1.

67.2K 2.5K 14
                                    


Seorang gadis mengusap air matanya saat kata "sah" tadi terdengar dari bibir para saksi yang membuat jantungnya tidak bisa berdetak dengan normal. Bagai tersambar petir pada hatinya.

Tidak peduli pada riasan di wajahnya yang akan luntur karena lelehan air matanya. Maura terus menangis sampai mata dan hidungnya memerah. Maura dipaksa menikah oleh orang tua angkatnya dengan seorang lelaki yang merupakan anak dari sahabat ayah angkatnya.

Menolak pun rasanya akan percuma karena semua kata penolakan dari Maura tidak akan diindahkan oleh orang tua angkatnya. Yang boleh dan harus ia lakukan hanyalah diam serta menurut. Bak budak yang harus menuruti apa yang dikatakan oleh sang majikan padanya.

"Maura."

Maura mendongak dan hatinya mencelos melihat mata Buk Maya yang menyorot tajam padanya. Mengisyaratkan agar Maura menghentikan isak tangisnya. Sulit bagi Maura, tangis memang sulit untuk dihentikan.

"Jangan nangis Maura. Ini hari bahagia kamu dan harusnya kamu itu tersenyum dengan manis. Kamu pasti akan bahagia nanti saat melihat betapa tampannya pria yang sudah sah menjadi suami kamu itu," ujar Bu Maya.

Maura mengusap pipinya dengan tissue yang diberi oleh Buk Maya.
Mencoba meredam tangisnya yang memang sejak tadi susah untuk ditahan.

Di kamar itu hanya ada beberapa orang yang bertugas merias Maura dan ada Buk Maya. Setelah ijab qabul tadi Buk Maya baru masuk ke kamar. Ia akan mengamit langkah Maura untuk keluar dari kamar ini nantinya.

Sempat terkejut ia melihat Maura yang menangis segugukan sampai sang perias pun mengadu jika sudah beberapa kali mereka mengulang pemberian make up di wajah ayu milik Maura.
Tidak mungkin Bu Maya mengeluarkan amarahnya pada Maura saat ini.

"Ingat Maura sekarang kamu udah jadi istri orang dan kamu udah tahu kan siapa namanya tadi? Kamu kan lihat dan dengar dia saat ijab qabul tadi," seru Buk Maya dengan suara rendah.

Maura hanya mengangguk pelan. Ia tidak tahu harus bagaimana menyikapi semua ini. Menyikapi bagaimana rasanya menjadi istri dari orang yang tidak pernah ia kenal sebelumnya.

"Nah kalau gitu sekarang kamu nggak boleh nangis lagi. Ingat Maura, mereka pada capek kalau harus berulang kali pasang make up ke wajah kamu," sambung Buk Maya.

Saat ini pun Maura kembali dirias. Sangat pasrah sekarang, tidak ada yang bisa ia lakukan selain pasrah bukan? Pasrah di lahir tapi dalam batinnya Maura tetap berdoa semoga langkahnya yang terkesan dipaksa oleh orang tua angkatnya ini tidak membawa penyesalan diakhirnya.

Maura dan Buk Maya menoleh pada pintu saat ada beberapa teman semasa sekolah Maura yang masuk. Ada tiga temannya yang menggunakan gaun dengan warna sama hanya saja model yang dibuat berbeda.

"Maura...," seru salah satu dari mereka.

Ketiga teman dari Maura itu berjalan mendekat pada Maura dan memeluknya dengan erat.

"Masya Allah. Maura."

"Aku pikir kalian nggak akan datang," lirih Maura.

Senyum milik Maura kini terbit begitu saja.
Tidak menyangka jika sahabatnya akan hadir di hari pernikahannya. Pasalnya, sebelum hari ini tiba Buk Maya sempat mengatakan untuk jangan mengundang teman-teman Maura. Entah apa tujuan Buk Maya mengatakan semua itu pada Maura.

Maura yang dijadikan layaknya boneka oleh kedua orang tua angkatnya hanya bisa mengangguk pasrah dan tidak banyak bicara.

"Ka ... kalian datang?" bingung Maura.

Anis, salah satu temannya merangkul pundak Maura dan mengelusnya lembut.

"Buk Maya sendiri loh yang nelpon kita satu persatu dan kita awalnya syok banget Ra," jawab Rara yang juga berdiri di samping Maura bersama Alia.

Gadis yang mengenakan bando putih itu melirik dan tersenyum pada Buk Maya yang memang memusatkan perhatian pada mereka.

"Alhamdulillah, Ra. Kita sebenarnya sedih dengar kabar kamu bakalan nikah tapi karena mungkin ini pilihan kamu ya kita juga harus turut bahagia," sahut Alia.

Maura memasang senyum pada ketiga sahabatnya. Senyum palsu lebih tepatnya dan dengan senyum palsu itu ia berhasil membuat satu kebohongan hari ini. Teman-temannya tertipu oleh senyum Maura.

Mereka mengira Maura bahagia dan dengan senang hati menghadapi hari ini tanpa mereka tahu jika di dalam lubuk hatinya Maura justru menangis dan merintih sedih.

"Terima kasih ya, kalian udah datang. Aku bahagia ada kalian di sini," ucap Maura.

"Iya sama-sama Ra. Oh iya selamat ya Ra untuk pernikahan kamu. Semoga bahagia dunia sampai akhirat. Suami kamu ganteng banget Ra," kata Alia lagi.

Maura mengangguk seraya mengucapkan kata Aaminn di dalam hatinya. Ia pun berharap ia akan bahagia meski pernikahan ini terasa sangat asing baginya. Meski begitu, Maura tetap berharap jika ini adalah pernikahan pertama dan yang terakhir baginya.

Maura tidak ingin ada peristiwa perpisahan setelah ini. Banyak dia dengar keluarga yang rukun dan damai dari hasil perjodohan dan Maura pun berharap bisa mendapat kata bahagia untuk pernikahannya ini.

"Ya udah sekarang kita ke depan yuk. Pasti semua orang sedang menunggu Maura," kata Buk Maya.

Keempat bersahabat itu menoleh pada Buk Maya dan mengangguk. Lalu mereka menoleh pada Maura yang menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan pelan. Saat ia mengangguk lantas Alia dan Rara langsung menggamit lengan Maura atas persetujuan Ibu Maya.

Mereka berjalan ke menuju pintu dan menuntun langkah Maura mendekati di mana seorang pria tampan, oh tidak maksudnya sangat tampan yang sedang berdiri menanti kehadiran Maura.

Pria itu maju beberapa langkah dan mengulurkan tangannya pada Maura. Tidak perlu diperingatkan Maura menyambut uluran tangan itu dan menyalami tangan pria asing yang sudah berstatus sebagai suaminya ini. Suami? Maura bahkan masih berharap semua ini hanyalah mimpinya karena terlalu lelap tertidur.

Bukan mimpi, dan ini sangat nyata karena ia bisa merasakan sesuatu yang menempel dengan hangat di permukaan keningnya. Bibir pria yang bahkan namanya pun Maura tidak tahu.

"Untuk hari ini tolong hadirkan senyum di wajahmu. Jangan membuat banyak orang kecewa karena raut muram yang kamu tunjukkan itu. Tarik sedikit bibirmu. Maura."

Sedikit berdesir bulu kuduk Maura mendengar ucapan yang berupa bisikan dari suaminya. Mengangguk dan mencoba menarik kedua sudut bibirnya hingga Maura terlihat seperti tengah tersenyum dengan bahagia. Maura bisa tersenyum karena bercontoh pada Ghazi yang juga tampak tersenyum.

Maura tahu senyum yang Ghazi tunjukkan juga hanyalah senyum palsu. Sama sepertinya. Ya Tuhan, pernikahan apa ini.

"Kita duduk ke sana," ujar Ghazi.

Tanpa sempat mengangguk atau menjawab apa pun, tangannya digenggam oleh Ghazi dan dibawa ke arah tempat duduk yang memang sengaja disediakan untuk pasangan yang baru saja sah satu jam yang lalu.

Mata Maura menyusuri seluruh ruangan, mencari seseorang yang menjadi alasannya ada di atas pelaminan ini. Tidak jauh darinya Maura melihat sang adik yang sedang menatapnya dengan senyum dan mata yang berkaca.

"Zahra," gumam Maura.

Ungkapan Takdir (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang