Rindy menghilang dan Alan bisa bernafas lega. Setelah kejadian di toko buku, Rindy sama sekali tidak menghubungi ataupun menemui Alan. Membuat pria itu benar-benar lega. Bukan karena ketidak hadiran Rindy, melainkan karena Alan tidak harus bingung untuk memilih antara perasaan dan logikanya.
Alan merasa beberapa minggu ini hidup berjalan dengan lancar. Bahkan ibunya pun juga sama sekali tidak membahas mengenai desakannya untuk bertemu calon menantunya dari Alan. Para sahabatnya pun tidak menanyakan lebih jauh mengenai Rindy yang mereka lihat bersama Alan di toko buku, mungkin hal ini disebabkan karena mereka sedang sibuk-sibuknya dengan urusan mereka masing-masing.
"Terakhir kemari, lo suntuk banget. Sekarang kayaknya udah ceria lagi. Mana ceweknya?" Alan mengambil minuman yang baru diantarkan oleh Ryan, meminumnya dalam sekali tegukan.
"Jangan salah. Hidup tanpa yang namanya wanita itu memang paling enak. Pikiran rasanya enteng banget." Ryan cuma bisa geleng-geleng kepala.
"Jangan nyesel ngomong begini nanti ya. Kalo udah dapet yang beneran pas dihati, baru deh ngerti arti wanita itu sendiri."
"Hubungan lo sendiri gimana sama anak kecil itu?"
"Kita udah baikan. Cuma sekarang dia lagi sibuk sama ujiannya." Alan jadi teringat Rindy yang mestinya sekarang juga menjalani ujian akhirnya. Sedikit mengusik perasaan lega yang baru dia rasakan. Apa mungkin cewek itu berhenti cuma untuk sementara? Sementara dia menjalani ujian akhirnya dan sesudah dia bebas dari ujian ini, Rindy akan kembali menghantui Alan. Senyum cerianya seketika menghilang.
"Menurut lo, gimana kalo gue mulai terusik sama seorang cewek yang ngga seharusnya dekat sama gue." tanpa sadar mulut Alan mengucapkannya, membuat dia mengutuk dirinya untuk itu. Ryan yang mendengarnya tentu aja langsung menyambutnya dengan senang. Dia tau seharusnya dia tidak kemari malam ini.
Alan memang bernafas lega karena ketidak hadiran Rindy di beberapa hari ini, tapi Alan merasa ada sesuatu yang terasa menghilang. Sebuah lubang kecil yang mulai mengusik karena terasa tidak nyaman dalam hati pria itu.
"Jangan bilang lo udah punya perasaan sama cewek itu cuma perasaan lo masih berusaha lo ingkarin?" Alan masih belum tahu harus mengangguk atau menggeleng.
"Gue ngga mungkin bisa sama dia." Alan tau dari awal sejak dia mulai menatap Rindy diam-diam saat cewek itu tertawa, cemberut dan segala ekspresi yang terlihat menarik di mata Alan. Sore itu mungkin ngga pernah Alan duga bahwa suara indah Rindy menarik pria itu lebih jauh untuk menikmati bukan hanya suara, melainkan wajah pemiliknya juga. Sejak itu Alan mulai menunggu dering telpon yang biasanya terasa mengganggu. Alan merasa malu mengakui bahwa dirinya menanti kedatangan Rindy disiang terik dan mengisi pojok santai diruang kerjanya. Mendengar dengkur halus cewek itu yang tidur dengan rusuh dan menghancurkan susunan bantal miliknya disana.
"Kenapa ngga mungkin? dia cewek kan?" Alan melotot mendengar pertanyaan Ryan.
Harus dia akui perasaannya pada Rindy masih belum bisa dibilang suka. Hanya tertarik, begitu dia menyebutnya.
"Dia cewek. Tulen. Dan gue masih normal." Alan menekan setiap kata yang dia ucapkan.
"Nyoba aja belum, masa nyerah duluan?" Alan takut bila dia mencoba, dia bakal terjerat perasaan yang ngga akan mungkin bisa dia berikan pada Rindy.
"Gue harus menghilangkan perasaan ini sebelum terlambat." begitulah yang selalu Alan katakan pada dirinya sejak dia menyadarinya. Dan dia berakhir dengan menemukan dirinya menikmati saat suara tawa Rindy memenuhi ruang dengarnya atau aroma parfum bayi yang mengusik hidungnya. Semua yang ada pada Rindy mulai membuat Alan lupa bahwa dia adalah pria penyuka kesempurnaan.
"Kok gitu sih? apa yang lo takutin? baru juga ngerasain malah mau dikikis." Ryan jelas ngga suka mendengar niat Alan. Dia selalu menunggu saat pria didepannya ini merasakan perasaan yang sudah seharusnya dia rasakan sejak lama.
"Gue cuma akan buat dia terluka karena gimanapun gue berusaha memperjelas perasaan ini, gue ngga akan bisa sama dia." Ryan masih belum mengerti apa yang sebenarnya dikatakan Alan mengenai penyebab dia melakukan hal ini dan Alan juga tidak punya niat untuk menceritakannya. Umur. Yang mereka anggap mugkin sepele tapi tidak bagi Alan. Mana mungkin dia membawa anak SMA untuk dikenalkan pada keluarganya?
"Gue cuma mau kasih saran. Ngga ada yang ngga mungkin untuk urusan cinta." Alan menatap keyakinan dalam mata Ryan saat dia mengucapkannya, menginginkan keyakinan yang sama untuk hatinya sendiri.
***
Bel berbunyi, membuat telinga siapa saja yang berada di kelas langsung mencuatkan telinga mereka mendengar suara yang sudah seperti batas akhir hidup dan mati mereka. Termasuk Rion dan Rindy yang ada di kelas berbeda namun seperti sudah direncanakan, mereka mengumpulkan kertas jawaban dan berlari keluar kelas dengan semangat. Rion mengacungkan pensil yang masih dia pegang dan melihat Rindy muncul dari dalam kelasnya, melakukan hal yang sama. Rion mengambil pensil dari tangan Rindy dan begitupun sebaliknya.
"Satu...dua....tiga.." seru mereka semangat dan pada hitungan ketiga bersama-sama mematahkan pensil yang mereka pegang dalam satu tarikan nafas dan melemparnya ke udara. Ini ritual yang selalu mereka lakukan tiap ujian berakhir.
"Selesai!!!!!!" teriak Rindy sambil bergelayut di leher Rion, membuat para siswi yang lewat memandang sirik padanya.
"SMA selesai. Selamat datang kampus baru.." ucap Rion membalas rangkulan Rindy sambil berjalan bersamanya menuju kantin.
"Lo yakin lulus Ri?" celetukan Rindy menghentikan langkah Rion.
"Keterlaluan emang mulut lo. Kan lo saksi hidup gimana giatnya gue belajar buat ujian ini. Gue yakin lulus lah Dy," Rion kembali menyeret Rindy menuju kantin. "Gue selametan hari ini. Gue yang traktir."
Mereka langsung menuju kantin dan memesan nasi goreng juga teh panas. Setelah melewati ujian hari terakhir, Rion benar-benar merasa lapar. Rindy terlihat memeriksa hapenya saat Rion tiba dengan piring nasi goreng di kedua tangannya. Wajah cemberut Rindy mengatakan sesuatu pada Rion.
"Ngga usah ngarep terlalu banyak." Rindy mengambil gelas tehnya, menghirupnya dan mengecap-ecapkan mulutnya, terasa tawar.
"Mestinya dia kasih gue semangat kek. Minimal sms lah." gerutu Rindy sambil melahap nasi gorengnya dengan lahap, berharap ada Alan disana dan dia bisa langsung menelannya.
"Lagian, udah tau batu. Disuka juga."
Selama lebih dari sebulan Rion berhasil meyakinkan Rindy untuk lebih berkonsentrasi pada ujian yang akan mereka hadapi. Dengan intens Rion berhasil meminta Rindy jadi guru pembimbing dadakannya. Mereka menghabiskan waktu bersama dan itu cukup bagi Rion untuk dia bisa mengalihkan pikiran Rindy dari Alan walau cewek itu sesekali masih menyebut namanya.
Rion memang marah waktu malam itu Rindy datang padanya dan menangis karena Alan. Membuat dia memutuskan untuk menyelamatkan Rindy dari sakit hati yang akan cewek itu terima bila dia terus memaksakan perasaannya ada Alan. Di bibir Rion memang memberi semangat pada Rindy, tapi siapa yang tahu isi hati terdalamnya?
"Gue ngga bisa nahan lagi deh kayanya. Gue pengen ketemu dia hari ini." Rion menggeleng.
"Kok ngga boleh? Kan lo bilang gue cuma mesti nunggu ampe ujian selesai."
"Ada respon ngga dari dia? Enggak kan?" Rindy mengangguk lesu.
"Tapi gue ngga bisa nunggu lebih lama lagi buat dia kasih respon sama gue."
"Jadi lo nyerah dan milih harga diri lo dia injak lagi kayak yang waktu itu? Lo lupa ya malam itu lo nangis gara-gara dia?" Rion meletakkan sendok dan juga garpunya, laparnya seketika menghilang.
"Gue udah anggap yang kemaren itu sebagai tantangan kecil buat gue. Lo kan bilang gue harus lebih kuat. Sekarang gue udah punya itu. Gue udah siap untuk tantangan selanjutnya." Rion tau omongannya akan dianggap angin lalu oleh Rindy bila dia sudah mendengar cewek itu mengucapkan apa yang barusan dia dengar.
"Kapan lo mau kesana? Sore ini?" Rion selalu jadi pihak yang mengalah setiap ada perdebatan antara dirinya dan Rindy. "Mulai sekarang, gue yang bakal nganterin lo ketemu sama Alan." dan Rindy selalu tau dia akan mendapatkan apapun yang dia mau dari Rion.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/33692959-288-k375279.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate You, Can I? (Silver Moon series)
RomansaBagaimana rasanya bila kamu terus ditolak dan ditolak? Segala usaha sudah kamu lakukan untuk melunakkan hatinya. Dia mencintaimu dan kamu tahu itu. Tapi dia masih menolakmu. Apa aku harus menyerah? Aku berharap bisa membencimu...kamu tau itu? Arind...