Be My Valentine? - Bokuto Koutarou

669 101 8
                                    

Fukurodani, tahun ketiga.

Udara berangsur menghangat. Salju di atas tanah mulai mencair. Banyak toko yang mulai menggantungkan hiasan berbentuk hati dengan warna merah dan merah muda. Kegelisahan dan antusias bercampur di udara. Hari valentine sudah dekat.

Seperti kebanyakan gadis yang hendak menyatakan perasaan pada lelaki yang disukai, [Name] sibuk memilih cokelat maupun kotak hadiah yang cocok sebagai cara untuk melupakan kegundahan akan penolakan. Pasalnya, lelaki yang ia sukai terbilang populer di sekolah. Tampan, iya, tapi sebagian besar alasannya populer adalah kemampuannya bermain voli dan sifatnya yang ceria. Hampir semua siswa di sekolah mengenal lelaki ini.

Kegugupannya bertambah menyadari bahwa lelaki yang ia sukai jarang seorang diri. Seringnya, ia selalu bersama dengan adik kelas bernama Akaashi. Lantas, bagaimana ia akan menyerahkan kotak berwarna putih berisi cokelat buatan sendiri?

Semakin dipikirkan, hari kasih sayang semakin dekat dan makin panik pulalah [Name]. Ia kesulitan mencari cara agar bisa memberikan cokelatnya saat lelaki yang ia sukai seorang diri—ia terlalu malu untuk memberikan di depan umum, lebih tepatnya takut ditolak. Hingga tiba-tiba saja hari kasih sayang tiba.

Bertindak berdasarkan insting, [Name] menggenggam erat kotak putih berisi cokelat buatannya lalu mencari sosok lelaki yang ia sukai. Melewati lorong yang penuh dengan para siswa, ia menangkap beberapa pasangan baru yang mulai menunjukkan kemesraan mereka di depan umum. Iri menghinggapi, tapi buru-buru ditepis. Tujuannya sekarang adalah mencari sang lelaki.

Pergi ke kelasnya, sia-sia karena ia telah menemukan beberapa kantung—yang ia yakin berisi cokelat, dengan berbagai warna di atas meja si lelaki. Kala bertanya kemana si lelaki pergi, teman sekelas menyahuti.

“Mungkin ke gimnasium atau ke kantin.”

Dan ke sanalah [Name] pergi.

Debaran jantungnya menggila hingga ia yakin rongga dadanya akan memar, terlebih ketika matanya menangkap sosok berambut dwiwarna yang terangkat tinggi. Suaranya yang ceria—dan lantang, menyapa indra pendengaran. Senyum terulas tanpa bisa ditahan, bahkan hanya dengan melihat sang lelaki bercerita dengan gembira saja telah membuatnya senang.

Menekan kuat keraguan yang merayapi hati, ia mengikuti langkah kaki sang lelaki dan teman baiknya sampai ke bagian belakang sekolah yang lebih sepi. Merasa bahwa bagian belakang sekolah jauh lebih baik daripada kantin maupun atap, [Name] tidak bisa menahan diri untuk memanggil nama sang lelaki.

Lelaki yang ia sukai menoleh, memiringkan kepala lucu seolah berusaha mengingat siapa dirinya. “Kau ... [Name] yang kelasnya di sebelah kelasku, kan?”

Menjaga air muka agar tidak merona mendengar sang lelaki memanggil namanya, [Name] mengangguk. “Benar. Aku [Name].”

“Halo [Name]!” sapa lelaki itu riang. “Ada perlu apa? Oh, kebetulan aku dan Akaashi mau makan siang. Kau mau ikut?”

Ia menggeleng. “Aku cuma mau memberikan ini, Bokuto-kun.”

[Name] menyodorkan kotak putih dalam genggaman juga secarik kertas yang dilipat pada Bokuto. Wajahnya terasa panas, terutama saat Bokuto menerima pemberiannya dengan pekikan senang dan ekspresi sumringah.

“Woah, apa ini?” atensi Bokuto berpaling pada Akaashi. “Akaashiii! Lihat ini! Woah, aku dapat cokelat valentine! Lihat Akaashi, aku dapat cokelat valentine!” Bokuto termenung sejenak. “Tunggu. Kalau ini cokelat valentine, berarti [Name] kau—”

“Aku akan menunggu jawabanmu, Bokuto-kun,” sela [Name] sembari membungkukkan badan sopan. “Aku pergi dulu. Sampai nanti.”

[Name] bergegas meninggalkan bagian belakang sekolah. Ia tidak sempat mendengar respons Bokuto, sibuk mengendalikan detak jantung dan wajahnya yang memanas. Derapan langkahnya menggema di lorong, tak lagi fokus dengan pasangan-pasangan baru yang memenuhi lorong. Fokusnya hanya kembali ke kelas lalu berharap bumi akan menelannya.

Sungguh. Apa yang ia pikirkan barusan? Mengapa ia bisa seberani itu? Dan ... Bokuto mengingatnya! Astaga, lelaki yang ia sukai mengetahui keberadaannya bahkan mengingatnya!

Jawaban atas pernyataan [Name] mendapat balasan lebih cepat dari yang ia duga. Bokuto—ditemani Akaashi, datang selepas bel pulang berdentang. Kedatangan mereka mengejutkan banyak siswa dari kelasnya, tapi [Name] tidak sempat bereaksi apa-apa. Punggungnya menegang kala Bokuto berjalan cepat dengan senyum lebar ke kursinya.

“Maaf baru bisa kubalas sekarang, [Name],” senyum Bokuto. Ia menyerahkan secarik kertas yang dilipat—kertas yang sebelumnya [Name] berikan, lalu mengusak puncak kepala [Name] lembut. “Kalau mau menunggu setelah aku selesai latihan, kita bisa pulang bersama.”

[Name] kehilangan kata-kata. Kalimat balasan yang akan ia lontarkan tertahan di tenggorokan. Begitu sadar, Bokuto telah pamit beralasan bahwa anggota tim voli yang lain telah menunggu.

“Kutunggu di gimnasium ya, [Name]!”

Menghela napas gemetar, [Name] mengabaikan tatapan penuh ingin tahu dari teman-teman sekelasnya. Ia meraih secarik kertas di atas meja, meluruskan kertas itu agar lebih muda dibaca.

Ia terkesiap. Membaca tulisan yang tertoreh berulang kali karena tak percaya, bahkan mencubit lengannya sendiri. Namun, semua ini nyata. Bokuto membalas perasaannya.
Bokuto-kun, maukah kau menjadi pasangan Valentineku?

Ya X

Tidak

P.S Akaashi memberitahu tentang pasangan Valentine dan aku setuju, tapi aku menyukaimu. Boleh kalau lebih dari sekadar pasangan Valentine?

***

Sekarang.

Akaashi sedang berkunjung ke rumah mantan kaptennya untuk membicarakan reuni yang akan diadakan oleh anggota tim Fukurodani. Mengingat bahwa musim pertandingan baru saja selesai, ia rasa Bokuto tidak akan terlalu sibuk untuk menerima undangan mereka. Yang tidak ia sangka adalah kembali menjadi saksi hidup untuk momen Bokuto dan [Name] di hari kasih sayang. Lagi.

Ia tengah menyesap teh yang diseduh [Name] beberapa menit lalu ketika mendengar gadis itu berteriak dari dalam kamar.

“Kou!”

Yes, baby?”

Langkah kaki yang berderap mendekat menyapa telinga. Detik selanjutnya, [Name] muncul dari balik dinding dengan pipi merona dan senyum lebar. Gadis itu menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya.

“Ada apa, [Name]?” pertanyaan Bokuto disuarakan dengan nada bingung setengah khawatir.

[Name] mengikis jarak lalu menyodorkan secarik kertas yang dilipat. Bokuto mengambil secarik kertas itu dengan linglung, menelengkan kepala penuh tanda tanya ketika [Name] berlari masuk ke dalam kamar.

“Mungkin [Name]-san terlalu malu menunggu responsmu, Bokuto-san,” Akaashi menawarkan penjelasan.

Kening Bokuto berkerut samar. “Kenapa harus malu? Memang apa isinya?”

Kala Bokuto membuka kertas dalam genggaman, perlahan-lahan sudut bibirnya tertarik lebih dalam membentuk senyuman lebar yang cerahnya menyaingi mentari di bulan Februari. Dan untuk kesekian kalinya—ia hampir selalu menjadi saksi pemandangan ini tiap tahunnya, ia mendengarkan Bokuto yang kegirangan.

“Akaashi, lihat ini!” Bokuto menunjukkan isi kertas pemberian [Name]. “Astaga, manis sekali!” kemudian Bokuto berteriak. “Apa maksudmu, [Name]? Aku selalu menjadi pasangan valentinemu, baby!”

Ekor mata Akaashi menangkap tinta hitam di atas kertas putih, menggeleng pasrah ketika Bokuto melonjak lalu berlari menjemput [Name]. Senyumnya terkulum, mendorong kacamata yang bertengger di pangkal hidung.

Kou, maukah kau menjadi pasangan Valentineku?

Ya

Tidak

“Kalian selalu seperti ini tiap tahunnya. Apa tidak bosan?” pekikan [Name] dari dalam apartemen memberitahu Akaashi jawaban atas pertanyaannya.

That's the final update for the week!

Hope you guys enjoy it! Happy Reading!!

Haikyu!! One ShotsWhere stories live. Discover now