Distraction - Akaashi Keiji

3.9K 249 18
                                    

Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Tidak ada suara selain percakapan dari dorama yang ditayangkan di televisi. [Name] duduk sendirian di sofa panjang ruang tengah. Alih-alih tenggelam dalam alur dramatis yang penuh emosi lantaran dikhianati oleh sang kekasih di dorama, atensi [Name] berulang kali beralih pada pintu ruang kerja Akaashi, berharap kalau pria itu akan segera keluar.

Tabiat jelek Akaashi tidak pernah berubah sejak masih SMA. Pria itu memiliki kecenderungan untuk memaksakan diri hingga melupakan waktu tidur dan jadwal makan yang bisa memengaruhi kesehatannya. Ditambah belakangan ini [Name] tahu bahwa banyak draft yang diserahkan padanya hingga tidak heran jika Akaashi akan mengurung diri di ruang kerjanya sampai ia memaksa pria itu untuk keluar.

Bimbang. [Name] ingin membujuk Akaashi untuk melepaskan diri dari pekerjaannya sejenak, tetapi ia juga tahu sebelum pekerjaannya rampung Akaashi tidak akan tenang. Dilanda gusar, akhirnya [Name] memutuskan untuk meminta agar kekasihnya beristirahat.

[Name] beranjak dari sofa. Langkah kakinya menuju ruang kerja Akaashi teredam oleh sendal rumah berbulu. Tangan terangkat, mengetuk pintu beberapa kali. Kepalanya menyembul dari balik pintu saat mendengar suara Akaashi dari dalam.

"Ada apa [Name]?" Akaashi mengangkat kepala. "Ada sesuatu yang kaubutuhkan?"

Ia menggeleng pelan. Melangkah masuk setelah Akaashi mengulas senyum menenangkan, mengisyaratkan bahwa keberadaannya tidak mengusik. Saat Akaashi mengulurkan tangan, barulah hatinya lega.

"Aku cemas karena kau tidak meninggalkan ruang kerjamu sejak siang," cicitnya pelan. Kekhawatiran tersisip dalam kalimatnya.

Akaashi terkekeh pelan. "Aku baik-baik saja. Serius."

[Name] mencebik. Akaashi mengatakan itu hanya untuk menenangkan perasaannya. Gurat lelah yang tersembunyi dalam senyum juga kantung mata yang kian menghitam membuktikan bahwa Akaashi lebih penat daripada yang dikatakan.

"Berhenti mencoba membohongiku, Keiji," [Name] mendecak kesal. "Mana mungkin baik-baik saja jika setiap hari kau hanya tidur dua atau tiga jam semalam?"

Akaashi mengulas senyum, mendorong kacamata yang bertengger di batang hidungnya. "Lima belas menit lagi selesai. Aku janji."

Alis [Name] mengerut, sangsi dengan janji yang diucapkan oleh Akaashi untuk kesekian kalinya. Tidak jarang setelah percaya dengan janji kekasihnya, Akaashi malah selesai setelah jam tiga pagi. Bagai memahami apa yang dipikirkan olehnya, Akaashi mendengus kecil.

"Kalau tidak percaya," Akaashi menepuk pangkuannya. "Sini, temani aku. Ingatkan jika batas lima belas menitnya berakhir."

[Name] menggigit bibir gugup. Meski bukan pertama kalinya mereka bersikap intim—mengingat hubungan keduanya telah menginjak umur lima tahun, tapi ia masih belum bisa menahan rasa panas yang menjalari wajah dan lehernya. Canggung, tapi [Name] menyamankan diri di pangkuan Akaashi.

"Gadis pintar," bisik Akaashi lembut.

Ia mendecak. "Jangan menggodaku terus Keiji. Durasi lima belas menitmu sudah dimulai."

"Baik, baik."

Lengan Akaashi memeluk pinggulnya, menjaga agar ia tetap dekat dan tidak jatuh. Sementara tangan lainnya kembali meraih pena. [Name] tertawa kecil ketika hangatnya napas Akaashi membelai telinga dan sisi lehernya., tidak memberontak ketika pria itu menempatkan dagu di bahunya.

Pandangannya berkeliling. Ruangan kecil dengan sebuah meja dan kursi juga lemari di sudut ruangan adalah tempat kerja Akaashi di rumah. Jejeran buku terpajang di lemari. Mejanya tampak sesak dengan beberapa draft juga laptop di sisi meja. Di sudut meja lain terletak bingkai foto kencan mereka di hari jadi yang ketiga. Bibirnya merekah, tak kuasa menahan senyum.

"Ada apa?" suara Akaashi menyapa telinga, bibirnya menempel sejenak di pelipis [Name]. "Kenapa senyum-senyum begitu?"

[Name] mengetukkan jari di meja, kepalanya menyentak mengisyaratkan bingkai foto di sudut meja. "Aku baru sadar kalau kau menyimpan foto kita di meja kerjamu."

Akaashi berdehem pelan. "Kenapa tidak? Kau adalah hiburan yang tepat untuk melepas lelahku."

"Omonganmu manis sekali," [Name] mendengus pelan, tapi tak mampu menutupi kegembiraannya.

Tidak ada balasan, Akaashi kembali fokus dengan pekerjaannya sementara [Name] memilih bungkam. Selama beberapa menit hanya goresan pena yang terdengar beriringan dengan ritme napas Akaashi yang berulang kali menyentuh punggung. Mulai bosan dalam keheningan, jemarinya bertaut dengan jemari Akaashi sibuk memainkan jemari panjang kekasihnya.

"Kalau kau bertingkah seperti ini terus, aku tidak bisa konsentrasi," Akaashi menyembunyikan senyum di bahunya. Samar, ia merasakan jemarinya diremas pelan. "Dasar menggemaskan."

[Name] menoleh, linglung dengan perkataan Akaashi yang tiba-tiba. "Apa maksudmu? Aku tidak melakukan apapun."

Akaashi mengangkat tubuhnya, memberi isyarat padanya untuk tidak lagi menghadap meja. Kini, ia beradu tatap dengan Akaashi. Lengannya terkalung di bahu Akaashi, menyisipkan jemarinya di antara helaian pendek jelaga kekasihnya.

"Kau tidak perlu melakukan apapun," bisik Akaashi, menanggalkan penanya. Saat ini hanya [Name] yang menyita atensi. "Cukup berada di dekatku dan lagi-lagi aku jatuh cinta padamu."

Begitulah Akaashi. Pria yang tidak ragu mengungkapkan perasaannya dengan romantis. Hobinya membaca buku membentuknya menjadi pribadi yang tak sungkan memberitahu isi hatinya pada [Name]. Pria yang berulang kali tenggelam dari pikirannya sendiri, tapi tak ragu menyediakan waktu untuk kekasih hati.

"Sejak kapan kau pandai merayu?" [Name] mencebik.

Akaashi menyeringai kecil. "Masih disebut rayuan kalau yang kukatakan itu kebenaran?"

Tidak sanggup. [Name] mengubur wajah di bahu Akaashi, teriakannya teredam oleh baju kekasihnya. Diabaikan sensasi dingin pada lehernya ketika bersentuhan dengan gagang kacamata Akaashi, ia terbuai oleh kehangatan telapak tangan Akaashi yang mengusap punggungnya.

"Menggemaskan," komentar Akaashi geli. "Seperti anak kucing."

"Anak kucing apanya!?"

Tawa pria itu lepas. Kukungan Akaashi mengerat pada tubuhnya, membawa mereka lebih dekat. Ia menggeliat geli ketika Akaashi menghujani bahunya dengan kecupan ringan, sesekali membisikkan tentang betapa lucu dan menggemaskan dirinya.

"Tidak salah lagi, kau adalah pengalih fokus terbaik di hidupku."

Balasannya tertahan ditenggorokan, malah pekikan terkejut yang melesak. Kedua lengannya memeluk leher Akaashi kuat, berjaga-jaga jika pria itu bertingkah jahil. Akaashi beranjak dari kursi tanpa melepaskan dekapan, menggendongnya keluar ruang kerja.

"Keiji, mau kemana? Belum lima belas menit, kan?"

Akaashi menjauhkan wajah, menyungging senyuman. "Lupakan pekerjaan, aku bisa melanjutkannya besok. Saat ini, aku mau berduaan denganmu dulu."

Chap perdana dari Haikyuu Oneshots belongs to the Birthday Boy!!

Udah dari lama aku kepengen nulis Haikyuu, tapi baru terealisasikan sekarang dan kuputuskan untuk up chapnya Akaashi duluan. Semoga kalian suka yaa!!

Happy Keiji Day Everyone!!!

Haikyu!! One ShotsWhere stories live. Discover now