Memang Harus Apa?

626 59 0
                                    

"Kau tidak peduli?"

*
*
*
*
*
*
*
*
*

"Sudahlah, Pig! Aku tidak ingin membahasnya." Sakura mencoba kembali fokus pada buku catatan medis. Mengabaikan sahabatnya yang sejak tadi membahas kepergian Sasuke.

Sudah lima hari berlalu, Sakura sudah mulai melupakan hal yabg sempat membuatnya galau. Kepergian Sasuke yang tiba-tiba memang sangat menyakitkan, terlebih pria itu baru memberitahunya lima menit sebelum pergi.

Tapi may bagaimana lagi? Itu adalah misi yang harus Sasuke jalani. Dan perasaan Sakura tentu saja tidak lebih penting dari semua itu.

"Tidak mau membahasnya, katamu? Lalu apa gunanya informasi ini? Kalian sama saja." Ino mendesah malas, melipat kedua lengannya dan menatap keluar jendela ruangan dari tempatnya berdiri saat ini. Memperhatikan pepohonan yang bergoyang karena angin berhembus. Setidaknya dengan itu emosi dalam diri Ino bisa sedikit mereda.

"Dia sudah memberitahu Sarada, dan lagipula katamu dia akan pulang lebih cepat. Selagi dia dalam keadaan baik-baik saja, semuanya tidak masalah buatku." Sakura membalikkan lenbaran baru pada dokunennya, masih terus mencoba untuk tidak terlarut dalam obrolan sensitif untuk hatinya.

Ino lagi-lagi membuang napas kasar, kali uni ia menatap Sakura tajam. "Aku yakin, Sarada pernah tahu kalau kau tidak tahu Sasuke pergi. Sakura, aku pikir kau ini yang harus bicara. Setidaknya katakan pada suamimu itu kalau kau juga butuh kabar darinya. Kau kan, juga ibu dari anaknya."

Sakura berhenti fokus pada tulisan dalam kertas di depannya. Pikirannya berkelana saat mendengar ucapan yang terdengar menyayat hati. 'Ibu dari anaknya' itu benar, tapi Sakura berkali-kali terus meyakinkan kalau selama inu Sasuke berpikir begitu. Tapi kenyataannya memang tidak, Sakura selalu menutupi kebenaran.

Sakura nenyentakkan berkas ditangannya. Mengusap wajah dengan kasar dan menghela napas berat.

"Ino, sudahlah. Berhenti membicarakan ini, aku sudah tidak bisa berpikir lagi. Biarjan saja Sasuke seperti itu, lagipula dadi dulu dia seperti itu. Aku saja yang terlalu berharap lebih, padahal memang tidak ada hal yang harus diharapkan. Aku sudah melewatinya, untuk selanjutnya biarkan aku mengatasi sendiri."

Ada perasaan menyesal karena apa yang ia rasakan selama ini malah di ceritakan pada orang lain. Padahal seharusnya memang Sakura harus menyekesaikannya sendiri. Tapi kendati itu, perasaan membuncah dalam dirinya sejak kepulangan Sasuke, wanita ini merasakan hal yang berbeda. Yang ia pikir ia harus membaginya pada orang lain.

"Sakura...."

"Ino, tolong. Aku berterimakasih karena kau berusaha untuk nembantuku. Tapi masalah ini, aku rasa kau tidak perlu khawatir. Aku akan menyelesaikannya nanti setelah Sasuke-kun kembali." Sakura menatap sahabatnya sendu. Hatinya merasa mati ketika berkata demikian. Lagi-lagi ia membohongi diri dan juga sahabatnya.

Bahkan untuk selanjutnya, Sakura tak yakin kalau ia bisa menyelesaikan ini dengan menerima semuanya.

"Lihat saja, ya. Kalau dia masih tidak bisa berubah, atau setidaknya mengerti. Aku yang dan yang lain akan menyidangnya." Wanita pirang ini terlihat menggebu, tanggannya terkepal erat seolah siap meninju sesuatu.

"Pig..."

"Aku tidak bercanda, Sakura. Aku akan melakukannya kalau Sasuke...."

Ucapan Ino menggantung ketika tatapan mereka kini dicuri oleh suara deritan pintu ruangan yang terbuka. Lalu menampakkan seseorang yang asing bagi wanita Yamanaka, tapi tidak untuk Sakura.

"Oh, Satoshi-kun." Sakura bangkit dari duduknya, berjalan menghampiri pria dewasa yang masih berdiri di ambang pintu. "Silakan masuk," lanjut Sakura.

I LOVE YOU, SAKURA!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang