[END]
"Jika kata adalah mantra yang mampu menembus langit maka kupinta ia tetap bersamaku. Namun sayangnya kata tidak mampu mengembalikan yang pergi"
°
°
"Nana suka dandelion kak."
"Kenapa? Ada bunga yang lebih cantik loh."
"Dandelion itu rapuh kak...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[•••]
"Nana suka dendelion Kak."
"Kenapa? Ada bunga yang lebih cantik loh."
"Dendelion itu rapuh Kak tapi kuat. Kayak Nana."
"Maksudnya?"
"Dendelion itu rapuh Kak, dia butuh angin untuk membantu melepas bunga-bunganya. Dia kuat karena mampu hidup dan bertahan di mana ia hinggap. Seperti Nana, Nana rapuh karena selalu butuh Kak Juna di samping Nana. Tapi Nana juga kuat, Nana bisa jagain kakak."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[•••]
"Juna sini sayang." Panggil Mama kepada anak sulungnya, yang baru saja menjadi seorang kakak. Dengan langkah kecilnya anak laki-laki berusia tujuh tahun itu melangkah menghampiri mama yang terbaring di ranjang pasien, dengan selang infus menancap di tangannya.
"Juna sekarang jadi kakak. Juna harus sayang sama adek ya." Mata kecil itu melihat ke arah box bayi yang ada di samping ranjang mama. Di dalam box itu ada seorang bayi yang tertidur, terbalut kain biru bermotif bunga.
"Mulai sekarang, Juna harus bantu Mama ya jagain adek. Bisa kan sayang?" Bocah laki-laki itu mengangguk dengan semangat, senyum girang yang membuat gigi susunya terlihat tidak pernah luntur.
"Nama adek Juna siapa Ma?"
"Nakula sayang."
"Nakula... Oke. Mulai sekarang Juna manggil dengan sebutan adek Nana, gimana Ma boleh?"
"Boleh sayang." Mama sangat gemas melihat tingkah putra sulungnya, ia melompat ke sana ke mari, mengekspresikan rasa bahagianya karena memiliki seorang adik.
Arjuna tidak henti-hentinya mengajak sang adik yang ada di dalam box bayi berbicara, meski bayi mungil itu tidak meresponnya.
"Papa! Papa! Lihat deh Pa! Tangan adek Nana kecil Pa. Gedean tangan Juna Pa! Lucu ya Pa!"
"Adek Nana kan masih kecil sayang, nanti juga gede sama kok kayak Juna."
"Berarti nanti Juna bisa ngajak adek Nana main bola dong Pa?"
"Bisa dong sayang, nanti Juna bisa main apa saja sama adek Nana."
"Yey!!!"
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Nana tunggu di sini ya, Kakak kerja dulu."
"Eum."
"Kalau Nana butuh sesuatu panggil Kakak ya? Ngerti?"
"Iya Kakak, Nana ngerti."
"Good. Jangan kemana-mana ya, tunggu sampai kakak selesai."
"Eum," Angguk Nakula yang duduk di salah satu bangku di depan cafe, dengan kaki mungilnya yang menggelantung tidak menyentuh lantai, dan kedua tangannya sibuk memegang gagang permen lollipop yang sedang ia emut. Bola matanya mengikuti arah laju kendaraan mengikutinya sampai jauh dan kembali lagi, berulang kali. Masih dengan seragam sekolah dasarnya, dan tas pororo yang ia gendong.
Suara hantaman sebuah benda menginterupsi telinga Arjuna. Dibalik pintu kaca cafe tempat iya bekerja, terlihat banyak orang berkerumun. Ia melihat ke arah bangku tempat Nakula duduk, tapi nihil. Nakula tidak ada.
Jantung Arjuna berpacu sangat kencang, langkahnya semakin berat saat melihat sebuah tangan kecil yang berlumuran darah dengan tas pororo yang tidak jauh. Arjuna mendorong melewati kerumunan orang, ia bersimpuh memeluk manusia kecil di dekapannya, seragam putih merah yang ia kenakan hampir sepenuhnya berwarna merah.
"Tolong!! Tolong panggilkan ambulance untuk adik saya!! Tolong saya mohon!!"