Bonceng

321 17 6
                                    

"Memang sulit mendapatkan kamu. Tetapi, lebih sulit melupakanmu"

-BerlianPermata-

"Mbak, bubur kacang hijaunya udah lewat belum?" Cewek yang masih terlentang di kasur itu berteriak keras karena mendengar suara kaki di balik pintu.

"Udah dari tadi." Balas suara yang tak kalah keras.

"Kok nggak bilang sih mbak." Cewek itu langsung bangun dari kasur sambil mengucek mata lalu ke cermin sebentar memastikan tak ada kotoran yang tersisa di matanya.

"Kamu aja yang tukang tidur." Suara yang tidak begitu keras karena langkah kaki di balik pintu sudah menjauh.

"Mau kemana?" tanya wanita paruh baya yang terkejut karena kemunculan Permata di dapur menuju gudang.

"Ke gudang ambil sepeda." Permata menjawab sambil berlari.

"Sepedanya udah di depan, tadi buat ibu beli sayur."

"Makasih bu." Tanpa menoleh Permata berlari menuju halaman depan.

"Jangan ngebut." Wanita paruh baya memperingati anak bungsunya.

"Bukan Permata kalau nggak ngebut." Jawab permata lirih siap mengayuh sepeda.

"Bang, bubur kacang hijaunya satu." Permata tersenyum senang karena abang kacang hijau masih di sekitar taman depan.

"Siap neng."

"Kok tadi Permata nggak tahu sih kalau abangnya lewat?" Sebelumnya Permata sudah pernah bilang ke abang tukang bubur apabila lewat di depan rumah Permata teriak dan pukul mangkok keras.

"Nengnya aja yang nggak denger, abang udah keras mukul nih mangkok waktu di depan." Abang tukang bubur menjawab sambil menunjukkan mangkok yang dipukul.

"Kurang keras kayaknya Bang."

"Nanti yang ada pecah neng, hehehe"

"Wih ada cewek tuh." Ucap cowok yang matanya semenjak tiba di taman melihat taman dengan detail tanpa terlewat.

Ketiga temannya yang memegang gadget menengok ke arah yang dimaksud kecuali satu orang yang sedang asyik bermain game.

"Emang lo nggak tahu? Itu kan anak sekolah kalian." Jawab temannya yang bertempat tinggal di sekitar taman.

"Kok gue nggak pernah lihat?" Monolog cowok yang lain.

"Namanya Permata."

"Bentar, bentar. Kelas berapa?" Tanya cowok yang lain yang tertarik akan obrolan yang berlangsung.

"Kelas 12, seumuran sama kita."

"HAH." Ketiga cowok yang mendengar itu terkejut.

Rosi segera melepas headset dengan kasar di telinga Berlian.

"Itu Permata?" Rosi menunjuk ke arah yang dimaksud dimana berdiri seorang cewek yang wajahnya dapat dilihat dari samping.

Si empu yang awalnya kesal kini melihat arah yang dimaksud Rosi.

Seorang gadis berpiyama pink dengan rambut cepol namun masih memperlihatkan rambut panjangnya dan beberapa helai yang tergerak karena terusik angin. Jangan lupakan, poni pagar betisnya yang menutupi dahinya.

Berlian melihat teman-temannya yang memandang gadis yang sama, seorang gadis yang bercengkeramah dengan tukang bubur dan akan segera pergi.

"Udah ngelihatnya, gue pergi dulu." Berlian melemparkan kunci motornya.

"Bawa kunci gue, nanti jemput gue." Ucap terakhir Berlian sambil berlari kecil ke tempat Permata berada.

"Permata balik dulu ya Bang."

"Siap neng."

"Kok berat, wah ini pasti kempes." Permata bermonolog lalu melihat ban belakang sepedanya. "Bener kan. Tapi,..." Permata melihat ban sepedanya sedikit kempes tapi ada kaki di sisi bannya.

Ketika ia mengangkat pandangannya ke atas. Permata menutup mata dan berekspresi tidak suka.

"Turun, turun Berlian." Permata menunjuk muka Berlian dan jalan.

"Bonceng."

"Ogah, cepet turun." Permata melakukan hal yang sama dengan menunjuk muka dan jalan beserta menggoyang-goyangkan sepeda.

Berlian justru menyeimbangkan posisinya dan duduk dengan nyaman di belakang.

"Berlian turun nggak. Ini sepeda gue dan lo harus turun."

"Nggak mau."

"Ya ampun, Berlian please turun ya. Gue mau pulang." Permata bersuara lebih pelan.

Berlian menggelengkan kepalanya.

"Terserah lo Berlian." Permata turun dari sepeda dan jalan kaki.

"Nggak mau bonceng?" Berlian kini menaiki sepeda Permata di bagian depan sambil menyejajarkan sepeda yang ia naiki dengan Permata yang berjalan.

"Ogah." Ucap Permata tanpa menoleh tetap berjalan kaki.

"Yakin?"

"Iya. Lo nggak merasa bersalah gitu, itu sepeda gue loh tapi lo yang naik." Permata berhenti dan menoleh ke Berlian yang menaiki sepedanya.

"Nggak tuh."

"Bodo amat." Permata kesal dan berjalan kaki kembali.

"Sepedanya gue pinjem buat pulang ya?" Berlian menyejajarkan sepedanya kembali dengan Permata.

"Berlian, rumah lo jauh. Daripada lo naik sepeda lebih baik naik motor." Nasehat Permata tak lupa tersenyum.

"Gue lebih suka naik sepeda."

"Terserah lo." Permata kesal menarik lagi senyumnya dan berjalan.

"Yaudah gue bawa pulang nih sepeda."

"Berlian, lo mau kemanain sepeda ini? Ini sepeda gue." Permata menoleh ke Berlian.

"Terserah gue lah, tadi kan lo bilang gitu."

"Berlian, please turun ya. Gue mau pulang." Mohon Permata dengan suara pelan.

"Oke, tapi boncengin."

"Lo nggak sadar, lo itu lebih besar dibanding gue. Mana gue kuat boncengin lo." Permata naik oktaf karena kalimat Berlian yang tak masuk akal.

"Yaudah, kalau gitu gue yang boncengin. Mau nggak?" Berlian tersenyum menawarkannya.

"Ogah." Permata kembali berjalan kaki.

"Yakin?" Berlian tersenyum menggoda menyejajarkan sepeda dengan Permata.

"Capek loh jalan kaki, gue boncengin nggak capek tuh." Imbuh Berlian sambil tersenyum.

"Berlian, lo emang bikin gue emosi mulu. Cepet gue mau pulang." Permata akhirnya naik di boncengan dengan muka cemberut.

"Dari tadi kek Permata." Berlian tersenyum.

###

24/01/2022

Percaya nggak benci jadi cinta?

Percaya nggak beberapa scene dari awal ada yang nyata?

From:
Permata Masa Depan

Berlian Permata Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang