14.

16.5K 1K 9
                                        


***

Setelah selesai dengan urusan di dalam toilet, Maura keluar dan menghadapkan dirinya dengan kaca besar yang terletak di sana. Mencuci tangan serta memperbaiki letak hijabnya yang sedikit kusut.

Saat akan membalikkan badan, Maura lebih dulu terpana pada sosok di dalam cermin. Sedikit berdesir bulu kuduknya di awal tadi.
Mengulas senyum kaku saat ia lihat sosok itu memberikan senyuman padanya.

"Maura," panggil wanita itu.

"Mbak Tia," gumam Maura.

Maura menoleh dan sedikit menggeser tubuh, mungkin Tia juga ingin memperbaiki riasan tubuhnya.

Melihat Tia yang malah membelakangi kaca dan menatap fokus padanya mau tidak mau dahi Maura mengernyit.

Tia menatap seperti meneliti Maura dari atas sampai bawah, kembali lagi ke atas pada wajah dan pada mata Maura. Kemudian wanita itu menghela nafas panjang.

"Kamu dan Pak Ghazi apa saling cinta?" tanya Mia.

Tiba-tiba? Maura pikir Tia ke sini karena pangilan alam atau sebagainya tapi mungkin tadi ia salah. Mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir Tia membuat Maura berpikir jika tujuan Tia ke sini adalah memang sengaja untuk menemuinya. Bukannya ge-er tapi sangat terlihat jelas dari cara tatap Tia padanya.

"Untuk apa Mbak Tia bertanya seperti itu? Aku dan Mas Ghazi pasti saling cinta," jawab Maura.

Tidak salah kan jika ia menjawab seperti itu. Bagaimana pun Ghazi adalah suaminya dan Maura tidak ingin ada pernikahan lagi dari pihak mana pun antara ia dan Ghazi nantinya setelah pernikahan mereka kemarin. Cukup sekali seumur hidup meski belum ada cinta di antara mereka tapi banyak yang bilang cinta itu akan tumbuh karena sering bersama.

"Apa yang membuat Pak Ghazi melirik kamu, sih? Tidak ada yang menarik dari diri kamu. Udah deh Maura, kamu tuh nggak ada cocok-cocoknya sama Pak Ghazi," ucap Tia dengan tatapan remeh pada Maura.

Maura menghela nafas panjang kemudian tersenyum. Pedas juga lisan Tia rupanya.

"Tapi buktinya Mas Ghazi melirik saya. Itu artinya saya terlihat menarik bagi Mas Ghazi," kata Maura.

Maura tidak tahu tindakannya ini apakah benar atau salah yang ia tahu sekarang Tia sepertinya sedang berusaha membuatnya goyah dan mungkin saja Tia akan menjadi angin dalam pernikahannya dan Ghazi. Bener kata orang jika perusak rumah tangga orang itu benar adanya.

"Oh begitu? Kita lihat saja nanti, Maura. Apa Pak Ghazi akan tetap bisa bertahan dengan cintanya sama kamu setelah aku akan berusaha merebut hati pria yang saat ini menjadi suami kamu," kata Tia dengam penuh rasa sombong.

Maura tersenyum manis dengan santai.

"Segigih apa pun kamu untuk meraih Mas Ghazi jika dia ditakdirkan bukan untuk kamu maka kamu akan selalu berdiri di garis kegagalan dan nanti berujung kekecewaan," ucap Maura.

Tidak ingin melanjutkan acara debat yang menurutnya minim bahkan tidak berpaedah, Maura memutar tubuh dan melangkah pergi dari sana.

Benar rasa curiganya pada Tia tadi. Bahkan Tia sendiri yang mencetuskan untuk tidak akan berhenti mendekati Ghazi. Gigih sekali wanita itu. Tapi di sini Maura lebih unggul karena ia adalah istri sah dari Ghazi meski tanpa dasar cinta.

"Hobi banget bengong ya, Ra. Itu makananya kapan mau dihabiskan?" tegur Ghazi.

"Eh iya Mas. Ini aku mau makan kok," jawab Maura.

Maura mulai menyuapi satu sendok ke dalam mulutnya hingga makanan yang terhidang di hadapannya tandas dalam waktu yang tidak lama.

***

"Ciee yang habis jalan..., pulangnya udah hampir ashar nih," ujar Dilla bermaksud menggoda Maura.

Maura dan Ghazi baru pulang dan sepuluh menit lagi akan memasuki waktu sholat ashar. Setelah makan siang di resto tadi Maura sempat menemani Ghazi untuk bertemu cliennya dalam waktu singkat.

Ghazi memang libur untuk tiga hari tapi ia tetap memeriksa atau menandatangani laporan kantoran yang dikirimkan sekretarisnya melalui email.

"Kalian jadi jalan? Zahra mana?" tanya Ghazi pada Dilla yang merapikan hijabnya.

"Jadi Kak. Kita nggak lama kok habis zhuhur langsung pulang," jawab Dilla dengan pelan.

Maura duduk di samping Dilla, menyusul Ghazi di sampingnya. Ghazi mengambil gelas berisi orange juice yang ada di atas meja, tahu ini milik Dilla tanpa segan Ghazi mendekatkan ke bibir.

"Ini kok nggak ada rasanya Dill? Kamu buatnya dikasih gula nggak sih?" tanya Ghazi.

Ghazi mengerutkan kening merasakan hambar pada minuman yang ia minum. Hambar sehambar rasanya pada Maura yang tidak jelas.

"Lah berarti aku lupa kasih gula Kak. Ya udah sih kalau mau buat lain," jawab Dilla yang masih fokus pada hijabnya.

"Mau aku buatkan aja Mas? Jus jeruk ya?" tawar Maura yang merasa sedikit kasian pada Ghazi mungkin haus.

"Kamu nggak capek? Istirahat aja dulu Ra sebentar. Nanti setelah ashar kita ke makam ya," kata Ghazi.

"Nggak apa-apa Mas biar aku buatkan dulu. Mas Ghazi tunggu di sini ya," ujar Maura.

Maura bangun dan langsung berjalan ke arah dapur untuk membuat minuman.

Setelah Maura hilang di balik sekat antara ruang tengah dan ruang makan, Dilla menatap penuh arti pada Ghazi.

"Ngapain lihatnya begitu?" tanya Ghazi sambil menyandarkan punggung ke sandaran sofa.

"Udah dekat ya sekarang? One step closer lebih tepatnya? Kayaknya Kak Maura perempuan yang romantis ya," ujar Dilla dengan tatapan menggoda.

"Maura orangnya banyak tanya dan selebihnya biar aku dan Allah aja yang tau. Aku berharap kalau Maura bisa istiqamah dalam pake hijab dan menutup auratnya," kata Ghazi.

Keluarga besar Ghazi memang semua memakai hijab termasuk keluarga baru ayah dan ibunya. Ghazi dibesarkan dengan lingkungan islami yang terbilang ketat sehingga tidak bisa dipungkiri jika ia sangat berharap untuk istri dan keluarga kecilnya nanti untuk bisa hidup dengan nuansa islami yang sesungguhnya.

Ungkapan Takdir (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang