Married (25)

12.7K 928 173
                                    

Berangsur-angsur keadaan Nana semakin membaik. Tidak ada lagi gifs yang membalut tangannya, tidak ada lagi Nana yang selalu murung dan mengurung diri di dalam kamar. Berkat Jeno dan orang-orang tersayangnya yang setia mensuportnya. Walaupun terkadang Nana menangis tatkala mengingat baby Zion yang sudah tenang berada di pangkuan sang Pencipta.

Nana dan Jeno menghentikan langkahnya di depan pusara sang putra. Mereka berjongkok, kemudian mengusap papan nisan yang bertuliskan nama putra mereka.

"Hai, apa kabar sayangnya Mommy? Di sana kamu pasti baik-baik aja, 'kan, ya? Di sana Zion bahagia, ya?" Selalu itu yang Nana tanyakan setiap kali ia mendatangi makam putranya.

Sudah hampir setahun baby Zion pergi meninggalkan mereka untuk selamanya. Namun, Nana merasa pertanyaan itu masih ada bersamanya. Bukan Nana masih tidak bisa mengikhlaskan, hanya saja ini terlalu berat untuk ia jalani walaupun Jeno selalu berusaha menguatkannya dan memberinya kalimat-kalimat agar ia bisa ikhlas.

"Mommy kangen sama kamu, sayang. Daddy juga__ kangen sama kamu. Mommy kangen ngajak ngobrol kamu dan mommy juga kangen sama gerakkan-gerakkan kecil kamu waktu di dalem perut mommy. Mommy minta maaf karena waktu itu gak bisa jaga kamu. Mommy..." Ujar Nana dengan suara bergetar dan tidak bisa melanjutkan ucapannya.Lensa beningnya mulai di selimuti air mata.

Nana memang baru bisa datang ke makam sang putra karena ia harus menjalani perawatan pada tangan dan kakinya. Dan sekarang, Nana sudah bisa menggunakan kaki dan tangannya seperti sedia kala.

"Sudah, sayang, kita harus mengikhlaskan baby Zion. Baby Zion adalah titipan yang Tuhan percayai pada kita,baby Zion pasti sedih liat mommy sedih. Zion udah bahagia di sana." Ujar Jeno berusaha menguatkan sang istri yang masih belum benar-benar bisa melepaskan kepergian putra yang ia dan Nana nantikan kelahirannya. Namun, karena Tuhan berkehendak lain, mereka harus kehilangan calon bayi mereka.

Jeno merasakan apa yang di rasakan oleh istrinya, namun ia harus tetap terlihat kuat dan tegar. Ia harus menjadi pegangan dan penguat untuk Nana yang sedang rapuh. Walaupun sebenarnya dirinya pun sama rapuhnya.

Nana tetap diam sembari menatap nisan sang anak dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipinya.

"Kita pulang sekarang. Hari sudah semakin sore."

Nana tidak menolak ketika Jeno membantunya berdiri dan membawanya kembali ke mobil.

*****

"Baby Zion adalah titipan yang Tuhan percayai pada kita walaupun pada akhirnya Tuhan kembali mengambilnya di saat kita belum bisa melihat rupa wajahnya, menggendongnya dan memeluknya." Jeno kembali berujar ketika keduanya sudah berada di mobil. Namun, Nana masih saja menangis tanpa mau memandang ke arahnya. Ia hanya memandang keluar jendela, lebih tepatnya pada gundukan-gundukan tanah yang luas.

"Yang menjaga amanat sebaik-baiknya, dan rela ketika titipannya kembali di ambil oleh sang Pencipta. Titipan tidak akan selamanya menjadi milik kita. Tuhan akan menggantikan sesuatu yang hilang dengan yang lebih baik lagi. Tapi, itu semua butuh proses, kita harus sabar dan ikhlas menerima apa yang sudah menjadi ketetapanNya." Sambungnya dengan hati-hati.

Jeno tidak ingin ucapannya menyinggung perasaan istrinya yang menjadi lebih sensitif semenjak kehilangan calon bayi mereka.

Nana mengalihkan atensinya pada Jeno yang juga sedang menatapnya.

"Kenapa ngomong kayak gitu? Seolah-olah kamu itu nggak merasa sedih kehilangan calon anak kita."

Jeno menggelengkan kepalanya tidak membenarkan ucapan Nana.

"Aku sedih, tapi aku berusaha menerima semuanya walaupun itu berat. Kehilangan calon bayi yang sudah kita nantikan kelahirannya namun dalam sekejap dia meninggalkan kita. Orang tua mana yang tidak sedih? Aku sedih, tapi aku nggak mau menujukkannya di depan kamu. Karena aku ingin menjadi penguat kamu di saat kamu terpuruk kayak gini." Tukas Jeno dengan mata memerah serta suara yang bergetar.

Married ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang