23

188 44 157
                                    

“Kalau ga salah saya pernah menghadiri upacara kematiannya.”

Semua pasang mata langsung tertuju pada Anjas dan menunggu kelanjutannya.

“Ah saya ingat dia, dia itu...hm, siapa ya?” Anjas masih belum bisa menjawabnya padahal jawabannya sudah ada di otaknya.

“Siapa?” tanya Tian.

“Lupa.” lirih Anjas. Ia mengetuk-ngetuk kepalanya.

Di saat penting kayak gini kenapa ga bisa kompromi sih anjir?

“Udah, kalo ga inget jangan di paksain.” ucap Kakek.

“Iya nanti otak mu bisa meledak.” lanjut Prof. Adi.

Mereka pun melanjutkan makannya yang sempat tertunda tadi.


Anjas menduduki dirinya diatas kasur. Otaknya sedaritadi masih berpikir keras. Ia bingung mengapa otaknya tak bisa di ajak kerjasama.

“Bakso bikinan lu sumpah enak banget.” puji Valen, ia merebahkan dirinya di atas kasur.

Valen bingung mengapa Anjas diam saja tak merespon dirinya. Ia pun bangun dan duduk  di sebelah Anjas.

“Oy!”

Anjas sedikit kaget, ia menoleh ke Valen dengan tatapan bingung.

“Ngomong sama siapa?”

What the fu— “Ngomong sama kaca.” kesal Valen sambil menatap cermin besar yang ada di depannya. Dan Anjas pun ber’O ria.

Valen pun mengelus dadanya. Sabar gue mah. “Lu mikirin apa sih?”

“Rizal apa kabar ya?” tanya Anjas yang tiba-tiba teringat dengan sahabatnya itu.

“Rizal?” bingung Valen dan Anjas mengangguk.

“Rizal?!” kaget Anjas tiba-tiba.

“Apaan sih anjir?” Valen makin bingung dibuatnya.

“Rizaaall!” Anjas mengguncangkan tubuh Valen.

“Iya Rizal kenapa weh?”

“Gua udah tau jawabannya!”

Mereka berdua pun langsung bergegas menemui Prof. Adi.

Flashback on...

Banyak karangan bunga yang berjejer rapih di depan halaman rumah mewah nan megah ini, dengan tulisan 'Turut berduka cita atas kepergiannya Dr.Prof. Sulistyo M.sc'

Seorang cucu laki-laki yang sangat terpukul dengan kepergian kakeknya, air matanya tak berhenti mengalir sampai matanya sembab.

Kedua orangtuanya sudah meninggal, di tambah lagi kakeknya yang ikut menyusul kedua orangtuanya.

Anjas sedaritadi berada di sampingnya, mengelus pundaknya dan mencoba untuk menenangkan dirinya.

“Jangan nangis, nanti kakek lu sedih liat lu kayak gini.

Temannya itu--Rizal tak menghiraukan perkataan Anjas. Ia tak iklas kakeknya pergi secepat ini. Ia bahkan jarang bertemu karena kakeknya super sibuk.

Tak sengaja mata Anjas berkontak langsung dengan seorang pria paruh baya yang ada di dekat pintu masuk. Pria itu mengenakan masker dan topi hitam.

Anjas pun mencoba untuk mendekati pria itu namun pria itu langsung pergi dan Anjas kehilangan jejak pria itu.

“Darimana?” tanya Rizal dengan mata sembabnya.

“Kakek lu punya adek?” tanya Anjas dan Rizal menggelengkan kepalanya.

“Kakek anak tunggal.”

ZiYA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang