12.

17.1K 1.2K 23
                                        

Maura terdiam dengan Buk Ratih di sampingnya dan seorang karyawan Buk Ratih yang memegang beberapa pasang pakaian. Pakaian yang akan dibeli oleh Ghazi untuk Maura.

Ghazi dan Tia menoleh pada Maura. Sedikit rasa tidak rela melihat Ghazi yang duduk berdekatan dengan wanita lain. Apalagi Maura perhatikan pakaian wanita itu yang duduk di sofa itu. Rok span sedikit di atas lutut menunjukan betapa mulus dan jenjangnya kaki wanita itu.

Pakaian kantor yang membalut di tubuh wanita itu tampak sedikit ... menggoda. Maura yang sebagai wanita pun merasa jika wanita yang ada di dekat Ghazi itu menarik apalagi bagi seorang lelaki.

Sebagai seorang istri, besar harapan Maura untuk Ghazi tidak tertarik pada wanita yang tidak ada namanya dalam rumah tangga mereka, meski Maura tahu jika pernikahan mereka tanpa didasari cinta.

"Maura?" panggil Buk Ratih.

Buk Ratih menyentuh pelan bahu kanan Maura dan membuat gadis cantik itu sedikit tersentak.

"Mas?" cicit Maura pelan.

Tahu-tahu Ghazi sudah ada tiba di hadapannya, entah kapan melangkahnya pria itu ke sini. Maura mengerjabkan matanya, memastikan jika tidak ada yang salah dengan penglihatannyan dan benar Ghazi yang ada di depannya saat ini.

"Itu suaminya manggil dari tadi kok malah bengong Ra?" tanya Buk Ratih.

Baru pertemuan pertama mereka dan Buk Ratih sudah langsung bisa akrab dengan Maura. Banyak hal yang mereka bahas sembari memilih baju tadi.

"Hah ... eh ... iya, Buk?" ucap Maura dengan gelagapan.

Buk Ratih tersenyum dan menatap pada Ghazi yang mengangguk.

"Nanti ambil ke bagian kasir ya. Ibu kemas dulu semuanya," kata Buk Ratih.

Buk Ratih dan karyawannya yang sedang memegang beberapa pasang pakaian untuk Maura meninggalkan Maura dan Ghazi ke arah kasir.

Maura sedikit mendongak, memperhatikan Ghazi yang tengah menatapnya, entah apa arti tatapan itu.

"Kenapa jadi bengong?" tanya Ghazi.

Maura menggeleng dan sedikit gugup. Ekor matanya melirik pada wanita yang masih duduk di sofa dengan perhatian penuh padanya dan Ghazi.

"Kita ke kasir ya. Setelah...,"

"Ini siapa Bapak? Adik Pak Ghazi ya? Cantik dan sama kayak Bapak yang tampan," kata Tia yang melangkah semakin mendekat pada Maura dan Ghazi.

"Hai. Kenalin aku Tia yang dulu sempat kerja di kantor kakak kamu," ujar Tia dengan segala keramahnya pada Maura.

Maura mengulum senyum kaku. Ternyata Ghazi mengenalkannya sebagai adik pada wanita bernama Tia ini. Boleh Maura menangis sekarang? Jawabannya tidak karena sepertinya ia tidak punya hak untuk menentukan anggapan Ghazi terhadapnya.

"Aku Maura," jawab Maura singkat dan menyambut uluran tangan Tia.

Ghazi merangkul pinggang Maura dan mengecup pelipis gadis itu dengan lembut. Jangan tanyakan bagaimana keadaan Maura saat ini. Saat ini Maura mematung dengan rasa gugup dan tubuh yang tidak bisa digerakkan walau sedikit pun.

Tangannya terlepas begitu saja dari genggaman Tia.

"Maura is my wife," kata Ghazi dengan penuh tekanan.

Tia mematung dan ikut mematung sama persis seperti Maura, bedanya Maura dipeluk pinggangnya oleh Ghazi sedangkan Tia hanya seorang diri.

"Is ... istri?" tanya Tia dengan wajah cengo.

Ghazi mengangguk dan dengan santai meraih tangan kanan Maura kemudian mengecupnya lembut. Maura tersenyum getir, ia tidak boleh terbawa perasaan karena sikap yang ditunjukkan oleh Ghazi. Sudah tidak terdengar asing jika pria akan bersikap seperti ini saat di depan orang yang mungkin ada sangkut paut dengan hatinya.

"Nggak ... nggak mungkin. Nggak mungkin kalau Pak Ghazi udah menikah," ujar Tia tidak percaya.

Tia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan yang membekap mulutnya. Mata wanita itu memerah dan berair tanda ada bulir yang akan segera meluncur ke permukaan pipinya.

"Kamu berhak untuk nggak percaya tapi inilah kenyataannya. Aku sudah menikah dan Maura ini adalah istriku," jelas Ghazi.

Ghazi menyelipkan satu anak rambut Maura ke dalam balik hijab yang ia kenakan. Semua itu tidak lepas dari pandangan Mia.

Tanpa kata Tia berbalik dan pergi dari sana setelah menyeka air mata yang meluncur begitu saja.

"Tia itu siapanya Mas Ghazi?" tanya Maura.

Maura sebisa mungkin menunjukkan wajah biasanya meski hatinya sedang berdetak tidak karuan saat ini. Sebelah tangannya masih digenggam erat oleh Ghazi dengan pinggang yang juga dilingkari oleh sebelah tangan Ghazi.

"Nothing special, hanya dia pernah kerja di kantor aku sebagai sekretaris kemudian resign karena ibunya sakit dan pindah ke luar kota," jelas Ghazi.

"Dari tatapan matanya dan dari sikap yang ia tunjukkan sepertinya Tia ada perasaan lebih pada Mas Ghazi," ujar Maura mengeluarkan asumsi.

"Kamu apakah cemburu?" tanya Ghazi.

Maura menggeleng dan mengulas senyum. Melepaskan diri dari Ghazi. Memberi jarak di antara mereka.

"Semua orang juga bisa lihat kok Mas. Kalau tidak punya perasaan lebih tidak mungkin Tia menatap terluka pada Mas Ghazi," jawab Maura lembut.

"Mas Ghazi nanti bisa cerita kan tentang kisah Mas dengan Tia ke aku. Anggap aja curhat," kata Maura.

Ghazi menggeleng dan kembali meraih tangan Maura. Tidak ada lagi suara yang terdengar dari bibirnya karena pemuda itu langsung mengiring Maura ke arah kasir di mana Buk Ratih menunggu mereka.

"Mas," seru Maura.

Maura sampai menghentikan langkahnya dan secara otomatis langkah Ghazi juga terhenti. Ghazi mengangkat sebelah alisnya pada Maura.

"Mas kenapa nggak mau dijawab. Bilang iya atau apa kek," kata Maura.

"Nggak baik cerita masa lalu sama istri. Khawatir menimbulkan rasa cemburu yang mendalam," ujar Ghazi.

"Udah ayo. Setelah ini kita cari makan. Atau jalan-jalan dulu," lanjut Ghazi lagi.

"Jalan ke mana, Mas? Mas yakin mau ajak aku jalan?" tanya Maura.

"Iya. Kamu maunya ke mana? Hari ini aku benar-benar lagi libur dan akan lepaskan sedikit penat mungkin dengan jalan-jalan," jawab Ghazi.

Sekilas sifat Ghazi tampak dingin tapi ternyata ada hangatnya juga.

"Mas nggak keberatan kalau harus ajak aku untuk jalan?" tanya Maura lagi.

Maura memang terlahir penuh kata tanya dalam benaknya.

"Justru akan terlihat aneh kalau aku pergi jalan sendirian," jawab Ghazi lagi.

Ghazi membawa lagi tangan Maura untuk ia genggam kemudian pergi dari sana.




Ungkapan Takdir (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang