11

17.1K 1.1K 6
                                    

"Loh, Ghazi? Jadi beneran datang. Ibu pikir Mama kamu cuma bercanda tadi," seru seseorang.

Maura dan Ghazi menoleh pada wanita seumuran Ibu Nela.

"Eh, Buk Ratih. Iya, Buk. Ini aku sama Maura jadi ke sini. Mama kasih tau Ibuk ya?" tanya Ghazi setelah menyalami Buk Ratih.

Maura juga ikut bersalaman dengan Buk Ratih bahkan Buk Ratih dengan tanpa segan memeluk tubuh Maura.

"Cantik istri kamu, Zi. Pinter ya carinya," ujar Buk Ratih.

Maura tersenyum tipis dan Ghazi pun begitu.

"Alhamdulillah, Buk diberi yang bening begini," sahut Ghazi.

"Oh iya, Ra. Ini Buk Ratih teman Mama Nela sekaligus pemilik butik ini," kata Ghazi memperkenalkan Buk Ratih pada Maura.

Maura mengangguk dan memberikan senyuman manisnya pada Buk Ratih.

"Nama kamu siapa, Sayang?" tanya Buk Ratih pada Maura.

Wajar jika ia lupa, kan ia tahu nama Maura saat menghadiri acara pernikahan Ghazi kemarin dan itu pun samar-samar.

"Nama saya Maura, Buk. Maura Ariyanti," jawab Maura dengan lembut.

"Kamu lebih cantik aslinya ya daripada di poles kayak kemarin. Ini lebih cantik dan natural bangat," puji Buk Ratih.

Ternyata teman dari ibu sambung Ghazi ini sedari tadi sangat memperhatikan Maura.

"Ibu bisa aja. Ibu Ratih juga cantik. Cantik banget malah," kata Maura.

"Wajar cantik, Ra. Kan Buk Ratih hampir setiap minggu ke salon sama mama. Kalau kamu nggak payah ke salon juga udah cantik banget," kata Ghazi.

Secara tidak jelas Ghazi tengah memuji dan mengakui kecantikan Maura dan memang tidak bisa dipungkiri untuk hal itu.

"Jangan mau, Ra. Harus tetap ke salon. Percuma uang Ghazi banyak kalau nggak dimanfaatkan untuk menyenangkan istri. Kamu pelit atau gimana sih, Zi?"

"Ya bukan pelit, Buk. Buat apa pelit sama istri sendiri. Aku cuma bilang kalau Maura memang udah terlahir cantik jadi kalo nggak ke salon juga udah keliatan cantik tapi kalau mau ke salon juga enggak aku larang. Mau pake berapa pun dari uang aku juga boleh asal nggak mubazir," jelas Ghazi.

Maura tidak menyangka dan sungguh tidak menyangka jika kata-kata yang keluar dari bibir Ghazi bisa semanis ini. Eh ... manis enggak sih? Manis dong. Orang yang jarang banyak bicara akan menjadi pusat perhatian saat ia mengeluarkan kata-kata lebih banyak dari biasanya.

"Ehem, iya ya, Zi. Tau istrimu luar biasa cantiknya dan kalian menang sangat cocok," kata Buk Ratna.

"Sama aja sih, Buk. Cantik nggak cantik kan ciptaan Allah," ujar Maura.

Entah sejak kapan ia berfikir seperti itu. Menular dari Ghazi sepertinya, Maura kan jarang belajar agama. Mungkin belum menangkap hidayah yang datang.

"Iya bener, Ra. Ghazi mungkin akan batalkan pernikahannya kalau tahu gadis yang akan dia nikahi tidak secantik kamu."

"Hal lumrah sih sebenarnya itu. Realistis aja kalau cantik tidaknya seorang wanita menjadi tolak ukur pada pandangan pertama," kata Buk Ratih.

Dalam hati Ghazi sedikit membenarkan. Kenapa sedikit? Karena baginya bukan penampilan yang menarik tapi hati.

Ghazi memang belum mengenal Maura secara luas tapi ia yakin pada pilihan Allah. Pilihan orang tuanya adalah perwakilan dari pilihan Tuhan.

"Emm, Ibuk bisa bantu aku untuk carikan baju bersama Maura? Ibu pilih aja yang kira-kira cocok dengan Maura," tanya Ghazi pada Buk Ratih.

"Tentu bisa dong, Zi. Kamu ini kaya sama siapa aja," jawab Buk Ratih dengan sedikit kekehan.

"Aku tunggu di sana, ya. Kamu ikut Buk Ratih. Pilih aja yang mana kamu suka," ujar Ghazi pada Maura.

Maura mengangguk dan mencoba tersenyum pada Ghazi.
Maura menatap penuh arti pada suaminya itu. Ghazi mengangkat sebelah alisnya dan membalas tatapan Maura.

"Mas," panggil Maura melirik Buk Ratih yang berbicara pada costumernya yang lain.

"Kenapa?" tanya Ghazi.

"Huft. Aku nggak mau kalau nanti Mas Ghazi jadi malu. Apa pilihan aku nanti enggak akan buat malu, Mas Ghazi?" tanya Maura pelan.

Ghazi menatap pada sekeliling ruangan ini. Ada pancaran tidak suka di hatinya saat melihat beberapa pasang mata lelaki yang ada di sana tertuju pada Maura. Dengan cepat Ghazi menggeleng untuk menepis rasa aneh yang tiba-tiba hadir di benaknya.

"Kamu mau aku bantu pilih? Aku nggak suka warna yang terlalu mencolok dan kalau model, bagi aku asal aurat kamu tertutup dengan sempurna, it's oke. Tapi yang harus kamu tahu Ra. Pilihlah pilihan yang cocok di hati kamu karena kalau kamu terus ikut apa kata aku kamu nggak akan pernah bebas," kata Ghazi.

Ghazi meletakkan kedua tangannya pada bahu Maura saat tak nyaman karena lagi-lagi mata keranjang para buaya darat melirik penuh minat pada Maura.

"Iya, Mas. Ya udah aku ke sana dulu. Aku janji nggak akan ambil banyak kok,"

"Ambil sebanyak yang kamu mau, Ra. Namun, kamu harus ingat kalau kamu akan suka sama semua yang kamu pilih dan akan kamu pake," potong Ghazi cepat.

Tidak ada senyum di wajah Ghazi. Berbeda sekali dengan saat Buk Ratna di sini tadi. Wajah Ghazi akan sangat ramah.

"Iya, Mas. Sekali lagi aku ke sana," ujar Maura.

Ghazi mengangguk dan berjalan ke arah sofa. Merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel dan memilih untuk memeriksa pesan atau e-mail yang di kirim oleh sekretarisnya.

"Pak Ghazi?" seru seorang wanita yang memakai pakaian kantoran.

Ghazi mengerutkan dahinya guna mengingat wajah wanita ini. Kepalanya mengangguk saat ingatannya berhasil menangkap memori tentang wanita ini.

"Tia?" ucap Ghazi dengan sebelah alis yang naik ke atas.

Wanita yang ia sebut Tia itu mengangguk, melangkah mendekat pada Ghazi dan langsung duduk di samping Ghazi tanpa ada jarak. Sontak saja Ghazi dengan gerakan cepat menggeser tubuhnya.

"Masih seperti dulu ya, Pak. Masih selalu jaga jaga jarak dengan wanita," ujar Ami.

Ghazi mengangguk dan masih dengan raut wajah yang datar bahkan sangat datar.

"Iya karena aku takut pada Allah karena memang aturan Allah tidak boleh berdekatan atau berdua-duaan dengan yang bukan mahram," jelas Ghazi.

"Mas Gha ... zi?" panggil Maura dengan sedikit cicitan diakhirnya.

Ungkapan Takdir (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang