17

13.9K 882 15
                                        

"Ini kopinya Mas," kata Maura pada Ghazi.

Ini hari minggu dan Ghazi tidak ke kantor tapi kemungkinan agak siang nanti ia akan berangkat ke tempat lapangan kerja untuk sekedar meninjau.
Sekretarisnya, Pak Matja akan menginformasikan lagi nantinya.

"Iya. Terima kasih ya," ujar Ghazi.

Maura mengangguk dan berjalan ke arah kursi di sebelah Ghazi untuk ikut duduk. Baru sebentar ia menempatkan diri di sana, ponsel miliknya yang ia letakkan di atas meja berdering tanda panggilan telpon untuknya.

"Eh?" kaget Maura.

Ghazi sedikit menajamkan pendengarannya, ia bisa melihat dari ekor matanya jika Maura tengah bimbang. Lama wanita cantik itu pandangi ponselnya yang berdering. Bagai bimbang antara ingin menerima atau menolak telepon seseorang yang datang untuknya.

"Kenapa nggak diangkat? Siapa tahu penting," kata Ghazi.

Maura menoleh pada Ghazi dengan wajah yang sedikit gugup. Ia genggam erat-erat ponselnya dan menggeleng pelan dengan memaksa untuk menarik sudut bibir agar tersenyum.

"I ... ini Mas. Nggak terlalu penting kok," jawab Maura berusaha sebisanya. Tapi tetap terlihat dan terdengar gugup.

Mustahil jika Ghazi langsung percaya begitu saja. Pria itu mengangguk tapi tetap memperhatikan Maura dan kini ponselnya kembali berdering untuk kedua kalinya.

"Angkat aja sana. Nggak mungkin nggak ada yang penting kalau nelponnya berkali-kali," kata Ghazi lagi.

Kali ini Maura mengangguk meski sedikit ragu.

"Aku angkat dulu Mas."

Maura bangun dari duduknya. Berjalan agak menjauh dari Ghazi dan menekan ikon hijau pada layar ponselnya.

"Assalamu'alaikum," ucapnya yang entah menyapa atau bukan tapi yang pasti ia hanya mengucapkan kalimat biasa sebagai pembuka perbincangan.

"Wa'alaikumussalam," jawab suara di seberang sana.

"Kenapa baru diangkat? Kamu ke mana aja Sayang?"

Deg.

Jantung Maura rasanya ingin loncat sekarang juga dari tempat di dalam tubuhnya.

"Abbas aku ... aku ... kamu jangan panggil kayak gitu ya," kata Maura dengan terbata.

"Aku di Indonesia."

"Hah? Ka ... kamu serius ada di Indonesia sekarang?" tanya Maura dengan sedikit tidak percaya.

"Iya Sayang. Ini aku lagi di perjalanan ke rumah. Nanti aku mampir ya."

Maura menggigit kuku jarinya dengan tidak kentara. Ia bingung dan sangat bingung. Ghazi adalah orang yang dijodohkan dengannya sedangkan Abbas adalah orang yang dekat dengan Maura yang kuliah ke luar negeri. Hubungan mereka sangat dekat dan Abbas sering memanggilnya sayang. Abbas tidak tahu sedikit pun perihal pernikahannya dengan Ghazi.

Maura bingung harus menjelaskan bagaimana tentang ini semua pada Ghazi. Merasa bersalah dan berdosa, Maura tidak sempat memberi tahu Abbas. Ia memang menolak Ghazi tapi pernikahan kala itu harus dilanjutkan dan tanpa ada kata iya atau tidak dari bibir Maura.

"Aku harus gimana?" tanya Maura dalam hati.

"Yang? Kok diem aja? Bisa kan nanti ketemu di rumah kamu. Aku udah kangen ini loh," kata Abbas lagi.

Yang dimaksud Abbas adalah rumah Ibu Maya.

Maura menghela nafas panjang dan melirik pada Ghazi yang terlihat fokus pada laptopnya.

Ungkapan Takdir (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang