Rindy POV
Ternyata sudah sore, itu artinya sudah 5 jam sejak aku berada disini dari tadi siang. Aku hampir menjatuhkan buku yang kupegang waktu menemukan bukan Rion yang menungguku di depan dan malah pria yang seharusnya melakukan ini sejak tiga tahun yang lalu. Aku ngga sedang mimpi kan sekarang?
"Ngapain lo disini?" bukan dia yang mengajukan pertanyaan ini padaku, melainkan aku padanya. Rion bilang, aku harus jual mahal padanya dan liat apa dia benar-benar menginginkanku sekarang.
"Cuma memastikan lo masih hidup atau nggak." dan mulut kamu masih seperti dulu. Sadis.
"Gue masih hidup. Dan gue ulangi pertanyaan gue barusan, ngapain lo disini sebenarnya." Alan menggulung lengan kemejanya. Dia terlihat lain dari biasanya. Rambut klimisnya terlihat acak dan wajahnya memerah. Aku mencium sedikit aroma alkohol darinya. Apa dia habis minum-minum?
"Akuin aja kalo lo kangen gue sekarang dan ngga bisa lagi nahan kerinduan lo sama gue?" aku hampir ngga bisa menahan senyumku sendiri waktu membiarkan pikiran itu diam dalam otakku.
"Ngga. Gue cuma mau mastiin lo baik-baik aja. Tanpa perlu gue ada disamping lo." apa maksud perkataannya sih?
"Gue baik-baik aja dan gue udah berhasil ngelakuin apa yang lo inginkan dulu. Sekarang, apa gue udah pantas buat lo?" aku selalu menantikan saat untuk menanyakan pertanyaan ini padanya dan pertanyaanku bisa menjawab apa yang ada dalam otaknya.
"Pantas ataupun tidak, kita tetap ngga bisa sama-sama Rindy." lihat, dia masih menganggap aku ini apa?
"Lo kenapa sih ngga bisa nepatin janji lo. Gue udah membuktikan sama lo juga Papi, tapi kenapa gue masih ngga bisa sama lo?" aku mulai mencium adanya penolakan lagi sekarang. Alan terlihat menghindar waktu aku mulai mengungkitnya lagi yang sebenarnya aku sendiri benci untuk melakukannya.
"Gue ngga pernah janji kan sama lo. Lagian, lo udah bisa tanpa gue." dia sepertinya ingin membahas aku sama Rion, cuman dia ngga mau aku sampai mendengar nada cemburu dalam suaranya. Dia jelas melihat kemesraan kami dipesta kemaren.
"Gue ngga punya hubungan apa-apa sama Rion. Semua ngga seperti yang lo liat." dia harus tau bahwa semua yang dia liat cuman sandiwara kami. "Kami cuma pura-pura."
"Kalopun kalian beneran jadian, gue ngga akan menganggap itu sebuah masalah. Kan gue udah pernah ngasih tau sama lo, kalopun lo udah nemuin yang lebih baik dari gue, gue ngga masalah." dia masih membahas hal yang sangat tidak ingin kudengar ini. Seperti dia memperlakukan aku ini sebagai barang yang seenaknya dia mainkan. Apa aku ngga pernah berharga baginya?
"Berhenti ngomong begitu!!" mataku terasa panas. Setelah tiga tahun yang kulewati, dia masih juga harus mengulang kalimat ini. Dia terus mengiris diluka yang sama.
"Kenapa sih lo harus ngulang dan ngulang lagi kalimat ini? apa ngga cukup penolakan lo selama ini sama gue Lan? Gue juga capek lo giniin terus." dia mengutuk dirinya sendiri. Dia menyebut "Sialan lo Lan" dalam gumamannya saat aku mengatakannya. Dia beneran mabuk rupanya sampai apa yang keluar dari mulutnya sudah tidak diasadari lagi.
"Bisa gue minta lo bener-bener hilang dari pandangan gue? Beneran hilang dan ngga akan pernah muncul lagi?" walau dalam keadaan mabuk, dia memang tetap keterlaluan. Apa yang keluar dari mulutnya ini terdengar benar-benar dari dalam hatinya bagiku. Dia pikir tiga tahun ini waktu yang singkat bagiku? waktu yang mudah buat ku jalani? Selama itu aku nahan diri aku buat ngga ketemu dia dan setelah waktu yang panjang itu dia beneran mau aku ngilang lagi dari dia? Sialan. Kamu pikir aku bakal ngabulin lagi permintaan kamu itu? Sayangnya, aku masih belum mau menyerah.
"Apa dari pertanyaan lo barusan secara ngga langsung lo bilang sama gue bahwa lo mikirin gue selama ini?" perasaanku benar-benar dibuat ngga jelas sama dia. Barusan aku merasa sangat marah, kesal, dan sekarang pikiran bahwa Alan memikirkanku membuat aku serasa melayang. Perasaanku tak karuan sekarang.
"Iya. Gue ngga akan bohong mengenai itu. Dan lo cantik sekali malam itu." kekesalanku yang lalu menguap entah kemana. Air mata yang sempat merembes dari matakupun langsung berhenti mengalir.
"Berarti ada kebohongan lo yang lain sama gue?" Alam mendekat padaku selangkah. Aku menghirup aroma parfumnya yang kurindukan dan menatap wajah ini yang selalu kulihat setiap aku memejamkan kedua mataku.
"Gue ngga bohong waktu bilang mau lo pergi dari hidup gue." wajahnya kelihatan lelah. Dan wajahku pasti terlihat sama dengannya, apalagi ketika dia kembali mengatakannya dan menghempaskanku ketempat yang kubenci. Kenapa dia harus kembali mengatakannya?Dan lihat? sekarang dia mulai melangkah mundur dariku.
"Lo bilang gue ganggu hidup lo? Selama 3 tahun ini harusnya lo bisa ngelupain gue dengan mudah." kalo dia mundur, aku yang bakal maju. "Tapi lo bilang gue terus muncul di pandangan lo. Itu artinya lo mikirin gue kan?" Alan mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. Dia terlihat menghindar dariku.
"Gue mohon Rindy. Jangan buat gue dalam posisi lebih sulit lagi." ngga akan sesulit itu seandainya dari awal dia ngga berusaha ngehindarin perasaannya dariku.
"Lo yang bikin semua jadi sesulit ini. Seandainya dari awal lo terima gue, gue yakin kita ngga akan ada disituasi ini." kupegang lengannya dengan kedua tanganku. Berusaha meyakinkan apa yang kukatakan padanya. "Berhenti bohongin diri lo sendiri dari sekarang. Lo mau kan?" dia diam. Sedang berpikir mungkin. Baiklah, kuberi dia waktu untuk itu sekarang.
Satu menit....
Tiga menit..... Alan masih diam tanpa terlihat tanda dia mau membuka mulutnya.
Lima menit.....Aku perlu dia mengatakan "Iya" sekarang. Dia masih diam. Aku mulai ngga sabar.
Lima menit setengah.... Aku mulai mengangkat kepalan tanganku dan memukul lengannya dengan kesal. Kesabaranku hanya sebatas lima setengah menit padanya. "Buka mulut lo. Jangan ngindarin gue." Apa diamnya ini artinya "Tidak"?
Detik berikutnya, aku mendapati diriku memukulnya dengan brutal dan melupakan kesabaranku padanya. Aku sudah terlalu bersabar dengan sikap kamu ini Alan. Dia masih dia saat aku menghujaninya dengan pukulan saat sebuah mobil hitam berhenti didepan kami. Oooo... rupanya kamu ngga setangguh saat kamu di meja hijau, kali ini kamu meminta bantuan.
Masih tanpa ada kata, Alan menangkap pergelangan tanganku dan menyeretku untuk masuk ke mobil itu.
"Tolong anterin dia pulang. Gue mohon No," apalagi maksudnya sekarang? dia menyerahkanku pada sahabatnya, kenapa ngga dia sendiri aja yang mengantarku dan menyelesaikan masalah kami?
"Bohong aja terus, dan lo bakalan nyesel!!" terikakku padanya dengan kemarahan yang sudah memuncak dan benar-benar kuledakkan padanya. Air mata yang sempat keluar sedikit tadi kali ini kembali keluar dengan lebih deras.
"Nyetir aja. Ngga usah sok perhatian sama gue." ucapku masih terbawa emosi saat sahabat bulenya ini menyerahkan kotak tisu padaku. Paling tidak dia sedikit lebih manis dari Alan yang selalu mencoba menyembunyikan sikap perhatiannya dariku.
"Jangan geer. Gue ngga mau lo ngotorin jok mobil gue sama ingus lo." tapi mulut mereka ternyata sama. Sama-sama kejam.
"Bilangin sama temen lo itu, dia ngga perlu nyariin gue kalo dia ngerasa nyesel nanti." dadaku rasanya benar-benar sesak, kenapa rasanya sesakit ini sih?
"Lo bilang sendiri sama dia." harusnya pria ini berskap lebih manis padaku. Dia ngga ngerti ya kalo aku ini lagi sakit hati gara-gara sahabatnya?
"Dia harus ngerasain sepinya hidup dia tanpa gue." ucapku lebih pada diriku sendiri. Kadang aku mau beneran melepaskan Alan dariku, tapi rasanya hal itu masih sangat sulit untuk kulakukan. "Cinta itu kadang baru kita sadari kalo kita udah kehilangan".
Selanjutnya, kami cuma diam dengan pikiran masing-masing. Apa hari saat aku benar-benar melepaskan Alan dan bisa berjalan dengan tegak saat tanpa ada dia dihati dan pikiranku akan tiba?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate You, Can I? (Silver Moon series)
RomanceBagaimana rasanya bila kamu terus ditolak dan ditolak? Segala usaha sudah kamu lakukan untuk melunakkan hatinya. Dia mencintaimu dan kamu tahu itu. Tapi dia masih menolakmu. Apa aku harus menyerah? Aku berharap bisa membencimu...kamu tau itu? Arind...