Happy Sunday💚💚
***
Katanya, kehilangan yang paling menyakitkan adalah kematian. Terkadang orang-orang lebih memilih untuk merelakan orang yang mereka sayang bersanding dengan orang lain dari pada melihat raga sang terkasih dipeluk bumi.
Dan berbicara tentang kehilangan, Jeno udah dua kali merasakan itu. Pertama ketika dia kehilangan calon anaknya, dan kedua ketika dia kehilangan Guanlin. Dua kehilangan itu benar-benar berpengaruh untuk kehidupannya, dua kehilangan yang membuatnya menyesal sampai detik ini. Dua kehilangan yang bukan hanya menyakiti dirinya tapi juga orang-orang di sekitarnya.
Dulu Jeno selalu berkata andai saja, andai saja, andai saja tapi ketika Tuhan yang lebih berkehendak, dia hanya mampu menerima semuanya. Marah pun kepada siapa? Untuk apa? Mau dia mengubur dirinya hidup-hidup juga orang-orang yang udah lebih dulu dipanggil itu gak akan bisa kembali lagi. Jiwanya sudah pergi, raganya sudah dipeluk bumi. Dan yang tersisa hanya penyesalan mendalam, penyesalan yang berdampak hingga kini.
Dan berkaca dari kehilangan-kehilangan itu, sekarang Jeno lebih memperhatikan dan menjaga apa yang dia punya. Menjaga keluarganya sebaik-baiknya dan memastikan mereka semua hidup sehat dan gak sakit. Jeno gak mau kehilangan lagi, dia mau menghabiskan masa tuanya bersama keluarganya.
Tapi ketika tadi dia mendapat telepon dari bunda Tiffany yang mengatakan ayah David kembali kritis, potongan-potongan kehilangan itu kembali muncul di kepalanya.
Suaranya tangisan, jeritan, orang-orang yang memakai baju berwarna hitam, tanah merah, bunga-bungaan, sampai wangi-wangian langsung membuat kepalanya pening.
Di sepanjang perjalan dari kantor ke rumah sakit, Jeno tak henti-hentinya berdoa. Dia berharap sang ayah diberi kekuatan. Bukanlah baru semalem Renjun bilang keadaan ayah mulai stabil? Kenapa sore ini Jeno malah mendapat kabar itu?
Setelah memarkir mobilnya, Jeno langsung berlari masuk ke dalam gedung itu. Suasananya dingin, padahal Jeno yakin tadi di luar terik. Dan dia ngerasa jarak ke ruangan sang ayah dirawat terasa lebih jauh dan lift yang membawanya terasa sangat lambat.
Jeno menyandarkan tubuhnya di kotak besi itu, memejamkan matanya dengan bibir yang tak henti merapalkan doa. Dan ketika bunyi ting diiringi pintu terbuka, Jeno langsung keluar dan berlari ke ruangan sang ayah.
Disana, di depan ruangan, Jeno melihat bunda Tiffany, Jaemin, Mark, Jungwoo, Lucas serta Cello yang berdiri disana dengan raut yang sama, mereka semua terlihat cemas.
"Bunda.." Jeno menghampiri sang bunda yang menangis di pelukan Jaemin. Dan melihat kedatangan anaknya, Tiffany beralih memeluk Jeno dengan erat. Ingin mengadu dan menangis sekeras mungkin dan berkata beliau juga belum siap akan kehilangan itu.
Jeno ikut menangis, dia mengeratkan pelukannya pada sang bunda. Walau sudah punya keluarga sendiri dan mempunyai dua orang anak, tapi Jeno tetap seorang anak di hadapan orangtuanya. Pria itu menangis tersedu-sedu bersama Tiffany yang mengusap kepalanya. Sama sama menguatkan.
"Kenapa? Ayah kenapa?" Jeno ngeliatin sekelilingnya. Dia juga liat anak bungsunya menangis di pelukan Jungwoo. Mark yang menyandarkan tubuhnya di tembok serta Jaemin yang juga ikut menangis. Hanya Lucas yang masih terdiam sampai akhirnya di arsitek itu menghampiri Jeno dan menepuk pundaknya.
"Berdoa Jen, om David lagi berjuang." Lucas berkata pelan. Kalo dibilang dia juga kaget. Tadi dia lagi sama Mark membahas proyek pembangunan yang akan mereka bangun bersama ketika tiba-tiba Jaemin nelpon Mark dan menyuruh Mark dan Lucas langsung ke rumah sakit. Dan ketika sampai disana udah ada Jungwoo dan bunda Tiffany yang udah nangis-nangis. Lucas denger sekilas dari Jaemin kalo kondisi ayah David mengalami penurunan dan sempet henti jantung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweetsalt
Fiksi PenggemarDestiny 3rd book (disarankan baca destiny dan destiny 2.0 dulu biar nyambung) Yang Rengga inginkan hanyalah sekolah dengan tenang sampai hari kelulusannya nanti tapi semuanya berubah ketika seorang siswa paling berpengaruh di sekolah tiba-tiba mengh...