[END]
"Jika kata adalah mantra yang mampu menembus langit maka kupinta ia tetap bersamaku. Namun sayangnya kata tidak mampu mengembalikan yang pergi"
°
°
"Nana suka dandelion kak."
"Kenapa? Ada bunga yang lebih cantik loh."
"Dandelion itu rapuh kak...
Seperti kata pepatah "Daun yang jatuh tidak akan pernah menyalahkan angin" Seperti setiap kejadian yang tiba-tiba datang dalam hidup Arjuna, ia tidak akan pernah menyalahkan takdir.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sudah sebulan setelah kepergian Papa, suasana rumah yang selalu hangat kini sepi dan terkesan dingin. Mama yang masih belum menerima kenyataan bahwa Papa sudah pergi. Pergi yang tidak akan pernah kembali. Arjuna memaklumi itu, karena orang yang meninggalkan Mama adalah ia yang sangat dicintai Mama. Laki-laki yang menjadi imam Mama sampai dua malaikat kecil hadir diantaranya.
Arjuna sudah dengan seragam putih abu-abunya, dan ini masih dibilang sangat pagi. Tapi pemuda berusia enam belas tahun itu sudah sibuk di dapur, memasak dan menyiapkan air hangat untuk Nakula.
"Nakula, bangun dek. Sudah pagi nanti Nana telat. Kakak sudah siapin air hangat. Mandi gih."
Nakula yang belum sepenuhnya sadar, duduk lesu sambil mengucek kedua matanya. Lalu berjalan ke arah kamar mandi dengan wajah kusut khas bocah kecil bangun tidur. Setelah membangunkan Nakula, Arjuna beranjak masuk ke kamar Mama dengan semangkuk bubur dan susu hangat.
Ia duduk di sisi kasur Mama, memanggil Mama dengan suara lembutnya sampai Mama terbangun, sudah satu bulan Mama enggan beranjak dari kamar dan selalu memejamkan mata.
"Mama, mama makan dulu ya. Juna sudah buatkan bubur buat Mama, mumpung masih anget nih Ma."
Mama duduk bersandar, Arjuna dengan sabar dan telaten menyuapi wanita yang sudah 9 bulan 10 hari mengandung dan melahirkannya. Hati Arjuna tercubit setiap kali melihat kondisi Mama yang enggan berbicara walau hanya sepatah katapun.
Kehilangan Papa, mampu membuat Mama hancur. Meruntuhkan dunia Mama yang semula indah. Arjuna hanya mampu tersenyum di depan Mama dan Nakula, tak sekalipun ia tunjukkan dukanya. Sebelum kembali ke dapur untuk menaruh mangkuk dan gelas yang sudah kosong, Arjuna menyempatkan diri membersihkan tubuh Mama dengan handuk basah, menyisir rambut Mama yang berantakan, meski nanti akan kembali berantakan karena mama akan kembali tidur.
Arjuna keluar dari kamar Mama, melihat Nakula yang sudah duduk di meja makan dengan sepotong roti dan susu hangat yang sudah Arjuna siapkan sebelumnya.
Mendengar suara pintu tertutup, Nakula menoleh ke arah suara. Ia melihat Arjuna keluar dari kamar Mama, meski tubuhnya kecil, namun hati Nakula mampu mengerti apa yang terjadi. Ia tersenyum melihat Arjuna yang berjalan ke arahnya, mengusap pucuk kepalanya dan beralih ke wastafel mencuci mangkuk dan gelas bekas Mama.
Nakula memandang punggung kakaknya dengan seksama, ia ingin menangis namun ditahan, Nakula tidak ingin menyusahkan Arjuna. Dia harus mandiri, kakaknya sudah lelah mengurus Mama dan pekerjaan rumah. Bangun subuh dan tidur larut malam. Semua tanggungjawab sudah dilimpahkan kepada Arjuna, dan Nakula tidak ingin menambah beban Arjuna karena perasaannya.