22

195 47 213
                                    

Setelah selesai mandi Winnie bergegas turun kebawah berniat membantu Anjas yang sedang membuat bakso.

“Wii isi telor sabi tuh.” Winnie berdiri di sebelah Anjas yang sedang sibuk membulatkan adonan itu.

“Saya liat ga ada persediaan telor disini.”

“Emang ga ada, kan ga ada ayam jadi ga ada telor. Sekalinya ada telor udah busuk pas di makan.” jawab Winnie.

“Sini gue bantuin biar cepet!”

“Oke, kita duduk di situ aja biar ga pegel.” Anjas menunjuk ke arah meja makan.

Mereka berdua pun pindah dan duduk di bangku meja makan.

“Et!”

“Apa?” tanya Winnie yang sedikit lagi hampir menyentuh adonan bakso.

“Udah cuci tangan belum?” tanya Anjas.

“Udah, lu ga liat? Nih tangan gue aja masih basah.” Winnie menunjukkan tangannya yang masih basah.

“Keringin dulu tangannya.”

“Iya-iya.” Winnie mengambil beberapa lembar tissue untuk mengelap tangannya yang basah.

“Dah kan?” tanya Winnie yang di angguki Anjas.

“Ih kok lu jago banget sih bikin bakso?”

“Kalo waktu bisa di putar gue mau nemuin elu.”

“Buat?”

“Nyuru lu dagang bakso.” jawab Winnie yang membuat Anjas terkekeh.

Di kamar, Prof. Adi mencoba untuk menyuntikkan penawar yang ia buat.

“Tahan ini agak menyakitkan.” Prof. Adi menyuntikkan sebuah formula yang ia buat.

“Berapa kali sudah aku bilang, aku tuh ga sa— Argh!”

Tiba-tiba Tian merasa sakit di sekujur tubuhnya ketika cairan itu masuk ke dalam sel-sel tubuhnya.

“Kenapa ini sangat menyakitkan?”

Prof. Adi mencabut jarum suntiknya. Lalu menyimpannya di sebuah kotak.

“Kan Papi udah bilang, kamunya aja yang ngeyel.”

"Makanya kalau orangtua ngomong tuh di dengerin."

“Sekarang buka masker mu.”

Tian tersentak kaget. “Kau gila?!”

“Dasar anak ga sopan!” Prof. Adi menoyor kepala Tian. Bisa-bisanya ia di katain gila dengan anaknya sendiri.

“Udah cepet buka masker kamu Tian.”

“Kalau aku gigit Papa gimana?” tanya Tian penuh khwatir.

“Ga akan, ayo cepet!”

“Yang ngerasain kan aku bukan Papa!"

" Kalau aku cium bau manusia aku tidak bisa mengontrol diri aku sendiri.” tuturnya.

“Kau ga akan tau kalau belum mencobanya.”

Prof. Adi menarik paksa masker yang menutupi hidung dan mulut Tian.

Reflek Tian menutup hidungnya. Ia takut hal yang tidak diinginkan terjadi.

“Kembalikan!” rengek Tian.

Prof. Adi menatapnya dengan tatapan sedikit kesal. Ingin sekali rasanya ia menjewer putra satu-satunya ini.

“Anak ini kenapa susah banget di atur sih?”

Tian berdecak sebal. “Baiklah, tapi jangan salahkan aku kalau tiba-tiba aku nyerang papa.”

ZiYA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang