2.

39.1K 2.2K 5
                                    


Melihat senyum yang Zahra berikan padanya membuat kedua mata Maura terasa panas. Panas sampai rasanya ingin menangis saat ini juga. Hampir saja ia menitikkan bunir bening itu jika saja pria di sampingnya yang bernama Ghazi ini menyadarkan Maura dengan memegang pergelangan tangannya.

"Jangan nangis Maura," gumam Maura dalam hatinya.

Maura menarik lagi sudut bibirnya untuk tersenyum dan menunjukkannya pada Zahra. Zahra masih sangat kecil hingga mungkin belum mengerti apa yang Maura rasakan. Mungkin saat ini yang ada di benak Zahra adalah Maura bahagia.

Para tamu undangan satu persatu bersalaman pada Maura dan Ghazi memberikan kata selamat hingga doa yang terbaik untuk sepasang pengantin baru itu.

Hari ini Maura tampak tampil berbeda, yang biasanya tidak berkerudung tapi sekarang ia memakai kerudung. Permintaan Maura yang diiyakan oleh ibu angkatnya salah satunya adalah ini, diizinkan untuk menggunakan busana pengantin syar'i di hari istimewa ini.

"Anak kecil yang senyum ke sini itu siapa?" tanya Ghazi.

Maura sedikit tersentak karena kaget akan suara Ghazi. Ternyata Ghazi juga memperhatikan Zahra yang sedang tersenyum pada mereka.

"Itu adik aku. Namanya Zahra," jawab Maura pelan.

Ghazi mengangguk dan kembali fokus pada setiap tamu undangan yang menghampiri mereka untuk menyampaikan kata selamat.
Waktu itu terasa begitu lambat bagi Maura karena harus berdiri menyalami para tamu yang hadir.

Setelah keadaan sepi dan waktu pun menunjukkan pukul 8 malam, Ghazi dan Maura meninggalkan pelaminan. Ghazi berjalan duluan dan Maura mengikuti dari belakang dengan sedikit tergesa. Jangan remehkan langkah lebar lelaki yang mungkin satu langkah baginya bisa jadi tiga atau lima langkah bagi kaum wanita.

"Untuk malam ini kita istirahat di sini. Kalau kamu mau mandi silahkan, aku akan cari kamar mandi lain," ujar Ghazi.

Mata Maura menyusuri kamar ini. Kamar yang terlihat indah karena telah dihias seindah mungkin. Andai pernikahan ini adalah pernikahan terniat dari hati Maura, pasti ia akan merasa senang sekarang tapi tidak, ini adalah pernikahan tanpa rencana yang harus Maura jalani.

"Kamu mandi duluan aja di kamar mandi itu. Aku bisa tunggu sampai kamu selesai mandi," jawab Maura dengan sedikit senyum.

Ghazi mengangguk. Melepaskan jas hitam yang tadi ia kenakan dan meletakkan pada sandaran kursi yang ada di depan meja rias. Ghazi masuk ke dalam kamar mandi dengan kemeja putih dan celana hitamnya.

Sementara Maura masih berdiri di dekat meja rias. Matanya mengarah pada jas hitam milik Ghazi. Mengulurkan tangan ke sana dan Maura mengelus pelan permukaan kain lembut itu.

"Aku buka hiasan ini dulu deh," gumam Maura sendiri.

Maura melepaskan hiasan kepala setelah itu baru melepas lilitan jilbab putih dari kepalanya. Agar nanti saat masuk ke dalam kamar mandi Maura tidak terlalu repot pada hiasan kepalanya.

"Ini koper aku? Hem pasti ibu yang taruh di sini," kata Maura lagi.

Membuka kopernya, Maura melihat sebuah foto yang tergeletak di atas pakaianya. Lembaran foto yang terlihat sudah usang dan mungkin foto itu dibidik pada beberapa tahun yang lalu.

"Mama," gumamnya dengan lirih.

Maura mengusap foto yang ia sebut mama tadi dengan lembut dan dengan derai air mata yang mengalir deras ke pipinya.

"Mama tahu nggak kalau sekarang aku udah nikah Ma. Hari ini aku resmi jadi istri dari seorang pria bernama Ghazi. Seorang pria yang aku nggak kenal sama sekali," curhat Maura pada foto yang ada di dalam genggamannya.

"Bilang sama Allah ya Ma. Agar pernikahan ini diberi keajaiban hingga akan berakhir indah nantinya," kata Maura lagi.

Maura mengusap pipinya yang basah dan dengan gerakan cepat ia masukkan foto itu pada koper dan di bawah tumpukan baju-bajunya. Sudah lebih dari lima menit Ghazi masuk ke dalam kamar mandi dan itu artinya tidak lama lagi pria itu akan keluar.

Benar saja, baru Maura mengeluarkan pakaian untuk tidur yakni piyama yang akan pakai malam ini, terdengar suara pintu yang dibuka. Pintu kamar mandi.

Tanpa menoleh pada Ghazi yang entah di mana posisinya, Maura segera masuk ke dalam kamar mandi dan mengunci pintunya dengan cepat. Maura tidak mau menunjukkan wajah sedihnya pada Ghazi.

Sementara Ghazi menatap aneh pada Maura yang tadi bergegas cepat masuk ke kamar mandi tanpa menoleh sedikit pun padanya. Tidak ingin tahu Ghazi mengedikkan bahunya dan mengitari menaiki tempat tidur.

Namun, langkah Ghazi tertahan saat melihat ponsel yang ada di atas koper milik Maura berkedap-kedip. Tidak ada suara deringan sepertinya gadis itu memang sengaja mrngatur mode silent pada ponselnya.

Awalnya Ghazi biasa saja dan seolah tidak peduli pada ponsel Maura tapi melihat untuk kesekian kalinya ponsel itu berkedap-kedip membuat rasa penasaran muncul di benak Ghazi.

Pria itu memutar langkah pada koper Maura dan menatap sekilas pada pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Gemercik suara air pun terdengar dengan sangat jelas.

"Ibu," gumam Ghazi.

Ghazi menatap lama pada nama yang tertera di atas layar ponsel Maura. Bingung antara menekan ikon hijau atau justru membiarkan saja sampai ponsel itu mati dengan sendirinya.

"Sepertinya Maura masih lama dan tidak ada salahnya juga kalau aku angkat toh sekarang Maura adalah istriku," gumam Ghazi.

Ibu jarinya menekan ikon hijau pada layar ponsel itu dan mendekatkan sedikit pada sumber pendengarannya.

"Maura, ke mana aja sih. Dari tadi ditelpon juga," sentak suara di seberang sana.

"Kamu tahu nggak kalau Zahra nangis terus dari tadi? Kamunya bukannya turun sebentar kek tenangin adik kamu. Ibu nggak mau ya kalau adik kamu ini buat repot," cerocos suara di seberang sana lagi.

"Ibu sama bapak mau pulang malam ini juga. Jadi, kamu urus ini si Zahra. Dia sendirian di kamar ini. Oh iya kamu jangan bilang sama Ghazi kalau Zahra ini adalah adik kamu ya. Bilang aja kalau kamu itu anak tunggal dan jangan lupa bilang kalau Ibu dan bapak itu yang udah sangat berjasa untuk kamu," sambung Ibu.

Ghazi mengepalkan tangannya dan menggeleng pelan. Tidak habis pikir dengan ucapan Ibu Maya. Tanpa aba-aba pria itu langsung menatikan ponsel milik Maura dan meletakkannya kembali pada tempat semula.

Ungkapan Takdir (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang