Ada sebutan spesial untuknya dan menurut Maura itu sangat berarti baginya. Tidak ada pria yang menambahkan kata "ku" setelah namanya dan sekarang Maura dengar dengan jelas jika Ghazi melakukan itu. Jabatannya sebagai istri dari Ghazi sepertinya mulia dan Ghazi tidak keberatan untuk memanggilnya istriku.
"Aku percaya Allah akan jaga Mas dan aku," kata Maura.
Maura dan Ghazi saling menukar pandang hingga keduanya larut dalam pandangan yang tenggelam. Pandangan yang tidak larangan untuk saling menyelami satu sama lain. Setiap pandangan yang mungkin nanti akan menimbulkan benih kasih sayang dari keduanya. Sungguh Maura ingin menangis saat ini.
Menangis karena tatapan meneduhkan yang Ghazi berikan padanya. Ah bolehkan ia bersenang hati? Boleh tapi iavharus bersyukur dahulu. Bersyukur atas semua ini.
"Aku bahagia. Entah karena apa pun aku sangat bahagia," bisik batin Maura.
"Permisi Mas, Mbak. Ini minuman yang tadi dipesan," kata seorang waiters dengan nampan berisi makanan di tangannya.
Ghazi lebih bisa menguasai rada kagetnya hingga tidak terlalu ada rasa kaget baginya. Berbeda dengan Maura yang sangat jelas terlihat kaget karena kedatangan pelayan itu.
"Oh ini ya mbak. Terima kasih," jawab Ghazi.
"Silahkan dinikmati Mbak, Mas."
Setelah pelayan tersebut pergi. Ghazi mengalihkan pandangannya ada Maura dan menyodorkan satu piring berisi salad sayur untuk sang istri.
"Makan dulu Ra. Tadi kayaknya kamu belum makan di Cafe yang beda. Aku juga udah laper," kata Ghazi.
Maura menatap lama pada peringatan yang isinya sama dengan piring Ghazi.
"Aku nggak suka salad Mas," kata Maura dengan sedikit nada cicitan.
"Beneran nggak mau? Ini enak loh. Sehat lagi," kata Ghazi.
Maura menggeleng pelan. Ia tidak suka salad sayur dan sepertinya memang tidak akan pernah suka walau dipaksa sekali pun.
"Aku pesanin yang lain aja, ya. Kamu jangan nggak makan."
"Kalau pesan lagi pasti bakalan nunggu lagi kan, Mas. Lama nanti kamunya nunggu aku makan," ujar Maura berniat mencegah Ghazi yang akan memanggil pelayan untuk memesan lagi.
"Enggak apa-apa. Setelah ini kita pulang dan sholat ashar di rumah aja. Kalau emang nggak keburu kita sholat di masjid mana aja bisa," kata Ghazi.
Maura akhirnya mengangguk dengan pasrah. Sebenarnya ia juga sudah lapar dan tubuh bagian tengahnya sudah minta diisi makanan.
"Tapi beneran nggak apa-apa kan, Mas? Aku takut ganggu kamu mungkin ingin istirahat kan ini hari kamu buat istirahat harusnya," kata Maura.
"Nggak ada istri yang merepotkan suami. Mungkin ke depannya aku yang inginnya merepotkan kamu. Apa boleh?" tanya Ghazi.
Maura mengulum senyum. Entahlah hatinya sangat hangat berada di samping Ghazi terlebih mendengar setiap kata yang Ghazi lontarkan membuat hati Maura terasa damai. Tidak terdengar ada rayuan di setiap kata yang Ghazi lontarkan.
"Terima kasih Mas."
Bukannya menjawab boleh atau tidak Maura malah mengucapkan terima kasih.
Ghazi mengangguk.
"Aku makan duluan ya. Ini udah laper banget."
"Ya ampun Mas. Kenapa harus izin sih. Makan aja nggak apa-apa," kata Maura.
Setelah makanan Maura dihidangkan dan Ghazi dengan setia menunggu sampai Maura benar-benar menghabiskan makanannya. Mereka pergi dari sana, tidak lupa membayar dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ungkapan Takdir (Tamat)
RomanceSETELAH BACA FOLLOW AKUN UMMI MENTARI YA. Tidak ada opsi penolakan bagi Maura untuk perjodohan paksa yang dilakukan orang tua angkatnya. HARUS MENERIMA dan itu sangat menjadi awal warna-warni hidup barunya. Akankah Maura bahagia atau malah semakin...