Semakin Besar Saat Disadari

9.8K 751 5
                                    

Rion hampir menyemburkan susu coklat yang baru dia minum ke arah Devi yang sudah siap dengan buku didepan wajahnya. Tak ada angin, tak ada hujan, cowok itu tiba-tiba tertawa. Rindy yang juga duduk disebelahnya ikut heran melihat sahabatnya itu.

"Bisa ngga lo bertingkah normal sekali aja?" tegur Devi kesal sambil menurunkan bukunya.

"Gue ngga akan bisa normal selama temen lo ini masih ngga normal juga." telunjuk Rion dengan sukses mendarat didahi Rindy.

"Kalian emang sama ngga normalnya. Makanya cocok." Devi bergidik ngeri dan menggeser duduknya sedikit menjauh dari Rion.

"Kalo gue kasi tau yang barusan gue ingat juga lo bakal ketawa." bukan Devi yang terlihat berminat, melainkan Rindy yang sedari tadi sibuk dengan buku catatannya. Dia langsung mendekat.

"Gue juga mau denger." ucapnya semangat.

"Jangan nyesel ya," dia mengangguk cepat.

"Gue ingat minggu lalu ada orang yang bikin teman kencannya muntah dikencan kedua yang dia bilang sukses Dev." Rion kembali tak bisa menahan tawanya. Rindy tau yang cowok itu bicarakan. Sudah seminggu berlalu dan dia masih jadi bahan tertawaannya.
Hari itu dia sukses membuat Alan pulang dengan lemas dan hal itu membuat Rindy harus bertanggung jawab. Tadinya dia pikir Alan mulai bisa menerima kehadirannya dan karena kejadian itu, dia kembali antipati dengannya.

"Udah dong Ri, gue jadi nyesel cerita sama lo." dia kembali putus asa waktu ingat sampai sekarang Alan tidak pernah menjawab telpon ataupun membalas pesannya sejak hari itu.

"Gue udah tau cerita itu kok. Dan gue ngga nganggap itu sebagai bahan tertawaan seperti yang lo lakuin sekarang." Rindy memandang Devi dengan tatapan berseri karena merasa ada yang berada dipihaknya.

"Yang gue heran, kenapa lo bahagia banget Rindy mengacaukan kencannya sendiri?" Rion cuma bisa menggaruk kepalanya sambil nyengir. Devi benar, dia memang senang karena jalan Rindy untuk mendapatkan Alan masih belum selancar yang cewek itu pikirkan. Rion masih belum bisa menahan dirinya untuk melakukannya. Dia sadar tidak akan mudah mengubur perasaan yang sudah terlanjur melekat dihatinya.

"Dan lo, gue belain lo bukannya gue suka lo ngedeketin om-om itu." Rindy langsung cemberut Devi menyebut Alan sebagai Om-Om.

"Sebaiknya lo berhenti deh. Dia ngga mungkin nerima lo."

"Tapi kan pelan-pelan gue yakin bisa ngeluluhin dia." Rindy membela diri.

"Kemungkinan itu emang ada. Tapi lo lupa ya siapa dia?" Devi meletakkan buku yang dia pegang. "Dia orang yang lebih mentingin pandangan orang buat dia daripada perasaan dia sendiri. Kalopun dia beneran jatuh cinta sama lo, gue yakin dia bakal lebih milih nyembunyiinnya daripada semua orang tau dia punya hubungan sama cewek yang jauh dari standar yang seharusnya buat dia."

"Kok lo jahat sih ngomong begitu sama gue?" ada air mata yang mulai menggenang dimata Rindy. Rion yang melihatnya, langsung menariknya mendekat dan menepuk-nepuk bahunya pelan.

"Lebih baik gue jahat sekarang Dy, daripada ngebiarin lo sakit belakangan? Saat lo sadar perasaan lo semakin besar buat dia dan lo ngga bisa dapat apa yang lo harapkan." kini Rion mengangguk dan setuju dengan yang Devi katakan. Bukan sebagai cowok yang menyukai Rindy, melainkan sebagai sahabat. Dia ngga mau melihat Rindy tersakiti nantinya. Sekarang aja Rindy sudah mulai menangis karena pria itu, padahal perjuangannya baru dimulai. Bagaimana nanti? Rion pastinya akan jadi orang yang ikut sakit bila nanti melihatnya tersakiti.

"Cinta itu bukan sesuatu yang mudah Dy. Lo harus tau itu," Rindy dan Rion mengangguk serempak.

"Lo kayak jago banget soal cinta Dev. Lo aja lagi break kan sama bartender lo itu?" ucap Rindy pelan, merasa perlu kali ini mengalahkan kata-kata Devi.

"Itulah yang barusan gue bilang. Seandainya gue bisa ngindarin Ryan dari awal, gue akan ngindarin dia karena pandangan kami berbeda. Tapi gue terlanjur lemah sama perasaan gue dan ngebiarin diri gue melangkah lebih jauh hingga sampai ditahap ini." Rindy mengerti dengan jelas apa yang Devi ucapkan. Dia sudah mendengar hal ini sebelumnya. Memang untuk urusan cinta ngga akan mudah untuk dilewati. Tinggal diri kita sendiri yang harus memilih untuk menyerah atau menghadapinya.

***
"Tanya deh, kurasa sahabat kamu itu lagi punya masalah." Dara datang dari dalam dengan nampan berisi teh hangat ditangannya. Tumben-tumbennya sahabat suaminya itu datang sore-sore begini dan dari tadi bukannya duduk diruang tamu, Alan lebih memilih duduk dihalaman belakang tanpa ada niat bicara sedikitpun padahal biasanya dia yang paling sering berkicau.

"Kamu juga ngerasa dia aneh kan?" Dara mengangguk sebelum kembali masuk ke dalam rumah. Zevan menghampiri Alan.

"Lo kenapa sih Lan?" tanpa menunggu waktu, Zevan menanyakannya langsung.

"Ngga papa Van." nampak sekali Alan sedang berusaha berbohong.

"Jangan kemari kalo lo ngga mau ngebicarain apa yang sedang mengganggu pikiran lo. Tujuan lo kemari emang buat itu kan?"

"Mamah mau gue nikah taun ini Van." terlihat dengan jelas Zevan berusaha menahan tawanya. "Lo kan tau gue ngga pernah punya pikiran sedikitpun soal itu."

"Cewek aja lo ngga punya, gimana mau nikah?"

"Disana letak masalahnya. Mamah mau ngejodohin gue kalo sampai gue ngga bisa menuhin targetnya." Zevan sangat mengenal sahabatnya ini yang walau terlihat seperti playboy, padahal dia ngga pernah mau membiarkan dirinya terlibat perasaan apapun pada wanita.

"Lo cari aja wanita yang lo rasa bisa dijadiin istri."

"Lo pikir gampang? Perlu waktu dan setahun bukan waktu yang cukup."

"Siapa bilang? Gue bisa. Padahal sebelumnya gue terjebak dalam perasaan bersalah gue selama bertahun-tahun sama Andien juga Tari dan gue bisa ngedapetin Dara. Walau gue hampir kehilangan dia dulu sebelum nyadarin perasaan gue." Alan ingat perjuangan Zevan untuk mendapatkan cintanya. Dia yakin ngga akan bisa sekuat Zevan untuk satu hal itu.

"Masalahnya ada dikesempurnaan yang jadi prioritas lo itu Lan. No body's perfect bro. Lo harus ingat itu." Alan tau memang itu yang jadi masalahnya selama ini.

"Misalnya, gue nemu wanita yang gue rasa bisa ngegetarin hati gue, tapi dia jauh dari kriteria gue bahkan lo sendiri, gimana?" Zevan tidak mengerti dengan pertanyaan Alan bahkan Alan sendiri. Dia ngga mengerti kenapa mulutnya menyuarakan pertanyaan itu?

"Lupakan. Gue harus nerima wanita manapun yang memenuhi kriteria gue walau ada sedikit kurang dari kriteria itu sendiri kan? Sedikit." kemanapun Alan membawa pertanyaannya, dia yakin jawabannya pasti akan sama. Kesempurnaan yang dia cari ngga akan bisa dia dapatkan karena dirinyapun bahkan tidak sesempurna yang dia inginkan. Contohnya saja seperti saat dia berusaha menutup mata dan hatinya pada kehadiran seseorang yang bukan dia harapkan. Alan malah mendapati dirinya merasakan kehangatan yang sudah lama tak dia rasakan didalam hatinya walau itu cuma sekejap dan itu cukup mengganggunya sampai sekarang.

Malam itu, antara sadar dan pusing yang menghantam kepalanya, Alan merasa Rindy berusaha merawatnya setelah dengan susah payah dia membawanya pulang kerumah. Dia akui Rindy benar-benar terampil merawatnya. Beberapa kali dia dengar cewek itu mengucapkan permintaan maafnya pada Alan. Kejadian itu sebenarnya membuat Alan merasa malu karena memnbiarkan Rindy melihat kelemahannya. Tapi ada satu perasaan yang masih belum Alan percayai bahwa dia merasa nyaman dengan kehadiran cewek itu disisnya. Menghangatkan. Membuat Alan seperti melihat orang lain pada dirinya mulai mendesak untuk keluar. Entah dinamakan apa perasaan ini untuknya.
***

Hate You, Can I? (Silver Moon series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang