Begini Dibilang Adik?

9.1K 721 3
                                    

"Ngapain lo kemari?" sudah lama Alan ngga mengucapkan pertanyaan ini pada seseorang yang duduk menunggu di ruang kerjanya. Rindy tersenyum dan menghambur mengejarnya begitu melihat Alan muncul dari pintu. Dia langsung memeluk lengan pria itu dengan erat.

"Gue kangen banget deh sama lo. Jadi pacar gue ya," mana ada cewek yang bisa semudah ini mengajak seorang pria menjadi pacarnya, apalagi yang dia ajak pacaran adalah orang seperti Alan.

"Gue bilang ngapain lo kemari?" Alan melepaskan Rindy dan duduk ke sofa.

"Kurang jelas ya? gue bilang kalo gue kangen sama lo." Rindy menahan tangan Alan yang sudah mulai asyik mengutak-atik game didalam hapenya. Memaksa pria itu untuk menatap matanya.

"Lo ngga kangen ngga ketemu gue lama?" Alan menggeleng. Rindy bisa menangkap keraguan dimata pria itu. Dia pasti bohong. Dia bahkan bisa merasakan nafas Alan yang sedikit memburu menerpa wajahnya.

"Kita pacaran ya? Gue rasanya ngga bisa jauh dari lo?" Alan memejamkan matanya, bingung dengan apa yang harus dia lakukan pada cewek ajaib ini.

"Lo masih terlalu kecil buat jadi pacar gue. Lo bisa jadi adik gue kalo lo mau." pria itu berusaha memberikan penawaran pada Rindy. Dia mungkin ngga bisa menolak Rindy, tapi dia juga ngga mau hubungannya dan Rindy berakhir. Entah harus Alan sebut apa perasaannya ini.

"Adik?" tanya Rindy sambil merengut, Alan mengangguk. "Emangnya kalo adik bisa ngelakuin ini sama kakaknya?"

***

Rion POV

Rindy lagi ngapain ya disana? Sebenarnya kalo bukan karena larangannya, aku pasti ikut masuk ke dalam sana. Rasanya masih ngga rela ngebiarin Rindy berduaan sama Alan. Beberapa minggu yang sengaja kujadikan sebagai jarak buat mereka ternyata sama sekali ngga mempan buat Rindy, malah dia semakin gelisah mau ketemu pria itu. Aku harus mengakui bahwa aku memang kalah dalam hal ini. Tapi aku ngga akan menyerah kalo untuk urusan mencegah Rindy terluka lebih dalam karena Alan. Kalo dia emang ngga suka sama Rindy, harusnya dia menolak Rindy yang terus datang padanya. Aku tau cewek itu bukan orang yang mudah disingkirkan kehadirannya, tapi Alan juga bukan orang yang mudah menerima orang yang dia ngga inginkan hadir didepannya. Apa jangan-jangan dia juga mulai ada perasaan sama Rindy? Shhhhhhhht....jangan sampai!!

"Kenapa De? Kepalanya pusing?" aku melirik orang yang barusan bertanya padaku. Rupanya tanpa sadar aku baru menggelengkan kepalaku dengan kesal sambil menggeram.

"Iya." sahutku singkat. Malas pulang, aku lebih memilih menunggu Rindy sambil nongkrong ditukang es kelapa yang mangkal didepan kantor Alan.

"Jutek amat sih." gerutu orang itu. Setelah kuamati dengan seksama, sepertinya dia salah satu pegawai di kantor pengacara ini. Aku bisa melihat baju rapinya yang mini dan ngga ada mobil ataupun motor selain motorku terparkir disekitar sini.

"Anak itu datang lagi. Gue pikir kemaren dia ngga nongol lagi," dia bicara pada teman disebelahnya.

"Iya. Gue liat dia langsung nyelonong masuk aja tadi. Lo ngga cegah dia?" bau parfum wanita ini menyengat hidungku.

"Boro-boro nyegah. Gue ngga bisa ngelarang dia masuk. Pak Alan udah bilang sama gue, kalo adiknya datang, suruh langsung masuk aja." sepertinya mereka membicarakan Rindy. Siapa lagi yang berani masuk ke ruang kerja Alan selain cewek nekat itu?

"Lo percaya dia adiknya?" mana ada adik kakak yang ngga mirip sama sekali begitu? Jadi Alan mengatakan pada mereka kalo Rindy itu adiknya? Mana mau pria itu ketauan punya hubungan sama anak seumuran kami? Bisa rusak reputasi dia.

"Ngga sih. Tapi mungkin aja dia beneran adiknya. Soalnya Pak Alan itu ngga pernah bawa wanita selain kliennya kedalam ruang kerjanya. Dan gue liat mereka juga akrab banget," mulutku mulai gatal. Aku meneguk sisa air kelapa dalam gelasku.

"Gue kenal sama Ardlan, dan mengenalnya cukup baik sampai gue punya satu info penting yang kalian ngga tau." serempak kedua wanita itu menoleh ke arahku. Sekali-sekali bercanda dengan pengacara sok sempurna itu ngga papa kali ya. Aku menggerakkan jari telunjukku untuk memberi isyarat supaya mereka lebih mendekat padaku. Aku menatap mata mereka satu-satu, berusaha menyampaikan bahwa yang akan kukatakan ini serius dan akurat. Mereka mengangguk seakan mengatakan bahwa mereka mempercayaiku. Kutarik nafas dalam, dan menahannya saat mengucapkannya. "Dia Gay."

***

Rindy keluar dari dalam kantor Alan dan menghampiri Rion yang masih menunggunya dengan senyum selebar pintu musholla sekolah. Apapun yang cowok itu lakukan, pasti sebuah kejahilan, pikir Rindy. Dia mengambil jaket yang tadi dia titipkan pada Rion dan memakainya. Senyumya sendiri juga ngga kalah lebarnya dari cowok itu, lesung pipinya membuat Rion seakan bisa berenang disana. Rion menyerahkan beberapa lembar uang dua ribuan pada tukang es yang dari tadi menyuruhnya pergi karena cuma minum satu gelas, tapi dia duduknya lama, hampir 3 jam. Apalagi dia baru berulah sesaat sebelum Rindy tiba. Dia membuat langganan si abang kabur tanpa sempat membayar es kelapa mereka.

"Kita kemana dulu nih?" tanya Rion begitu Rindy sudah siap diboncengannya.

"Terserah lo deh. Yang penting jangan pulang kerumah. Masih kesorean," Rion memacu motornya dengan semangat. Dia mau mengajak Rindy ke danau dibelakang sekolah. Sudah lama mereka tidak kesana.

Rion tau ada kejadian yang menyenangkan terjadi dengan Rindy, dan itu pasti berhubungan dengan Alan. Sepanjang perjalanan, Rion mendengar cewek itu bersenandung ditelinganya. Pelukannya juga terasa erat dan dia bisa melihat semangat cewek itu disana. Dia berharap pelukan ini khusus utuknya, bukannya karena Rindy terlalu senang dan mungkin saat ini sedang mengkhayal Alan yang dia peluk.

"Sampai kapan lo mau meluk gue begini?" mereka sudah sampai dan Rindy masih menempel di belakang Rion.

"Oh iya ya." Rindy tersenyum malu dan turun dari motor Rion dan menyusul sahabatnya yang sudah berjalan lebih dulu didepan sana.

"Lo ngga perlu cerita sama gue mengenai yang barusan lo lakuin sama Alan." ucap Rion, memfokuskan pandangannya ke arah danau yang terlihat tenang disana. Seandainya hatiku juga bisa setenang itu, bisik Rion dalam hatinya.

"Gue juga ngga akan cerita kok."

"Ada peningkatan?" tanya Rion, berharap jawabannya adalah TIDAK.

"Hmm...lumayan." apa ini artinya IYA?

"Dia ngusir lo?" Rindy meletakkan kepalanya di bahu Rion, ikut memandang danau.

"Dia minta gue memberi dia waktu buat mikir."

"Lo nembak dia lagi?"

"Gue ditolak lagi."

"Lo ngga seperti orang yang baru ditolak."

"Gue cuma nganggap dia ngasih gue kesempatan untuk lebih menggambarkan perasaan gue sama dia."

Dan harapan buatku baru saja benar-benar habis dan menghilang bisik Rion dalam hatinya.

"Ini yang lo mau?" Rion meletakkan kepalanya diatas kepala Rindy. Kalo dia menyatakan perasaannya, dia ngga akan mugkin bisa melakukan ini lagi bersama Rindy, dia bahkan bisa kehilangan cewek ini. Saat dia kehilangan harapan seperti ini, satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah tetap diam dan mendengarkan segala perasaan Rindy terhadap Alan. Sakit memang, tapi akan lebih sakit lagi bila dia kehilangan sahabat yang dicintainya. Sepertinya mulai sekarang, Rion yang harus benar-benar ekstra kuat menghadapi semuanya.

***

Hate You, Can I? (Silver Moon series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang