19.

13.6K 972 13
                                        


Di dalam mobil, Maura tidak berani menatap sedikit pun pada Ghazi. Jangankan untuk menatap Ghazi, untuk mendongak pun ia tidak berani. Takut pada aura dingin sang suami.

"Tengkukmu akan terasa sakit kalau menunduk terus," kata Ghazi.

Maura mengangkat sedikit kepalanya dan berusaha tersenyum pada Ghazi.

"Aku memang nggak tahu cerita masa lalu kamu, Ra. Aku pun nggak punya hak untuk tanya tentang itu semua tapi menurut aku masa depan itu lebih mulia untuk kita jalani. Aku pun nggak peduli seperti apa masa lalu kamu."

Maura menahan nafas dalam. Ia menggigit bibir bawahnya masih belum tahu akan mengatakan apa dan akan memberikan tanggapan bagaimana saat ini. Semua ini salahnya yang menerobos untuk pergi dari rumah padahal sudah diwanti-wanti oleh Ghazi tadi.

"Mas, aku boleh cerita sama Mas Ghazi?" tanya Maura.

"Kita lagi di dalam mobil dan aku pun harus fokus sama jalanan. Aku udah cukup tahu siapa Abbas dan aku mau kamu tahu siapa kamu saat ini. Kamu itu istri aku Ra. Jaga itu," kata Ghazi.

Maura menitikkan air matanya. Air mata lelah. Sejak ia dihubungi Abbas tadi, pikiran Maura langsung bercabang yang berarti ia tidak tahu harus memulai jujur dari mana.

"Hiks," isak Maura pelan.

Ghazi yang mendengar itu segera menoleh dan memerhatikan Maura yang kini telah menutup wajahnya dengan bahu yang bergetar. Menangis, Ghazi sering melihat Dilla menangis dengan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh Maura sekarang ini.

Di jalanan yang terlihat lumayan sepi, Ghazi menepikan mobilnya dan memutar badan hingga hadapannya kini penuh pada Maura. Sepertinya maura tidak tahu jika mobil ini berhenti karena terlalu menghayati tangisan sendunya.

"Ra," panggil Ghazi.

Ghazi memegang bahu Maura dan seketika gadis itu melepaskan tangannya dari wajah.

"Aku nggak ada suruh atau tidak minta kamu untuk nangis tapi aku cuma minta kamu mengertikan apa yang aku bilang karena aku nggak mau istriku dipandang remeh orang lain dengan mau berdekatan sama lelaki lain yang bukan mahrom bagi dia," kata Ghazi dengan lembut.

Maura mengusap pipinya yang basah, ia pun tidak tahu mengapa hatinya bimbang seperti ini. Seperti ada rasa bersalah saat mengingat Ghazi yang mengetahuinya ketemu dengan Abbas. Maura ingin Abbas tahu dari penjelasannya tapi ternyata Ghazi sudah lebih dulu datang untuk menjelaskan lebih detail dan dengan durasi yang cukup singkat.

"Jadi dengan bertemu Abbas tadi, Mas Ghazi bilang aku istri yang nggak baik?" tanya Muara dengan wajah berderai air mata.

Ghazi semakin mengerutkan dahinya dan menggeleng pelan mendengar pertanyaan Maura. Fix, di sini Maura tidak mengerti maksudnya.

"Bukan begitu Maura. Aku cuma bilang agar kamu enggak lagi melakukan hal seperti tadi. Hubungan kita ini lebih jelas di mata Allah meskipun kita nggak saling kenal daripada hubungan kamu dengan Abbas yang tidak terikat tali suci pernikahan meskipun kalian saling mengenal baik satu sama lain," jelas Ghazi dengan tenang.

Ghazi sedikit menarik sudut bibirnya untuk membentuk senyuman. Tersenyum karena Maura tidak lagi menangis.

"Apa Mas Ghazi awalnya nggak keberatan dengan pernikahan ini?" tanya Maura.

Maura kini memperhatikan Ghazi dengan sangat serius seolah takut ada kata atau tindakan terlewat yang dilakukan oleh Ghazi.

Kini tatapan Ghazi beralih lurus ke depan. Menatap kosong pada arah kaca mobil yang menunjukkan jalanan di depan sana.

"Sedikit pun aku tidak keberatan padahal aku tahu jika aku akan menikah dengan seorang gadis yang tidak aku kenal. Aku tahu apa yang orang tua aku rencanakan itu merupakan petunjuk dari Allah dan sekarang aku hanya berharap jika pilihan orang tua itu adalah takdir terbaik untukku," ujar Ghazi.

Ungkapan Takdir (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang