Setelah kepulangan Nana dari rumah sakit beberapa hari lalu, Nana hanya berdiam diri di dalam kamar. Ia menjadi lebih pendiam, duduk di atas kursi roda sambil memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Kehilangan bayinya membuat Nana terpuruk dan sangat terpukul.
Kadang kala ia menangis sambil memandangi foto hasil USG calon bayinya atau menciumi kaos kaki mungil yang ia buat dengan tangannya sendiri khusus untuk buah hatinya. Rasa rindunya sedikit terobati hanya dengan melihat barang-barang itu. Tak ayal ia selalu bermimpi dengan seorang anak kecil yang sangat mirip dengannya dan memanggilnya mommy. Ketika ia menghampiri dan ingin memeluknya, dia menghilang menyisakan kesedihan dan sesak di dadanya.
Kesedihan yang Nana rasakan begitu mendalam sehingga membuatnya terkadang berpikir untuk pergi agar bisa menemui sang buah hati.
Tapi, Nana sadar ia begitu egois. Dia ingin pergi agar bisa bertemu dengan buah hatinya lantas bagaimana dengan Jeno? Apakah dia akan tega meninggalkan suaminya dalam keadaan seperti ini?
Ketika Jeno memperlihatkan foto bayinya yang sempat Jeno abadikan saat di rumah sakit. Pada saat itu pula tangisan Nana pecah. Dia, dia tidak menyangka bayi yang ia kandung telah tiada.
"Kenapa? Kenapa kamu ninggalin mommy, sayang? Padahal mommy belom sempet liat wajah kamu, gendong kamu, denger suara tangisan kamu dan terbangun di tengah malem karena popok kamu basah. Kenapa sayang?" Oceh Nana mulai terisak.
"Mommy kangen sama kamu, sayang," Isak Nana lagi menyentuh foto USG yang ada di genggamannya.
"Baby Zion juga pasti kangen sama mommy," Sebuah suara menyahut dan tak lama kemudian sebuah pelukan hangat menyelimuti tubuhnya. Memberikan kehangatan untuknya.
Jeno mendaratkan satu kecupan di sisi kepala Nana penuh sayang sebelum kembali merengkuhnya.
Zion adalah nama yang Jeno berikan untuk bayi mereka. Zion Arsenio Ligantara.
"Dan sekarang baby Zion pasti lagi mandangin kita di syurga sana." Ucapnya lagi. "Baby Zion akan sedih kalo liat mommynya sedih,"
"Kata mama, kamu belum makan siang dan ini udah lewat jam makan siang, sayang," Jeno melirik arlojinya yang kini sudah menunjukkan pukul dia siang.
"Abang ambilin dulu makan siang buat kamu, ya. Kamu tunggu di sini," Sambungnya namun tidak mendapat balasan dari Nana. Nana tetap diam dalam kebisuannya.
Jeno beranjak keluar kamar untuk mengambil makanan untuk makan siang sang istri.
*****
Beberapa saat kemudian Jeno kembali dengan nampan yang di atasnya terdapat sepiring makanan dan segelas air putih.
"Sekarang kamu makan, abang suapin, ya?" Ucap Jeno lalu menyodorkan sendok ke depan mulut sang istri.
Nana tidak menolak dan membuka mulutnya. Dan itu hanya tiga suapan saja karena setelahnya Nana menolak membuka mulutnya lagi. Jeno menghela nafasnya dan memutuskan tidak memaksa Nana untuk menghabiskan makanannya.
Setelah memberi minum dan membersihkan mulut Nana, Jeno beranjak membawa piring dan gelas kotor ke dapur.
"Bagaimana, Jeno, apa Nana mau makan?" Jeno menoleh lalu menganggukkan kepalanya singkat.
"Iya, mah, walaupun sedikit. Tapi, seenggaknya Nana mau makan," Sahut Jeno tersenyum kecil pada mama Winwin.
"Terimakasih karena kamu udah sabar merawat Nana. Mama tahu ini sangat berat buat kalian berdua. Tapi, di setiap kejadian pasti ada hikmahnya," Ucap mama Winwin mengusap bahu Jeno untuk menguatkan.
"Udah tugas aku sebagai suami Nana ngerawat Nana, mah. Dan aku berusaha nerima ini semua. Mungkin Tuhan belom mempercayakan seorang anak pada kami. Di sini aku juga harus jadi kekuatan buat Nana supaya Nana bisa melewati ujian ini,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Married ✔
FanfictionJeno terpaksa menggantikan posisi sang kakak menikahi Nararya Jaemin Arsyanendra. Calon istri sang kakak. Karena sebuah alasan klasik Mark pergi dihari pernikahannya. apakah Jeno dan Jaemin mampu mempertahankan pernikahan mereka atau justru berakhi...