13

16.5K 1K 2
                                        


Maura menunggu di dalam mobil sembari memainkan ponselnya. Ghazi sedang sholat zhuhur di sebuah masjid yang ada di samping jalan.

Maura yang tengah berhalangan jadi tidak bisa ikut sholat. Mereka belum jadi jalan-jalan karena setelah selesai dengan belanja tadi Buk Ratih mengajak mereka mengobrol dulu sampai dua jam lamanya dan tidak lupa Buk Ratih memperkenalkan putra semata wayangnya pada Maura.

"Kalau pun nggak ikut sholat wanita yang lagi berhalangan masih bisa mendapat pahala dengan bacaan istighfar untuk mengurangi dosa," ujar Ghazi yang sudah kembali ke dalam mobil.

Ghazi duduk dengan pandangan arah mata tertuju pada Maura yang sepertinya asyik dengan ponsel pintarnya. Entah apa yang dilakukan wanita cantik itu.

"Eh Mas Ghazi kapan masuknya? Kok udah ada di dalam mobil aja sih?" tanya Maura heran.

Ghazi menatap datar padanya. Tidak perlu dijawab pertanyaan Maura yang ini. Tidak ada yang menyuruh gadis itu terlalu fokus pada benda pipih di tangannya sehingga sampai tidak sadar jika pintu mobil bagian kemudi di buka oleh Ghazi bahkan sampai Ghazi duduk di sana.

"Pertanyaan itu untuk dijawab," kata Maura berniat menyindir.

Maura menegakkan duduknya saat Ghazi mulai melajukan mobilnya.

"Nggak semua pertanyaan harus dijawab," balas Ghazi.

Maura mencebikkan bibirnya dan mematikan ponsel lantas kembali ke jalanan.

"Tapi aku butuh jawabannya, Mas. Mas Ghazi juga pasti pernah ngerasain begitu," sahut Maura dengan sedikit ketus.

Ghazi tersenyum miring dan menggeleng pelan.

"Untungnya apa kalau aku jawab? Udah jangan biarkan pikiran kamu memikirkan hal-hal yang enggak seharusnya ada dalam pikiran kamu," kata Ghazi.

Kali ini Maura membolakan matanya. Bukankah biasanya jika ada perdebatan antara lelaki dan wanita maka yang berada di posisi unggul adalah si wanita, tapi sepertinya pernyataan itu tidak berlaku untuk Ghazi karena ucapan Ghazi yang valid dan tidak bisa untuk di debat.

"Udah laper tahu, Mas. Mas Ghazi enggak ada niat ajak aku untuk makan siang dulu gitu?" tanya Maura yang kembali fokus pada ponselnya.

"Turun," titah Ghazi.

Lagi, mata indah milik Maura mendelik mendengar kata bernada perintah dari Ghazi. Mentang-mentang suami seenaknya saja memerintah. Itu yang ada dalam pikiran Maura.

Ghazi memutup pintu mobil, melihat itu Maura juga ikut keluar. Sekali lagi ia kaget melihat di mana saat ini berada.
Mereka berada di depan resto tempat makan. Ghazi seperti mendengar ungkapan hatinya yang memang ingin makan.

Lupakan rasa laparnya, Maura mengerutkan dahi melihat gadis yang kalau ia tidak salah ingat bernama Tia. Ah iya, benar Tia namanya. Wanita itu juga sepertinya baru keluar dari mobil dan mungkin akan masuk ke resto sama dengan tujuan Ghazi.

"Apa mereka akan menjadi jodoh ya," pikir Maura.

"Bengong lagi? Katanya lapar dan rasa lapar enggak akan bisa diatasi dengan cara tidak makan," ucap Ghazi.

Maura menarik nafas dan membenarkan kata Ghazi. Ia lapar dan ia butuh makan.

"Mas Ghazi yakin kita makan di sini?" tanya Maura sebelum melangkahkan kakinya.

Ghazi mengangguk mantap dan mengangkat sebelah sebelah ttangan untuk melihat jam.

"Sudah jam segini dan akan menghabiskan waktu kalau kita harus keluar untuk mencari lagi rumah makan," jawab Ghazi.

"Ada Mbak Tia loh, Mas. Aku lihat tadi baru masuk ke dalam," kata Maura.

Bukan berniat menciptakan jarak antara Ghazi dan Tia, hanya saja Maura tidak ingin ada drama nantinya di dalam sana. Drama yang nungkin akan membuat telinga tidak nyaman jika seandainya Tia menuntut rasa suka pada Ghazi.

"Ini rumah makan jadi tidak ada yang salah jika Tia ke sini. Siapa pun yang datang ya tujuannya sama yaitu makan," jawab Ghazi dengan tenang.

"Ayo masuk. Kita tidak bisa kenyang dengan kata-kata nanti," sambung Ghazi.

Pria itu berjalan di belakang Maura yang melangkah duluan ke dalam resto.
Memilih meja yang sedikit di sudut membuat sedikit penyesalan bagi Maura karena meja ini langsung bersebelahan dengan meja yang kursinya di duduki oleh Tia.

Tia pun menyadari mereka dan dengan sangat teliti sekali Maura perhatian jika Tia mencuri pandang pada Ghazi. Ghazi ya tetap seperti biasa, diam dan tenang. Tidak tahu dalam diam dan tenang akan menghanyutkan atau tidak.

Pesanan mereka masih belum datang dan Maura memainkan lagi ponselnya. Membaca cerita online, kali ini judul cerita yang ia baca adalah "Musara" dari aplikasi wattpad. Sudah 48 part saja ternyata.

Saat akan larut dalam cerita romansa itu, Maura harus mempause bacaannya karena pesanan mereka tiba, diantarkan oleh seorang wanita yang rambutnya dikuncir satu.

"Makan dulu. Nanti lanjut mainkan hp," kata Ghazi.

"Iya Mas," jawab Maura.

Maura meletakkan ponselnya pada meja di samping wadah yang tersaji makanan yang mereka pesan.

"Aku nggak suka sayur. Kenapa Mas Ghazi pesankan aku sayur?" tanya Maura.

Maura menatap lama pada hidangan di depannya.

"Bukannya tadi kamu iya-iya aja pas aku tanya mau pesen apa?" sahut Ghazi yang sudah menikmati makanannya.

"Aku nggak denger Mas Ghazi nawarin salad sayur," kata Maura.

"Kamu sibuk sama hp tadi. Kalau nggak mau makan salad, pesen yang lain aja ya. Aku udah laper banget ini," jawab Ghazi.

Maura sedikit cemberut tapi mengangguk.

"Mas tungguin aku kan nanti? Aku kalau makan lama, loh."

"Iya aku tunggu."

"Aku ke toilet dulu ya, Mas. Makanannya belum datang juga," kata Maura.

"Hpnya ditinggal sini aja. Nggak usah bawa hp kalau ke toilet. Yang ada kamu malah fokus ke hp nanti," cegah Ghazi saat Maura akan bangkit dari kursinya.

"Itu hp aku, Mas. Nggak lama juga kok aku," jawab Maura.

Maura memang meninggalkan ponselnya. Benar kata Ghazi yang ada ia akan sibuk memainkan ponsel di dalam toilet nanti, tidak lucu juga jika ia melanjutkan membaca novelnya di tempat yang tidak wajar.

Ungkapan Takdir (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang