Pelajaran seni budaya sedang berlangsung di kelas Permata. Pak Mamat segera menyuruh semua muridnya untuk membuka buka paket untuk dibahas dengannya. Namun, tiba-tiba saja tanpa ada yang mengundang seonggok darah yang berwujud manusia itu muncul di kelas Permata sambil mengetuk pintu lalu masuk menghampiri Pak Mamat yang duduk di bangkunya. Orang itu tak luput dari perhatian satu kelas.
"Assalamualaikum, Pak Mamat. Apakah saya boleh mengikuti kelas Bapak?"
"Kenapa kamu ingin ikut kelas Bapak Berlian?" Pak Mamat menatap intens muridnya ini yang termasuk dalam kategori nakal karena sering melanggar peraturan.
"Saya suka sama pelajaran seni budaya Pak. Jadi, saya ingin belajar seni budaya di kelas ini."
"Sejak kapan kamu suka pelajaran seni budaya? Biasanya aja waktu pelajaran saya, kamu malah ngobrol sendiri."
"Mulai sekarang saya suka Pak. Boleh kan saya ikut pelajaran di kelas ini?"
"Ini bukan jadwal kelas kamu. Kamu kan ada pelajaran lain di kelas kamu. Jadi, kamu tidak Bapak perbolehkan."
"Kelas saya kosong Pak."
"Kalau kelas kosong ya kerjakan tugas yang diberikan sama guru pelajaran kamu Berlian."
"Pengumpulannya minggu depan Pak. Kan bisa dikerjakan besok-besok. Daripada saya ribut di kelas, lebih baik saya ikut pelajaran Bapak kan?"
"Ya, Bapak perbolehkan kamu ikut pelajaran saya. Sana cari bangku kosong."
"Terima kasih Pak Mamat." Berlian segera menuju bangku kosong dan tatapannya menatap tajam Permata sepanjang menuju bangku dengan senyuman jailnya.
Permata yang melihat itu tiba-tiba saja merasakan hawa resah yang dirasakan tubuhkan. Sepertinya Berlian memiliki rencana untuk menjailinya.
Tanpa Permata sadari. Berlian yang semula berada di bangku pojok yang cukup jauh dari Permata kini sudah berada di belakang bangku Permata.
Berlian menyentuh punggung Permata dengan bolpoin pinjaman. Sungguh Berlian ikut kelas Pak Mamat tanpa membawa barang apapun. Cuma modal nyawa untuk mengikuti kelas.
Permata yang terkejut segera menengok ke belakang dan mendapati si empu pemegang bolpen sedang tersenyum jail.
"Aish, ngapain sih lo di belakang gue. Sono pergi, jangan di belakang gue." Permata bersuara lirih agar Pak Mamat yang sedang menjelaskan di depan tidak mendengarnya bicara.
"Gue mau pinjem buku paket."
"Ogah. Pinjem aja sama yang lain."
"Yang lain pada nggak mau."
Bukannya yang lain nggak mau, Berlian saja yang tidak mau mencoba meminjam selain dengan Permata.
"Bukan urusan gue. Makanya jangan masuk kelas gue. Udah tau bukan jadwal kelas lo, malah masuk kelas gue."
"Gue mah pengen pinter Permata. Makanya rajin. Buruan gue pinjem buku paketnya."
"Nggak mau Berlian, ini buku paket gue."
"Nanti dipakai berdua."
"Ogah banget, berisik Berlian. Lebih baik lo keluar kelas aja."
"Nggak mau Permata. Cepet siniin buku paket lo."
"Nggak mau Berlian."
Berlian segera berdiri dan mengambil buku paket di meja Permata. Permata yang tidak menyangka bahwa Berlian senekad itu hanya bisa pasrah ketika buku paket seni budaya sudah berada di genggaman Berlian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berlian Permata
Teen Fiction"Jangan terlalu benci nanti cinta" "Nggak akan" Musuh abadi sejak zaman SD, dipertemukan kembali di SMA. Sudah 2 tahun penyamaran Permata tidak terdeteksi Berlian. Namun tinggal satu tahun sebelum lulus, penyamarannya terbongkar. Sebab jus strawber...