29

173 36 119
                                    

Prof. Adi dan Tian sudah sampai di rumah. Mereka langsung bergegas masuk ke dalam dan di sambut dengan banyak pertanyaan dari Bibi.

“Pak kenapa den Anjas dan den Rizal ga ikut kesini?”

“Sebenernya mereka itu mau kemana?”

“Saya takut terjadi sesuatu sama mereka.”

Alarm petugas imigrasi langsung berbunyi tanda datangnya imigran gelap.

Para petugas imigrasi langsung melaksanakan intruksi dari atasanya, yaitu menangkap para imigran gelap yang baru saja datang.

Winnie, Valen, Rizal dan Anjas terpisah dan mencoba mencari satu sama lain. Mereka berjalan sambil menahan rasa pusing dan mual akibat guncangan dari mesin waktu.

Rizal berjalan sempoyongan, beberapa pasang mata menatapnya aneh. Ia memuntahkan isi perutnya, membuat orang yang melihatnya makin jijik.


Karena tak kuat menahan pusing, Valen menduduki dirinya di atas bangku taman sekolahnya. Ia tak tau mengapa dirinya bisa ada di sekolah.

Seorang perempuan yang tak asing baginya datang memberikan sebotol air mineral. Ia pun menerima air itu dan meminumnya.

“Kok lu udah rapi aja, Win?”

Perempuan itu memperhatikan pakaiannya. Ia bingung, sejak kapan ia sekolah tidak berpakaian rapi?

“Anjas sama Rizal mana?” pertanyaan Valen makin membuatnya bingung.

“Ga jelas lu, kita udahan aja ya.” ucapnya lalu melenggang pergi meninggalkan Valen.

“Siapa yang ga jelas?”

Sekarang Matanya beralih pada sekumpulan pria berseragam hitam yang sepertinya ingin menangkapnya. Ia pun langsung lari ke luar dari area sekolah.

“Itu dia!”

Mereka langsung mengejar Valen membuat semua pasang mata melihat kejadian itu dan bertanya-tanya.

Winnie sudah berada di depan rumah Tian, ia memencet bel rumah Tian dan menunggu respon dari dalam.

Ceklek!

Pintu luar terbuka nampak pria sepantarannya yang sangat ia kenal. Pria itu membuka pintu pagar dan mereka berdua saling  terkejut saat melihat satu sama lain.

“Win?!”

“Lu kenapa bisa gini?” paniknya melihat bekas luka dan darah kering yang masih menempel di wajah dan tangan Winnie.

“Lu?” Winnie memegang pelan pipi merah Tian yang sepertinya habis di tampar.

“Ah ini?” Tian memegang tangan Winnie dan menurunkannya dari pipinya.

“Kejedot.” jawab Tian.

“Boong amat! Ke jedot mana ada kayak gini.”

“Hm, iya. Ini buktinya.” Tian menunjuk pipinya sambil terkekeh.

“Lu belum jawab pertanyaan gue, lu ke—”

“Bapak lu mana?”

“Ken—”

“Gue ada urusan sama bapak lu.” potong Winnie.

Tian menghela napas. “Panggil aja lah sendiri.”

“Astaga, gue udah jauh-jauh kesini buat ketemu sama bapak lu. Tolong waktu gue ga banyak.”

“Kenapa lu mau ketemu sama Bapak gue?”

ZiYA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang