10.

19.7K 1.2K 13
                                    


"Kita mau ke mana Mas?" tanya Maura setelah Ghazi melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.

"Ke butik aja gimana? Nggak usah ke mall di mall pasti rame," jawab Ghazi.

"Ya pasti ramai lah Mas. Namanya juga mall dan butik juga pasti rame. Yang nggak rame itu ya di rumah atau kuburan," sahut Maura dengan malas.

"Iya kamu bener. Ya udah berarti kita ke butik aja biar bisa fokus cuma milih pakaian aja ya. Nggak melirik yang lainnya," kata Ghazi.

"Emang nggak boleh kalau beli yang lain? Keperluan aku kan bukan cuma pakaian aja Mas," ujar Maura yang memiringkan badannya hingga kini menghadap pada Ghazi.

Ghazi yang fokus pada jalanan tentu saja tidak memperhatikan Maura. Namun, jangan salah meski mata Ghazi tertuju pada jalanan tapi tetap saja telinga pria itu masih berfungsi dengan baik dan benar.

"Iya aku tahu tapi untuk sekarang ini kita beli pakaian kamu dulu dan rumah nanti aku akan cari secepatnya kalau untuk pangan sepertinya setiap hari sudah disediakan di rumah," kata Ghazi.

Maura menghela nafas dan menggeleng pelan. Ia tidak minta Ghazi untuk menjelaskan itu. Maura hanya menyadarkan pada Ghazi jika pakaian pun tetap memiliki teman untuk diletakkan pada tubuh, aksesoris misalnya.

"Untuk keperluan kamu lainnya nanti kamu bisa beli sendiri atau ajak Dilla yang temani. Aku terlalu sibuk kalau harus nemenin kamu," ujar Ghazi lagi.

Maura berhedem dengan sedikit kesal tapi kembali ingat pada siapa dirinya. Dirinya yang hanya dinikahi dengan jalan perjodohan dan sangat tidak mungkin jika Ghazi akan memperlakukannya bak istri sungguhan.

"Oke," jawab Maura seadanya.

Tidak ingin terlalu banyak berharap, Maura sepertinya harus menata hati agar tidak mudah goyah pada apa pun yang akan dilakukan Ghazi nanti, maksudnya tidak mudah terbawa perasaan.

"Udah sampai ayo turun," kata Ghazi.

Maura sedikit tersentak. Ia menatap di mana mereka berada dan menyadari jika mobil yang ia naiki ini telah berhenti. Ah, seperti apa ia melamun tadi sampai tidak sadar jika mobil milik Ghazi telah berhenti di depan butik.

"Iya Mas," jawab Maura.

Maura tersenyum getir saat Ghazi langsung turun dan berdiri di depan pintu mobilnya. Tidak ingin berharap untuk Ghazi yang akan membukakan pintu untuknya dan sepertinya itu tidak mungkin karena terlihat sekali tidak ada niat Ghazi melangkah mengitari depan mobilnya.

"Sadar Ra, kalian tidak saling mencintai dan pasti tidak ada keinginan bagi Ghazi untuk buka pintu," gumam Maura dalam hati .

Maura membuka pintu untuk keluar dan melanglah mendekat pada Ghazi yang fokus pada ponselnya.

"Mas Ghazi yakin kita ke butik ini?" tanya Maura.

Maura lihat butik ini begitu ramai pengunjung dan itu berarti butik ini butik yang kualitas barangnya bagus. Bukankah segala yang bagus itu selalu ramai oleh pengunjung?

"Iya ini butik langganan mama," jawab Ghazi singkat.

"Mama yang mana Mas? Mama Nela atau Mama Sukma?" tanya Maura lagi.

Ghazi menatap malas pada Maura dengan aura sedingin mungkin. Bawel juga ternyata yang menjadi istrinya ini.

"Mama Nela. Mama Sukma kan tinggalnya di luar kota," jawab Ghazi.

"Tapi di sini mahal nggak sih Mas? Entar aku dibolehin beli baju berapa?" lagi-lagi Maura mengutarakan pertanyaan.

"Terserah kamu Maura. Ayo ah masuk," kata Ghazi.

Terlalu lama bersama Maura sepertinya akan menghabiskan banyak pertanyaan Maura yang akan tersuguh untuknya.

"Terserah? Masa dia bilang terserah? Jawab yang jelas kek," gumam Maura dalam hati.

Maura cemberut saat sadar dirinya ternyata ditinggal oleh Ghazi yang sudah lebih dulu masuk ke dalam butik. Tidak adakah niat Ghazi untuk sekedar menunggu hingga mereka berjalan dengan beriringan. Huft tambah kesel saja hati Maura.

"Masa nanti aku di dalam planga-plongo nggak jelas? Atau berdiri mematung?" bisik hati Maura lagi.

Maura melangkah maju untuk ikut masuk namun seseorang tidak sengaja menabraknya hingga hampir saja Maura terjatuh jika tidak ditahan oleh seseorang.

Maura tertegun dan tubuhnya bagai kaku karena tidak menyangka akan ditahan oleh lelaki tampan ini. Lama Maura perhatikan wajah pria dari samping hingga lupa caranya untuk mengedipkan mata.

"Kalau jalan hati-hati Mbak. Hampir saja istri saya jatuh," kata Ghazi.

Ya, Ghazi yang menahan tubuh Maura. Awalnya Ghazi ingin menjemput Maura untuk segera masuk ke dalam butik dan melihat seseorang yang berjalan dengan kurang hati-hati dengan cepat Ghazi menghampiri. Ghazi memastikan jika ia tidak tidak telat karena jaraknya dengan Maura memang lumayan jauh.

"Eh maaf Mas, saya nggak sengaja. Mbaknya nggak kenapa-napa?" tanya wanita yang sepetinya masih gadis itu.

Maura yang masih ada dalam pelukan Ghazi pun segera kembali berdiri dengan bantuan Ghazi.

"Nggak apa-apa Mbak. Saya baik-baik aja kok," jawab Maura dengan senyum lembut.

"Kalau begitu saya permisi Mbak," ujar wanita itu lagi.

Maura mengangguk dan memperhatikan wanita yang tidak ia ketahui namanya itu melangkah dari sana.

"Makasih Mas," ucap Maura.

Ghazi tidak tersenyum sedikit pun dan hanya mengangguk. Menarik tangan Maura tanpa kata untuk ia bawa ke dalam butik.

"Ngomong kek Mas. Aku bukan kambing yang harus ditarik-tarik begini," celutuk Maura dengan kesal.

Ghazi menatap pada pergelangan tangan Maura yang ia genggam dan melepaskan tangan itu.

"Ya udah makanya gerak cepat dikit bisa kan? Nggak usah pake drama, mau jalan juga," ujar Ghazi.

Maura cemberut. Ia sampai lupa sudah berapa kali memasang wajah cemberut hari ini yang pasti ia sangat jengkel pada sikap Ghazi.

"Loh Ghazi? Jadi beneran datang. Ibu pikir Mama kamu cuma bercanda tadi," seru seseorang.

Ungkapan Takdir (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang