Hari ini mbak Neta seperti biasa akan pulang lebih sore. Permata harus menunggu mbak Neta sekitar satu jam. Ia memutuskan untuk masih berada di kelas. Dan kini ia di kelas sendirian. Karena di luar tiba-tiba hujan dan Permata tidak membawa jaket, kini ia kedinginan.
Kucir kuda yang tadi dilepas Berlian dan kemudian Permata mengucirnya seadanya, kini ia lepas. Setidaknya rambutnya dapat menutupi lehernya yang kedinginan, ia juga melepaskan jepit rambut sehingga secara otomatis poninya menutupi jidat kembali. Ia tak lupa melepaskan kacamatanya. Ia berencana tidur. Rasanya sangat tidak nyaman menggunakan kacamata jika sedang tidur.
Permata meletakkan aksesorisnya tersebut di meja dan kini ia menghadap ke samping, lebih tepatnya dengan penampilannya yang sekarang ia menghadap jendela dan membelakangi pintu masuk. Ia tertidur dengan suara gemericik air hujan di luar. Sangat nyaman dan ia pun tertidur lelap. Sebelumnya ia menaikkan nada keras di ponselnya agar telepon dari mbak Neta dapat didengarnya.
Berlian dan ketiga temannya yang sedari tadi berada di kantin kini hendak kembali ke kelas, namun tiba-tiba Rosi yang satu kelas dengan Permata yang hendak mengambil tas dikejutkan dengan sosok cewek di bangku dengan rambut panjangnya. Ia berdiri mematung di depan pintu kelas dan segera memanggil teman-temannya yang sudah mengambil tasnya di 12 IPA 1.
"Sini, cepet," Rosi memanggil temannya tidak bersuara keras dan melambaikan temannya.
Teman-temannya yang melihat itu segera menghampiri Rosi.
"Ada mbak kunti." Rosi menunjuk cewek itu.
Ketiga temannya memandang arah telunjuk Rosi dan mengamati mbak kunti.
"Di mejanya ada kacamata, masa mbak kunti pakai kacamata," ucap Reynand yang masih berpikiran positif.
"Siang-siang gini nggak ada mbak kunti, siapa temen kelas lo yang biasanya pakai kacamata?" Berlian berusaha berpikir positif saja, dia tidak terlalu percaya dengan makhluk dunia lain.
"Seinget gue si Ridho," Rosi menginga-ingat teman satu kelasnya. Dan terlintas wujud Ridho.
"Yang cewek ogeb," Tristan yang sedari tadi masih mengamati mbak kunti kini bersuara.
"Mmmmm, siapa ya. Gu inget, si Permata. Iya si Permata, yang akhir-akhir ini cari gara-gara sama lo," Rosi menunjuk Berlian.
"Namanya Permata?" Berlian bertanya spontan karena nama yang lama tidak terdengar itu kembali terdengar lagi.
"Iya Permata, namanya Permata. Dia satu-satunya cewek yang pakai kacamata di kelas ini," Rosi meyakinkan teman-temannya.
"Namanya Permata siapa?" Berlian kembali bertanya.
"Gue nggak tahu, coba lihat di daftar piket," Rosi menunjuk daftar piket di spanduk besar di depan kelas.
Keempat orang itu juga mengalihkan pandangannya yang semula ke mbak kunti kini ke spanduk besar di depan. Tidak ada yang berani melewati pintu atau masuk ke dalam. Mereka berempat berusaha membungkuk untuk melihat spanduk dengan jelas.
"Hari Rabu, namanya Permatani Seressa," Rosi yang berada paling depan memberitahu teman-temannya.
Berlian yang mendengar itu segera netranya menatap spanduk itu dan berulang kali mengeja nama itu supaya tidak keliru.
"Cepet ambil tas, kita tunggu sini," Berlian menyuruh Rosi untuk masuk ke dalam.
"Iya cepetan gih Rosi, lo mau mbak kunti keburu bangun," Reynand menyuruh Rosi supaya cepat mengambil tasnya.
"Cepet Ros, lo mau kita tinggal," Tristan berusaha membujuknya.
Padahal mereka bertiga kecuali Rosi sudah mengetahui si mbak kunti itu adalah Permata, hanya Rosi saja yang masih menganggapnya mbak kunti.
Rosi berjalan secara diam-diam berusaha tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Setelah mendapatkan tasnya, ia kembali beranjak ke pintu dengan wajah yang semula pucat pasi kini kembali tenang.
"Kalian pergi dulu aja, nanti gue nyusul," ucap Berlian.
"Lo mau ngapain?" tanya Tristan.
"Gue ada urusan, kalian pergi dulu aja," Berlian meyakinkan teman-temannya untuk ke parkiran lebih dulu. Karena hujan sudah mulai reda.
"Jangan apa-apain anak orang. Inget di sini sepi, setan banyak," Reynand menasehati Berlian dan beranjak pergi.
Kedua temannya yang masih berdiri di sana dengan segera mengikuti Reynand.
Berlian dengan segera memasuki kelas itu dan tanpa takut menuju bangku di hadapan kepala Permata yang tertidur dengan kepala miring menghadap jendela. Berlian kini duduk di bangku yang bersebrangan dengan Permata. Dengan jarak seperti ini, ia dapat melihat wajah Permata secara detail dengan penampilan yang dimiliki Permata tanpa adanya penyamaran. Berlian melihatnya secara detail wajah cewek di depannya, dan ia mengingat bahwa wajah inilah yang berstatus sebagai musuhnya ketika di SD.
Berlian tersenyum senang. Berlian menemukannya. Rasa keraguan di kantin pada cewek kacamata yang 2 hari ini sudah berani dan menjailinya ternyata kini sudah dapat disimpulkan. Cewek kacamata adalah musuhnya. Pantas saja ia berani. Ternyata ia musuh abadinya. Berlian tersenyum senang seakan-akan ia sudah membongkar kejahatan kelas kakap yang sudah lama tersembuyi.
Berlian pun tidak sadar mengikuti gaya Permata yang tertidur di depannya. Mereka berdua saling menghadap dengan kepala miring tertidur di salah satu tangan. Hanya yang membedakan, yang satunya matanya tertutup sedangkan yang satunya melihat lawannya sambil tersenyum.
Kegiatan itu berlangsung cukup lama dan kini tiba-tiba terdengar suara handphone Permata yang memang handphonenya disengaja untuk bersuara keras. Berlian segera bangkit dari bangkunya untuk beranjak pergi sebelum si empunya bangun. Namun, ide jail terbesit di kepalanya dengan mengambil aksesoris gadis itu. Berlian mencuri kacamata, kucir rambut, dan jepit rambut itu sebelum pergi.
Permata yang terganggu tidurnya dengan suara panggilan yang beberapa kali di ulang itu segera bangun dan mematikan panggilan itu. Ia diam sebentar untuk mengembalikan kesadarannya dan beranjak untuk mencari aksesoris yang tadi dilepasnya.
Ia pun kini bingung karena aksesoris yang jelas-jelas diletakkan di meja tidak ada. Ia mencari di sekitar bangkunya, sampai laci dan lantai. Suara panggilan handphone itu terdengar kembali dan Permata segera beranjak keluar kelas karena mbak Neta sudah dipastikan kini mungkin sudah berubah menjadi iblis yang bertanduk. Ia berjalan di koridor dan beberapa kali berpapasan dengan siswa SMA Pelita Harapan dan ia mendengar bisikan-bisikan kecil yang membuat Permata semakin menutup kedua pipinya dengan rambut panjangnya. Seperti sadako jika dilihat, hantu berjalan.
Kok gue nggak pernah ngelihat cewek itu ya
Rambutnya panjang
Kayaknya anak kelas 12, tapi gue nggak pernah lihat
Dia kayaknya tadi dari koridor kelas 12
Siapa ya?
Apa anak baru?
Permata tidak menanggapi bisikan itu dan berjalan cepat ke depan dengan rambut yang menutupi kedua pipinya dan beberapa kali menunduk. Sangat menakutkan.
Kedua mata Berlian yang melihat tingkah musuhnya itu membuatnya tersenyum. Ia mengamati sedari tadi sejak Permata yang kebingungan mencari aksesorisnya dan melewati koridor kelas dengan bisikan-bisikan yang juga dapat didengarnya.
Rencana Permata gagal. Berlian sudah mengetahuinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berlian Permata
Teen Fiction"Jangan terlalu benci nanti cinta" "Nggak akan" Musuh abadi sejak zaman SD, dipertemukan kembali di SMA. Sudah 2 tahun penyamaran Permata tidak terdeteksi Berlian. Namun tinggal satu tahun sebelum lulus, penyamarannya terbongkar. Sebab jus strawber...