"Mas Ghazi nggak papa kalau bawa aku? Apa Mas nantinya nggak malu?" tanya Maura.
Ghazi menggeleng pelan dengan tangan yang bergerak mengambil dan menggenggam tangan Maura. Maura tersentak sudah pasti tapi sebisa mungkin ia tidak berteriaka atau terlihat terlalu keliatan akan rasa kejutnya. Dipegang tangannya bahkan digenggam dengan erat oleh Ghazi berefek tidak karuan pada pada hatinya.
"Kamu itu istri aku dan kamu itu juga pilihan orang tua aku. Aku percaya di balik ini semua ada campur tangan Allah yang menjadikan kita hingga menjadikan kita satu dalam ikatan pernikahan. Maafkan aku yang mungkin bersikap dingin di awal kita menikah tapi yang harus kamu tahu aku memang selalu bersikap seperti itu pada semua wanita yang baru atau tidak aku kenal," kata Ghazi panjang lebar.
Ghazi tidak bisa menutupi lagi rasa yang ada di hatinya pada Maura. Tidak berdosa juga ia mengatakan seperti itu mengingat Maura adalah istrinya saat ini.
"Aku berharap kamu pun tidak malu untuk mengakuivjika aku adapah suami kamu yang sah di mata Allah. Anggap saja kita sekarang berteman, teman yang saling mendekati Allah dan aku yakin suatu hari nanti Allah akan hadirkan cinta di hati kita masing-masing," kata Ghazi lagu.
Diperlakukan dengan lembut oleh Ghazi membuat Maura merasa tersentuh.
"Insya Allah Mas," jawab Maura.
Tidak terasa mobil yang Ghazi kendarai berhenti di depan cafe yang tadi disebutkan oleh Mia dalam sambungan telepon.
"Udah sampai. Kita turun ya," kata Ghazi.
"Ini nggak apa-apa Mas? Aku ikut masuk? Emangnya boleh ya meeting bawa istri?" tanya Maura dengan nada dan wajah polosnya.
Ghazi terkekeh pelan dan mengangguk. Ia usap kepala Maura dengan sedikit canggung namun meski canggung itu tidak lagi berdosa karena sudah halal untuknya menyentuh kepala Maura.
"Emangnya kamu mau buat gaduh di dalam nanti? Kalau nggak rewel ya ikut masuk sama aku. Sekalian aku mau kenalkan sama mereka istri aku dan memang ada beberapa dari klien aku yang mengira aku masih lajang seolah mereka enggak percaya kalau aku udah nikah kemarin itu," kata Ghazi.
Maura ingin rasanya menarik bibir untuk tersenyum, ia benar-benar tidak bisa menahannya lagi. Ghazi ingin mengenakalkannya dengan teman kerja suaminya itu? Bukankah itu suatu hal yang menyenangkan? Sepertinya Ghazi memang ingin serius mengenai ucapannya tadi.
"Jadi masih ada temen Mas Ghazi yang nggak tahu soal pernikahan kita?" tanya Maura lagi.
Ghazi mengangguk. Tanpa sadar ia sandaran lagi badannya pada sandaran mobil dan itu mungkin akan membuat Mia dan klien Ghazi menunggu lebih lama.
"Kok malah nyender lagi Mas? Itu kliennya udah nunggu loh," kata Maura.
Ghazi tersentak dan bangun.
"Eh astagfirullah, ini kamu nih yang yang ngajak ngobrol. Yuk turun Ra," kata Ghazi.
Maura mengangguk dan tanpa mengharap pintu mobilnya dibuka oleh Ghazi, Maura lebih dulu membuka sendiri hampir berbarengan dengan Ghazi yang juga membuka pintu.
Setelah itu, Ghazi meraih tangan Maura dan membawanya untuk digenggam.
"Wajahnya nggak bisa pasang senyum dikit aja," kata Ghazi.
Maura menarik sedikit sudut bibirnya dan benar ia tersenyum. Senyum yang memang cantik apalagi jika terus diperhatikan maka bisa menimbulkan rasa tidak pernah bosan untuk memuji Allah atas diberikannya kecantikan pada Maura.
Ghazi menyelipkan sedikit sudut hijab Maura yang ada di dekat pipi agar terlihat rapi. Setelahnya Ghazi mulai melanglah untuk memasuki cafe lewat pintu yang terbuka luas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ungkapan Takdir (Tamat)
RomanceTidak ada opsi penolakan bagi Maura untuk perjodohan paksa yang dilakukan orang tua angkatnya. HARUS MENERIMA dan itu adalah awal warna-warni hidup barunya. Akankah Maura bahagia atau malah semakin ditikam derita dengan adanya kata "sah" antara ia...