Smile - Aone Takanobu

502 66 4
                                    

"Jadi biar kurangkum." Futakuchi merengut, mengetuk kening dengan ibu jari. "Kau menyatakan perasaanmu saat [Name] putus dengan kekasihnya. Kemudian kalian akhirnya menjalin hubungan setelah menunggu beberapa hari?"

Kening Aone mengernyit, menggeleng.

"Oke, jadi beberapa minggu?" ralat Futakuchi.

Aone mengangguk. Ia harus menunggu beberapa hari untuk mendengar kabar kalau [Name] telah memutuskan hubungan dengan Sou. Bahkan setelah itu pun, ia tak langsung meminta jawaban dari sang hawa, memilih untuk melakukan pendekatan lebih dulu sebelum menagih jawaban atas pertanyaannya.

[Name] sempat bertanya, mengapa ia harus melakukan pendekatan padahal selama beberapa bulan terakhir mereka telah mengenal satu sama lain? Aone hanya bisa menjelaskan kalau kali ini ia berniat untuk mengenal [Name] bukan sebagai teman dekat, tapi sebagai seorang gadis yang ia sukai.

Aone semakin yakin bahwa ekspresi tersipu dengan semburat merah muda yang membubuhi pipi [Name] tampak menggemaskan.

"Dan sekarang kalian sudah resmi menjadi sepasang kekasih?" tanya Futakuchi memastikan. "Kalau begitu kau menyatakan perasaanmu lagi?"

Aone mengangguk menyetujui. Masih terpatri jelas bagaimana senyuman di bibir [Name] merekah ketika akhirnya gadis itu menjawab 'iya' untuk pertanyaannya yang dibiarkan menggantung selama beberapa minggu. Bagaimana gadis itu memalingkan muka lantaran tersipu. Bagaimana hangat menjalar dalam dadanya ketika pertama kali [Name] menautkan jari-jari mereka.

Rasanya masih seperti mimpi. Kalau bukan karena pesan [Name] setiap pagi, mungkin Aone masih berpikir bahwa ia masih terjebak dalam bunga tidurnya sendiri.

Futakuchi bungkam, seolah menunggunya untuk mengatakan sesuatu. Namun, tidak ada hal yang perlu dikatakan. Lantas, Futakuchi menghela napas panjang lalu menepuk bahunya kuat.

"Senang karena akhirnya aku tidak perlu menyaksikanmu yang terdiam muram," ujar Futakuchi. "Aku bersumpah kalau kau tetap memilih bungkam, aku sendiri yang akan memberitahunya pada [Name]."

Sudut bibir Aone berkedut, paham bahwa itu adalah salah satu cara Futakuchi untuk menunjukkan kepeduliannya.

Percakapan mereka terpaksa berhenti saat pelatih Oiwake memberi sinyal bahwa mereka akan mulai waktu istirahat dan memanggil Futakuchi. Ekor matanya menangkap Futakuchi yang menimbrung bersama dengan Mai dan pelatih untuk membicarakan sesuatu. Ia tak terlalu ingin tahu, tapi dalam hati tetap menyemangati Futakuchi untuk kisah cintanya sendiri.

Aone memilih untuk duduk di tepi gimansium sambil mengecek ponselnya. Sudut bibirnya tertarik lebih dalam saat nama [Name] muncul pada layar ponsel. Aku akan menunggumu di kelas seperti biasa, ya.

Ibu jarinya dengan cepat menekan tombol, membalas pesan. Kenapa tidak menunggu di sini saja?

Balasannya datang kurang dari satu menit. Memangnya boleh?

Keningnya mengernyit. Kenapa tidak? Ia mengedarkan pandangan, mengamati sekitar sebelum mengirim balon pesan kedua. Kurasa yang lain juga tidak keberatan kalau kau datang.

Aone menunggu beberapa saat. Ia bisa membayangkan ekspresi [Name] yang bingung sekaligus panik meski hanya melalui pesan. Namun, menilai dari bagaimana Futakuchi menyampaikan kekhawatirannya, ia yakin semua anggota voli putra tahu tentang perasaannya pada [Name]. Atau setidaknya penyebab dari kemuramannya beberapa minggu belakangan.

Kau yakin aku tidak akan ditendang keluar oleh pelatihmu, kan?

Aone nyaris terkekeh dengan pertanyaan [Name]. Pelatihnya mungkin berwajah seram, tapi sebenarnya tidak segalak yang dibayangkan. Pelatih cukup toleran dengan hal-hal semacam ini.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 13, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Haikyu!! One ShotsWhere stories live. Discover now