"Tidak ada kata yang mampu terucap saat luka itu kembali datang. Cukup air mata yang mengisyaratkan bagaimana rasa sakitnya."
[•••]
Di kediaman rumah keluarga Irtanto, Jean dan keluarganya sedang duduk bersama. Mereka menyantap sarapan. Kepala keluarga ini, Pak Irtanto sudah lengkap menggunakan pakaian kantornya. Terlihat sangat berwibawa.
"Jean, bagaimana keadaan kantor?" Pertanyaan tiba-tiba datang begitu saja dari Pak Irtanto kepada putra bungsunya.
"Baik Pa," ucap Jean singkat.
"Hari ini ulang tahun Mama, besok kita rayakan. Undang semua pegawai kantor kamu untuk datang ke acara besok. Kamu juga Mahen. Undang semua pegawai cafe kamu." Kedua putra Pak Irtanto Jena dan Mahen hanya mengangguk menanggapi perintah dari ayah mereka.
Bu Irtanto hanya melihat kedua putra dan suaminya seksama, karena ia tahu kedua putranya tidak begitu dekat dengan suaminya yang merupakan ayah dari keduanya. Terlebih Jean, karena sejak kecil ia sudah terbiasa tanpa Pak Irtanto.
Pak Irtanto merupakan pengusaha sukses. Ia memiliki beberapa perusahaan yang dipegangnya, dan salah satunya yang ditangani Jean. Meski cafe milik Mahen tidak ada campur tangan dari Pak Irtanto, tapi tidak dipungkiri kolega yang dimiliki ayahnya itu juga ikut membantu suksesnya cafe Mahen, yang berhasil memiliki empat cabang.
"Kedua sahabatmu itu juga undang Jean. Siapa namanya?" tanya Pak Irtanto.
"Arjuna dan Chandra. Papa tidak perlu khawatir, mereka juga karyawan di perusahaan."
"Oh iya? Papa baru tahu."
"Papa terlalu sibuk hanya untuk mengecek nama karyawan satu persatu," timpal Jean. Mahen yang duduk di samping Jean, hanya menyikut tangan adiknya itu. Mahen tahu, hubungan adiknya dan papanya tidak begitu harmonis. Papa terlalu sibuk, hingga ia jarang memperhatikannya dan Jean. Jika Mahen tidak banyak membantah dan selalu mengalah, tidak untuk Jean. Adiknya itu selalu saja memancing amarah papa.
"Sudah, sudah. Papa sudah jam 7 tuh. Nanti telat loh," Bu Irtanto mencoba mencairkan suasana, agar tidak terjadi perselisihan pagi ini.
Pak Irtanto masuk ke dalam mobilnya yang diantar oleh istrinya. Mobil Pak Irtanto keluar dari pagar besi milik rumah mewah itu. Dari belakang, kedua putra keluarga ini juga mengikuti kepala keluarganya, ya bekerja.
"Jean?" Jean berbalik menanggapi panggilan ibunya.
"Kenapa Ma?"
"Jean, kamu sudah dewasa Nak. Bisakan jangan memancing amarah Papa. Jean bisa lebih mengalah kan Nak?" Dahi Jean seketika mengernyit, paham dengan permintaan sang Ibu.
"Jean coba Ma," jawaban singkat itu mengakhiri percakapannya dengan sang ibu.
Di dalam mobilnya, Pak Irtanto mengeluarkan ponsel genggam yang disimpannya di saku jasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DANDELION [END]✓
Подростковая литература[END] "Jika kata adalah mantra yang mampu menembus langit maka kupinta ia tetap bersamaku. Namun sayangnya kata tidak mampu mengembalikan yang pergi" ° ° "Nana suka dandelion kak." "Kenapa? Ada bunga yang lebih cantik loh." "Dandelion itu rapuh kak...