25

13.9K 864 17
                                        

Sedari tadi kedua tangan dua insan yang hatinya saling bergetar mengirim sinyal cinta ini terus menggenggam erat.

Hari ini tiba, hari di mana Ghazi harus pergi meninggalkan sang istri, Maura untuk urusan pekerjaan. Mereka sudah berada di Bandara, permintaan Maura tadi pagi yang ingin ikut mengantarkan Ghazi ke Bandara.

Ghazi menerima kabar jika Papa Amru juga ikut pergi dan itu membuat hati Maura sedikit lega. Ya, sedikit ada rasa berat saat harus melepaskan Ghazi untuk pergi. Di ujung sana Papa Amru sedang bersama Mama Nela. Sepertinya sedang menunggu mereka.

"Itu Mama, Mas."

Ghazi mengangguk. Sebelah tangannya menarik koper sementara tangan kanannya merangkul bahu Maura untuk mendekat pada Mama Nela.

"Assalamu'alaikum. Ma," ucap Ghazi.

Ghazi menyalami tangan Mama Nela dan diikuti Maura. Maura mendapatkan kecupan di pipi dari ibu mertuanya itu.

"Alhamdulillah bisa lihat menantu cantik Mama lagi. Nggak terasa udah satu bulan kita nggak ketemu ya, Ra."

Tangan Mama Nela mengusap pipi Maura. Mereka tidak pernah lagi bertemu sebelum hari ini tiba.
Masih ada waktu 5 menit lagi untuk berbincang sebelum pesawat lepas landas.

"Mukanya sedih banget? Kenapa nggak ikut aja sama Ghazi? Biasanya pasangan baru itu pingin nempel terus loh," kata Mama Nela.

Maura memejamkan mata sejenak saat Ghazi ikut menatapnya. Sebegitu terlihatnya rasa sedihnya sampai Mama Nela bisa menangkapnya.

Ghazi memasukkan ponselnya pada saku celana dan mendekat pada Maura yang tadi berdiri di samping Mama Nela. Meraih tangan sang istri lalu ia genggam dan beri kecupan.

Maura mendongak dan merasakan telapak tangan kanan Ghazi yang membelai pipinya lembut. Mata mereka saling bertatapan, saling menyuarakan ungkapan cinta yang semakin dalam dan detik itu juga Maura menjatuhkan kristal beningnya.

Air mata Maura semakin turun dengan deras setelah merasakan dekapan hangat yang Ghazi berikan untuknya. Ghazi mendekap erat Maura.

"Sedih boleh tapi nggak boleh berlarut-larut ya. Minta untuk Allah tenangkan hati dan jernihkan fikiran. Kalau kangen jangan segan telepon aku, " bisik Ghazi tepat di telinga Maura.

Maura mengangguk dengan isakannya kecil. Tidak peduli pada Mama Nela dan Papa Amru yang pasti tengah menjadikan mereka perhatian. Ghazi melonggarkan pelukan saat sudah waktunya untuk ia naik ke pesawat bersama Papa Amru.

Gio mengecup lembut kening Maura lama, sebelum benar-benar melangkah pria itu membisikkan kata cinta di telinga Maura.

"Kita pulang yuk, Ra. Mama juga pulangnya ke rumah kamu dan Ghazi. Nggak ada temen kalau di rumah dan udah izin ke Ghazi juga tadi. Maaf ya Mama belum bilang ke kamu."

Maura mengusap air matanya dan mengangguk pada Mama Nela.

"Jangan nangis lagi. Nanti di rumah telepon Ghazi. Ungkapan sekangen apa kamu sama dia."

Eh, rindu? Akankah Maura merasakan?

"Kita pulang pake mobil Mas Ghazi kan Ma? Sama Pak Parto?" tanya Maura.

"Iya. Tadi Mama dan papa ke sini diantarkan sopir dan udah pulang."

"Alhamdulillah jadi Maura ada temen ngobrol di rumah selain Dilla dan Zahra," ujar Maura dengan wajah yang dibuat senang.

"Ya udah yuk kita pulang."

***

"Buk Maya udah nggak pernah jenguk kamu lagi ya, Ra?" tanya Rara.

Pulang dari bandara tadi Maura dan Mama Nela mendapati Rara sudah duduk manis di ruang tamunya bersama Zahra. Sahabatnya itu datang karena katanya malas ke kampus padahal hari ini ada jadwal kuliah.
Kalau saja dulunya Maura diberi kesempatan untuk bisa kuliah maka ia akan bersungguh-sungguh tapi kadang apa yang diharapkan tidak sesuai dengan apa yang Allah tentukan.

"Selama menikah aku memang udah nggak ada ketemu ibu lagi. Harusnya aku yang jenguk ibu dan bapak ke sana tapi aku segan sama Mas Ghazi. Terlebih Mas Ghazi udah tau semua tentang ibu."

"Mas Ghazi pernah ngajak aku ke rumah ibu untuk jenguk tapi waktu itu Zahra jatuh sakit jadi kita tunda dan sampe sekarang belum jadi ke sana," cerita Maura.

Ibu Maya sudah sangat berjasa bagi Maura dan Zahra. Melalui Ibu Maya juga ia bisa bertemu Ghazi dan menikah. Maura tidak akan pernah lupa pada jasa dan semua kasih sayang ibu Maya meskipun kadang di masa lalu, Ibu Maya sering berprilaku yang jauh dari kata layak untuknya.

"Gimana kalau besok aku yang antar ke sana? Kayaknya Buk Maya dan suaminya kangen kamu, Ra," kata Rara.

"Bener bisa? Nggak ganggu waktu kamu, kan? Soalnya besok Zahra mau diajak cari peralatan sekolah sama Mama Nela, Dilla sekolah dan aku sendiri di rumah."

Rara tersenyum sembari mengangguk yakin pada sahabatnya ini.

"Besok aku kosong kok seharian. Sekalian kita ketemuan Anis dan Alya juga," ujar Rara.

"Wah boleh dong. Makasih ya Rara udah mau ajakin aku ke rumah ibu. Besok kamu bantuin aku untuk cari sesuatu yang bermanfaat untuk ibu dan bapak ya."

Setelah ini atau mungkin nanti malam Maura akan meminta izin pada Ghazi lewat telepon. Maura yakin jika Ghazi akan mengizinkannya. Kok tiba-tiba jadi ingat Ghazi ya. Apakah ini yang dinamakan kangen?

Jangan lupa vote+komen.
Follow juga akun _Mentarii

Ungkapan Takdir (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang