punya banyak duit gitu masa enggak ada cewek."

Benar juga sih. Apalagi Brian kalau senyum manis banget, pasti banyak cewek yang suka. Aku rasa kalau saja aku bertemu dengan Brian lebih dulu ketimbang Satya, aku juga pasti naksir dia.

"Eh, tapi udah mantan sih sekarang," imbuh Wendy tiba-tiba.

Aku sontak langsung menoleh ke arah Wendy dengan ekspresi datarku. Ini kepala Wendy kalau kujitak nanti aku bakal kena omel suaminya enggak sih? Ah, laki Jae kan galak kalau sama aku. Kalau kujitak, bisa ngomel seharian.

"Gagal move on ceritanya."

Hah? Cowok ganteng dan banyak duit tuh, bisa gagal move on juga? Aku pikir tidak, secara kan mereka ganteng dan banyak duit pasti gampang lah cari penggantinya. Kan nggak susah. Harusnya. Apalagi tipe Brian.

"Duh, kasian gue jadinya. Padahal Brian ganteng loh, suaranya juga bagus. Gue suka. Mana kalau pamer senyum rasanya jadi kayak ngemut gula, saking manisnya."

Marriage ExpressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang