24

197 42 175
                                    

Sebelum membawa Rizal, Prof. Adi menanyakan kebenerannya terlebih dahulu.

“Iya pak, kakek saya namanya Sulistyo.” jawab Rizal.

“Sulistyo apa?”

“Sulistyo doang ga ada nama panjangnya selain nama gelarnya.”

Setelah merasa benar, Prof. Adi memberikan dua buah seragam untuk Rizal dan Bibi. Namun Bibi menolaknya.

“Kenapa bi?” tanya Anjas.

“Bibi ga ikut, bibi disini aja.”

“Ga bi, bibi harus ikut kita. Aku juga kangen sama masakan bibi. Please ya bi, bibi ikut kita.” Anjas memohon sambil menarik-narik tangan bibi.

“Iya deh, tapi tunggu sebentar bibi mau ambil sesuatu.”

Setelah menunggu beberapa menit, bibi keluar dengan kantung plastik yang berisi sayuran.

“Lah, bibi abis belanja?” kaget Anjas.

“Hasil nanam di kebun belakang, den.”

“Iya lu tau? Selama ini gua sama bibi jadi vegetarian. Untung aja bibi nanam, kalo engga—“

“Ayo kita berangkat.” Prof. Adi sengaja memotong pembicaraan Rizal karena ia melihat raut muka Anjas yang tiba-tiba menjadi sedih, mungkin teringat dengan adiknya yang meninggal karena kelaparan.

Valen merangkul bahu Anjas. “Kuy, kita pasti bisa perbaikin ini semua.”

Saat keluar dari rumah dan menuju mobil milik Prof. Adi yang terparkir di depan. Mata Rizal mengarah kepada sebuah mobil yang terparkir di ujung perempatan jalan. Ia sering lihat mobil itu berhenti di depan rumah Anjas.

Selain itu mobil Tim penyelamat juga sering melewati daerah sini tapi Rizal terlalu takut untuk meminta bantuan mereka.

“Lu tau ga itu mobil siapa?” tanya Rizal dan Anjas menggeleng.

Prof. Adi tau betul kalau itu mobil milik istrinya. Ia juga merasa kalau istrinya tahu dengan misinya.

“Ayo kita harus cepat pergi sebelum terjadi sesuatu.”

Mereka semua bergegas masuk kedalam mobil. Mata Valen tertuju pada ban mobil depan yang bocor. Ia langsung melapor pada Prof. Adi.

“Sialan, wanita itu!” Prof. Adi memukul strinya. Ia pergi keluar menuju mobil yang ada di ujung perempatan jalan itu.

Prof. Adi mengetuk kaca mobil namun tak ada respon apa-apa dari dalam mobil itu. Ia tahu kalau mesin mobil ini menyala, pasti dia ada di dalam.

“Endang! Aku tau ini kerjaan kamu!”
Kaca mobil terbuka, terpampang wajah Prof. Endang dan sang sopir yang tak lain adalah  Jhonny.

Sebenarnya Jhonny malas untuk bekerja sama dengan Prof. Endang.

“Apa sih mas?” tanya Prof. Endang disela tawanya.

Prof. Adi makin geram, bisa-bisanya mantan istrinya ini malah tertawa.

“Aku baru inget mesin waktu itu ada, pasti kamu nyariin kan?”

“Ga!” jawab Prof. Adi penuh penekanan.

“Halah, ga usah bohong. Aku tau kamu mas.”

“Jangan sok tau tentang saya, karena kau bukan siapa-siapa.” Jari telunjuk Prof. Adi mengarah pada mantan istrinya.

Jhonny berusaha tak mau ikut campur dengan urusan mereka. Ia bahkan senang jika Prof. Adi berhasil menemukan mesin waktu itu.

“Jhon, awas!”

ZiYA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang