"Bas. Aku rasa hubungan kita ini sudah cukup sampai di sini aja ya. Aku nggak bisa lanjutkan lagi...," ujar Maura dengan sedikit gugup.Bagaimana tidak gugup, ia dipandangi dengan sangat intens oleh Abbas.
"Kenapa?" tanya Abbas dingin.
Maura balas menatap Abbas. Ia bingung sekarang ditanya begitu, sudah pasti Abbas akan bertanya mengenai alasannya yang ingin mengakhiri hubungan ini dan Maura sepertinya harus menguatkan hatinya agar bisa mengatakan dengan jujur mengenai alasan itu.
"Aku ... maafin aku Bas. Aku sebenarnya,"
"Maura?" seru seseorang yang berdiri tidak jauh dari meja Abbas dan Maura.
Maura menoleh dan betapa terkejutnya ia melihat siapa yang berdiri di sana. Maura semakin takut dan kali ini telapak tangannya terasa basah oleh keringat yang tiba-tiba muncul. Maura tidak bisa menahan rasa gugup, bukan hanya ditatap oleh Abbas tapi sekarang malah ditatap dengan intens juga oleh dua orang yang berdiri di sana.
"Kamu bohong tau nggak Ghazi. Istri kamu yang kamu bilang sholehah ini ternyata mau ya ketemuan sama pria lain di luar rumah dan lihat, dia datang sendiri ke sini," ujar wanita di samping Ghazi.
Ya, yang ada di depan sana adalah Ghazi. Ghazi berdiri berdampingan dengan Tia yang setahu Maura adalah mantan sekretaris Ghazi dulu.
"Mas Ghazi," gumam Maura pelan.
Maura sampai bangun dari duduknya saat Ghazi berjalan mendekat pada mejanya. Berdiri di hadapannya dengan Tia yang mengintili sang suami. Suami Maura maksudnya.
Wajah Ghazi terlihat dingin dan datar. Pria itu menghela nafas berkali-kali dengan sedikit menburu. Jangan tanyakan kabar hatinya saat ini yang pasti hatinya panas dan ingin marah namun tidak layak ia marah karena perasaan Maura pun tidak ia tahu berlabuh pada siapa.
"Sayang, aku tadi telpon kok nggak diangkat?"
Maura mengangkat wajahnya dan menatap heran pada Ghazi. Tidak seperti yang ia bayangkan jika Ghazi akan mengamuk atau marah tidak jelas padanya tapi Ghazi malah memanggilnya sayang. Mimpikah Maura? Bolehkan Maura tersenyum sekarang? Tapi mungkin waktunya untuk tersenyum saat ini tidak sesuai situasi dan kondisi.
"Mas."
Ghazi mendekat pada Maura dan berdiri di samping sang istri. Mendekatkan wajahnya pada Maura dan tanpa segan menempelkan bibirnya pada kening Maura dengan sayang.
Perlakuan Ghazi tentu saja membuat Abbas dan Tia membulatkan mata. Oh bukan hanya mereka tapi juga Maura sendiri. Maura pun tidak menyangka dan tidak mengerti dengan tindakan Ghazi ini.
Meski begitu, Maura tetap diam dan tidak bisa berkutik sama sekali. Ia bingung harus melakukan gerakan yang seperti apa saat ini.
"Ini siapa Dear? Teman kamu ya," tanya Ghazi dengan suara yang lebih keras dari biasanya.
Ghazi sudah meletakkan sebelah tangannya pada pinggang Maura dan semakin membuat hati Maura berdetak tidak karuan.
"Em Mas...," gugup Maura.
Abbas tersenyum getir melihat itu. Ia paham sekarang mengapa tadi Maura mengatakan ingin mengakhiri hubungan mereka. Lucu sekali baginya. Ini adalah jawaban yang rasanya tidak perlu untuk diperjelas lagi karena semua sudah tampak jelas.
"Ya Sayang? Kalau urusan sama temen kamu ini udah selesai lebih baik kita pulang ya. Aku capek Sayang pingin istirahat dan pingin minum teh jahe buatan kamu," kata Ghazi dengan wajah yang dibuat selemas mungkin.
Ghazi mengepalkan tangganya di balik badan. Dari ekor matanya yang sebelah kiri, ia bisa melihat jika Abbas menatap pada Maura. Ghazi sekarang mengerti jika Abbas dan Maura sepertinya punya hubungan spesial yang mungkin terjalin sebelum ia dan Maura menikah.
Meski pun mungkin Abbas dan Maura adalah dua orang yang mencintai tapi tetap saja ia sebagai suami dari Maura harus menjaga ikatan pernikahan mereka.
Ghazi memutar badan hingga kini langsung berhadapan dengan Abbas. Memberikan senyuman hangat yang dibales delikan tajam oleh Abbas. Telapak tangan Maura masih ia genggam dan sedikit pun Ghazi tidak melepaskan tangan yang ada dalam genggamannya itu.
"Saya Ghazi, suami dari Maura. Sepertinya kita butuh bicara?" ujar Ghazi pada Abbas.
Abbas menatap saja pada tangan kanan Ghazi yang telulur tanpa menyambut. Merasa ditolak akhirnya Ghazi menarik lagi tangannya dan tersenyum penuh arti pada Abbas.
"Maura itu pacar saya dan kamu seenaknya bilang kalau dia itu istri kamu?"
Abbas mengeluarkan ucapannya dengan rahang yang sudah mengeras.
Maura semakin meremas genggaman Ghazi. Ia merasakan hawa tidak enak akan terjadi. Bagaimana jika Abbas dan Ghazi sama-sama tidak bisa mengontrol emosi. Ternyata jadi rebutan itu sungguh tidak menyenangkan.
"Saya sudah menikahi Maura dengan saksi dan di depan penghulu. Itulah alasan kenapa saya berani mengatakan jika Maura ini adalah istri saya dan kamu bisa tanya sama Maura siapa saya," kata Ghazi dengan wajah tenangnya.
Maura menahan tangan Ghazi yang hendak melepaskan genggamannya. Dari kode itu Ghazi cukup peka jika ia diperbolehkan untuk menggenggam tangan Maura yang memang istrinya.
"Kita lihat saja nanti siapa yang akan bisa dapatkan Maura. Karena aku yakin kalau Maura masih sangat mencintai aku yang memang sejak dulu udah menjamin hubungan dengannya," ujar Abbas dengan nafas yang memburu.
"Hubungan yang halal akan selalu menang jika dibanding dengan hubungan yang belum ada kejelasan atas kepastian. Selamat siang dan sampai jumpa. Assalamualaikum," ucap Ghazi.
Ghazi sungguh tidak peduli pada raut wajah selanjutnya yang akan Abbas tunjukkan. Ia menarik pelan tangan Maura dan mengambil ponsel Maura dari atas meja. Lantas membawa sang istri menuju pintu cafe untuk keluar. Maura hanya pasrah dan tidak ada satu patah kata pun yang ia keluarkan sebagai bentuk protes pada Ghazi.
Abbas mengepalkan tangannya dan menekan meja dengan kepalan tangan. Ingin rasanya ia meraih Maura dan membawanya pergi namun tidak bisa karena tidak ingin mengundang keributan di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ungkapan Takdir (Tamat)
Roman d'amourSETELAH BACA FOLLOW AKUN UMMI MENTARI YA. Tidak ada opsi penolakan bagi Maura untuk perjodohan paksa yang dilakukan orang tua angkatnya. HARUS MENERIMA dan itu sangat menjadi awal warna-warni hidup barunya. Akankah Maura bahagia atau malah semakin...