Rion POV
Rindy masih ngga bisa menghentikan tangisannya. Matanya sudah membengkak seperti bola ping pong. Sepertinya dia menangis sejak tadi malam. Tissu sudah seperti sprei kedua diatas kasurnya, bertebaran dimana-mana. Sahabat lebayku ini sepertinya benar-benar harus menyerah sekarang.
Masih teringat jelas dalam kepalaku bagaimana murkanya Om Wisnu tadi malam pada Rindy.
Flashback
Aku terbangun dari tidurku mendengar suara keras Om Wisnu yang sudah sangat lama tidak kudengar. Dengan cepat, aku segera melompat menuju kamar Rindy. Aku mengendap-endap menuju keluar kamar dan melihat mereka bertiga disana. Om Wisnu, Rindy juga Alan. Ngapain pria itu disini? Semalam ini pula? apa mereka kepergok berbuat mesum sama Om Wisnu disini? Sejak kapan Rindy berani membawa pria kerumah? Aiiiish...pikiranku mulai melantur.
"Maafkan saya Pak, Saya yang bawa Rindy." aku mendengar Alan meminta maaf dengan sopan. Om Wisnu nampak masih marah. Pak Kumis satu ini memang kalo sudah marah susah buat dibendungin. Karena itulah, putri anehnya itu jadi sangat penurut hanya padanya.
"Saya tidak suka ada pria yang masih bersama Rindy sampai selarut ini." untung aku COWOK dan bukan PRIA jadi aku boleh sama Rindy sampai selarut apapun. Ngga tau aja dia putri bandelnya sering nongkrong malam-malam dibalkon bersamaku.
"Kamu siapa? Pacar? Kalo emang mau berhubungan sama anak saya, jangan sekarang. Dia masih harus serius dengan pendidikannya."
"Maafkan saya. Saya akan pastikan Rindy akan tetap fokus dengan pendidikannya. Kejadian malam ini ngga akan terulang lagi. Saya berani berjanji untuk itu." Rindy terlihat mulai menangis. Dia pasti takut papinya membuat Alan tersinggung dengan perkataannya.
"Papi bilang kalo Rindy udah lulus SMA, Rindy boleh pacaran?" aduh Rindy, apa yang kamu pikirin sih? bukan saatnya menanyakan itu.
"Papi akan cabut persyaratan itu setelah melihat keberanian kamu sekarang dan selama kamu masih menginginkan fakultas hukum kamu itu." Om Wisnu mulai bawa-bawa fakultas pilihan Rindy lagi. Beberapa hari ini mereka memang perang dingin. Om Wisnu menginginkan Rindy meneruskan karirnya dibidang kedokteran dan Rindy menolak. Dia memang sejak lama menyukai bidang hukum, apalagi sekarang, dia mempunyai pengacara idaman yang membuatnya semakin semangat untuk mencapai cita-citanya.
"Papah jahat!!!" teriak Rindy histeris. Kulihat Alan menahan tangan Rindy,
"Kamu udah benar-benar kelewatan sekarang Rindy. Papah ngga akan mentolerir kesalahan kamu ini lagi." Alan...ayo. Kamu harus bertindak sekarang. Jangan diam aja.
"Biarkan Rindy memilih fakultas yang dia inginkan." ucapnya datar. Nah, gitu dong.
"Siapa kamu berani mengatur saya?"
"Seharusnya anda tidak memaksakan kehendak Anda pada Rindy. Dia sudah dewasa dan bisa memilih jalannya sendiri." Rindy menahan Alan yang terlihat menahan kemarahannya. Seandainya aku jadi, aku juga akan marah melihat Rindy seperti ini. Om Wisnu masih menganggap Rindy anak kecil yang harus terus dia pantau. Padahal dia sendiri sering tidak ada dirumah, lebih mementingkan pekerjaannya. Apa dia ngga takut akan kehilangan putrinya juga setelah istrinya yang lebih dulu memilih pergi? Om Wisnu harus tau, sifat kerasnya ini pelan-pelan akan membuat dia kesepian dan membuatnya kehilangan orang yang dicintainya.
"Rindy akan serius sama pilihan Rindy Pi, Rindy janji." Rindy berlutut memegang kaki Papinya, memohon.
"Kamu tau kan kamu harus memilih sekarang?" sepertinya Rindy dihadapkan oleh pilihan sulit. Kuliah yang dia inginkan dan Alan.
"Dia akan serius dengan kuliahnya dan saya tidak akan mengganggunya." apa maksudnya Alan akan melepaskan Rindy? jelas Rindy tidak terima dengan ucapan Alan barusan walau dia bingung juga mau memilih yang mana. Bukan begini caranya, Alan memang melakukannya untuk Rindy, tapi bukan berarti dia harus melepaskannya. Rindy pasti nangis darah habis ini.
Benar saja, aku ngga sempat lagi mendengar pembicaraan mereka karena harus kembali ke kamarku saat kulihat Rindy mulai berlari menuju ke kamarnya sambil menangis. Aku penasaran dengan apa yang dibicarakan oleh Alan dan Om Wisnu selanjutnya.
Flashback end
"Udah, jangan nangis terus. Ntar mata lo bisa copot kelamaan nangis." kutarik Rindy keluar dari lautan tissu bekasnya. Kamar ini harus dibersihkan secepatnya.
"Gue sedih Ri." aku menempatkan Rindy untuk duduk disampingku. "Lo udah tau kan ceritanya? gue tau lo nguping tadi malam."
"Apa yang lo sedihin? Alan?" dia mengangguk.
"Kok dia ngga mempertahanin gue sih? malah milih buat ninggalin gue." mungkin perasaan Alan tidak sebesar perasaan Rindy padanya.
"Dia mau yang terbaik buat lo. Lo emang pingin banget kan dari dulu masuk fakultas hukum? Alan pria dewasa dan dia tau yang terbaik." mana mungkin aku mengatakan isi pikiranku yang lain pada Rindy, bisa makin nangis bombay dia.
"Dia ngga tau aja dia ngomong sama siapa. Kalo dia bilang ngga bakal gangguin gue, itu artinya Papi ngga bakal ngebiarin gue ketemu dia lagi." Rindy emang paling takut sama Papinya.
"Lagian, Om Kumis lo lawan." Rindy memukulku dengan gemas. Aku harus menghiburnya sedikit sebelum bicara lebih serius dengannya.
"Jangan ngeledek Papi gue." Rindy selalu kesal bila Papinya kupanggil Om Kumis. Dia sudah mulai terlihat lebih santai.
"Harusnya lo senang Dy, lo kan bisa kuliah difakultas impian lo. Untuk urusan Alan, lo kan bisa diam-diam ketemu sama dia? Selama ini juga lo kan diam-diam juga. Papi lo kan ngelarang lo ngedeketin cowok juga?"
"Bukan cuma itu masalahnya. Tadi malam gue nelponin Alan. Dia bilang kalo dia beneran ngga mau gue datang ke dia lagi. Dia minta gue untuk jangan nemuin dia lagi." tuh kan? aku heran dengan apa yang ada dipikiran pria itu sebenarnya.
"Kalo itu memang maunya dia, gue akan turutin. Tapi kasih gue alasan."
"Dia bilang apa sama lo?" Rindy menggeleng lesu.
"Dia cuma bilang buat kebaikan gue. Apa gunanya kebaikan gue kalo sakit hati gini? dia pikir gue ngga capek diginiin terus? Sebentar-bentar dia baik sama gue. Sebentar-bentar dia ngindarin gue. Apa maunya sih?"
"Itu artinya, kali ini lo mesti ngikutin maunya dia."
"Tapi gue ngga bisa kalo ngga denger alasannya." dibilangin ngga mempan juga sih, ntar ujung-ujungnya nangis lagi. Rindy emang susah dikasih tau.
"Trus mau lo sekarang gimana? Daripada sedih-sedih gini? Katanya lo mau lebih kuat? Masa begini aja lo nangis?" Rindy menghambur ke bahuku. Kubiarkan dia menangis dengan sepuasnya dulu. Biar dia menenangkan pikirannya dan lebih tenang.
"Gue harus bicara sama dia. Gue rasa itu yang bakal gue lakuin sekarang." apapun yang dia lakukan sekarang, aku cuma bisa mendukungnya dan memastikan dia baik-baik saja. Seandainya Rindy harus terjatuh nantinya, tangankulah yang pertama akan meraihnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate You, Can I? (Silver Moon series)
RomanceBagaimana rasanya bila kamu terus ditolak dan ditolak? Segala usaha sudah kamu lakukan untuk melunakkan hatinya. Dia mencintaimu dan kamu tahu itu. Tapi dia masih menolakmu. Apa aku harus menyerah? Aku berharap bisa membencimu...kamu tau itu? Arind...