Mimpi Buruk Termanis

9.6K 718 10
                                    

Alan POV

Adik?" wajah tembemnya merengut lucu waktu aku mengangguk mengiyakannya "Emangnya kalo adik bisa ngelakuin ini sama kakaknya?" aku ngga pernah menyangka dia bakal ngelakuin apa yang dia lakukan didetik berikutnya.

Rindy mendekat padaku dan melumat bibirku dengan cepat. Aku ngga pernah mengira bakal mendapat serangan dari seorang cewek seperti ini. Kuakui bibirnya memang terasa sangat lembut dan manis. Dia berusaha menggodaku. Ciumannya pelan dan membujuk bibirku yang diam untuk membuka dan membalas ciumannya. Rindy memang punya kepribadian yang sulit ditebak. Aku sama sekali ngga menyangka dia bisa melakukan ciuman selihai ini. Belajar dari mana dia?

Kutatap bibir merah alaminya yang masih basah, dia balas menatapku dengan senyumnya itu. Senyum yang kubenci karena sering mengganggu benakku. Tatapannya jelas meledekku sekarang, dia pasti merasa menang dariku.

"Kadang ada juga kakak yang ngelakuin ini sama adiknya." aku mengalah pada naluri lelakiku saat meletakkan tanganku dibelakang lehernya dan menariknya mendekat. Sekali lagi memandang ke dalam matanya, mencari keraguan yang tidak kutemukan disana. Dia menatapku dengan berani dan menantangku untuk bertindak lebih jauh.

Ketika sudah tidak ada jarak diantara wajah kami, giliran aku yang melumat bibir manisnya. Jangan panggil aku Alan kalo ngga bisa bikin wanita yang kucium mendesah dan memasrahkan dirinya padaku. Termasuk Rindy. Dia mulai membuka bibirnya, mengizinkan lidahku menari didalam sana, dan kembali melumat bibirnya, memberi gigitan-gigitan kecil disana. Bisa kudengar Rindy mulai mengeluarkan suaranya, serak. Sudah saatnya aku berhenti. Aku ngga akan membuat dia memberikanku kesempatan yang lebih jauh untuk tubuhnya.

"Kok berenti sih?" tanyanya masih dengan nafas yang sedikit memburu. Seragam SMA yang masih dia kenakan membuat hasrat yang berusaha kutahan menghilang seketika.

"Cuma sekali ini." ucapku, berusaha mengembalikan akal sehatku. Rindy merapikan seragamnya yang sedikit terlihat berantakan, mungkin ulah tanganku barusan.

"Jadi kita pacaran?" Huh, pertanyaan ini lagi.

"Kan udah gue bilang enggak. Gue jadiin adik aja udah terlalu bagus buat lo. Jangan pernah mengharap lebih dari itu." dia kembali merengut padaku.

"Sebenarnya apa sih arti gue buat lo?" Rindy mengambil tasnya.

"Lo ngga lebih dari mimpi buruk buat gue." Mimpi buruk termanis lebih tepatnya.

"Wah..lo mimpiin gue juga ternyata?" wajah cemberutnya mendadak berubah sumringah.

"Mimpi buruk. Lo. Bukan berarti gue mimpiin lo."

"Ngga papa deh. Gue tetap nganggap lo mimpiin gue."

"Terserah lo mau ngomong apa deh." ucapku, menyerah beradu mulut dengan Rindy.

"Lo pernah pertimbangin apa yang udah perasaan gue yang coba gie kasih liat dari lo ngga sih? Gue kan juga perlu kejelasan Lan." Rindy sengaja menatap mataku dengan lekat. Dia pasti tau ada yang mengganggu dipikiranku sekarang.

"Lo liat apa disana?" dan dia pasti mengerti. "Beri gue waktu."

"Gue pulang dulu ya. Sampai ketemu dikencan kita selanjutnya!!"dia mengangguk sambil tersenyum.

Seperti kedatangannya yang tanpa bisa diduga, dia juga pergi seperti itu. Dengan cepat dia menghilang dibalik pintu dan tanpa kusadari kakiku melangkah menuju jendela, mencari sepeda pink yang biasa dia parkirkan disebelah mobilku. Hari ini rupanya dia ngga menggunakannya, sepeda itu tidak terlihat. Aku justru melihat motor besar hitam yang terparkir diluar pagar dan pemiliknya sedang duduk tak jauh dari sana. Rion. Apa yang dia lakukan disini?

Jawaban dari pertanyaanku barusan terjawab saat kulihat Rindy berlari kecil menghampirinya. Memakai jaket yang cowok itu berikan padanya dan melingkarkan lengannya dengan nyaman dipinggang Rion saat mereka mulai melaju dan berlalu dari pandanganku. Aku merasa mereka begitu cocok saat bersama.

***

Apa yang baru keluar dari mulut Rindy membuat Devi membelalakkan matanya. Dia menepuk lengan Rindy dengan keras, membuat cewek itu mengaduh, membuat suara berisik yang mengundang pelototan dari Kak Nessa yang sedang menggendong Vasa yang baru tertidur. Sebelum wanita itu masuk membawa putranya, Rindy berlari menghampirinya, dan mencium pipi gempal Vasa yang putih. Kalo ngga takut Kak Nessa marah, sekarang Rindy pasti akan membangunkan Vasa dan mengajaknya bermain.

"Lo mesti ngejelasin yang barusan lo bilang. Lo gila ya? Gue ngga nyangka lo bakal ngelakuin itu Dy." Devi menarik tangan Rindy dan membawanya kembali ke ruang tamu.

"Lo serius nyium Alan duluan? Lo gila ya? mana ada sih cewek seagresif lo gini?" Rindy tertawa mendengar rentetan pertanyaan Devi.

"Kan gue pernah bilang bakal ngelakuin apapun buat ngedapetin dia."

"Maksud lo, lo bakal nyerahin itu juga buat dia?" Rindy mengerti arah pandangan Devi.

"Gue ngga semurahan itu kali Dev. Kalo yang satu itu buat Alan juga sih, cuma kalo dia udah jadi suami gue." Devi mengelus dadanya lega. Temannya masih dalam batas normal ternyata.

"Rion tau soal ini?" tanya Devi, teringat sesuatu.

"Ngga lah. Gue sengaja ngga ngasih tau dia soal ini. Dia pasti bakal marah sama Alan kalo tau. Kemaren aja gue ditungguin sama dia waktu ketemu Alan." Devi mengerti apa yang sebenarnya ada diantara dua sahabat ini. Walau Rion tidak menceritakan padanya, Devi bisa melihat perasaan cowok itu dengan jelas pada Rindy. Sejak mulai akrab dengan mereka berdua, Devi sudah melihat hal itu dengan sangat jelas. Sikap over protektif Rion pada Rindy diluar batas seorang sahabat.

"Lo yakin sikap lo yang sejauh ini bakal berhasil buat Alan? Kenapa sih lo ngga nyari cowok lain aja?"

"Gue udah terlanjur kepincut sama Alan. Lo kan tau gue ngga pernah bisa sama cowok sampai sejauh gue sama Alan." Devi tau alasannya.

"Lo juga sih. Suka gangguin hubungan Rion makanya dia juga gangguin hubungan lo sama cowok kan."

"Tapi kan gue udah ngga begitu lagi Dev. Terserah deh Rion mau jalan sama siapa juga, gue ngga bakalan ganggu."

"Lo telat. Lo ngga ngerasa, Rion sekarang ngga pernah tertarik sama cewek lagi?"

"Maksud lo di gay?" teman pintarnya ini kadang mengeluarkan jawaban asal kalo diajak bicara serius.

"Lo ngga peka banget sih Dy, lo ngga merhatiin dia ya?" Rindy baru menyadari hal ini. Dia terlalu sibuk dengan Alan dan melupakan sahabat yang selalu ada disampingnya. "Lo pernah denger dia cerita soal cewek ngga sama lo akhir-akhir ini?"

"Lo harus lebih merhatiin dia Dy. Dia diam bukan berarti dia ngga punya masalah atau sesuatu yang dia simpan sendiri." Rindy ingat malam waktu dia ngga ada disamping Alan waktu cowok itu menghadapi kepergian ayahnya. Rion terlihat tetap seceria biasanya dan itu membuat Rindy melupakan untuk memberinya semangat.

"Kok kita malah ngebahas Rion sih?" celetuk Rindy mengalihkan topik pembicaraan. Ada perasaan bersalah yang mau segera dia hilangkan. Tiba-tiba Rindy sangat merindukan Rion.

"Lo mestinya buka mata lo Dy. Lo ngeliat seseorang yang jauh sementara yang ada didepan mata lo lupain." Devi beranjak dari duduknya. "Pulang gih. Lo mau ngelakuin sesuatu kan?"

"Ngusir gue ya lo sekarang." Rindy mengambil tasnya dan bersiap pulang.

"Utang gue dipotong sama curhat lo malam ini ya." Rindy mencibir mendengar Devi mulai perhitungan, mirip seperti dirinya. Dia segera memacu sepedanya untuk pulang kerumah dan segera bertemu dengan Rion.
***

Hate You, Can I? (Silver Moon series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang