Stubborn - Oikawa Tooru

725 109 3
                                    

"Si Bodoh itu lagi-lagi memaksakan diri. Bukannya beristirahat, malah menonton pertandingan tim lawan."

Itulah yang dikatakan Iwaizumi saat [Name] muncul di gimnasium untuk menanyakan keberadaan Oikawa. Biasanya sang pria akan bersikeras menjemputnya di kelas lalu mereka akan ke gimnasium bersama, tapi hari ini sudah nyaris setengah jam [Name] menunggu dan sang kapten tidak kunjung muncul.

"Tooru sakit?" tanyanya.

"Tentu saja ia sakit. Orang bodoh mana yang tetap begadang setelah hujan-hujanan?" Iwaizumi menghela napas kesal. "Ucapanku tidak mempan pada si Bebal itu. Mungkin kalau kau yang menyuruhnya, ia mau mendengarkan."

Ucapan Iwaizumi terbukti benar ketika [Name] berdiri di bibir pintu kamar Oikawa dan menemukan sang pria tengah duduk di depan komputernya dengan berbalut selimut. Matanya lekat mengamati tiap pergerakan anggota yang berlari dan melompat untuk menggapai bola.

Sekilas, pria berambut cokelat itu tampak sehat dengan raut wajah yang memancarkan fokus luar biasa. Namun, Oikawa tidak akan bisa menipu orang-orang terdekatnya dengan kening yang berkerut seakan menahan sakit dan wajah yang memerah karena demam.

Menghela napas panjang setengah putus asa, [Name] mengetuk pintu.

"Aku baik-baik saja, Iwa-chan," seru Oikawa tanpa memalingkan pandangan dari pintu. "Kembali saja ke sekolah untuk memandu latihan yang lain."

[Name] menggeleng, mendesah berat lalu melangkah masuk ke dalam kamar Oikawa. Berdiri di sisi sang pria, [Name] bertanya-tanya dalam hati kapan sang kapten akan menyadari kalau bukan Iwaizumi yang mengunjunginya.

"Sudah kubilang aku tidak apa-apa Iwa-chan—eh?"

[Name] mengulum tawa menyaksikan ekspresi kesal Oikawa berubah terkejut dalam sekejap mata. Mungkin kalau keadaannya berbeda, ia akan mengejek bagaimana lucunya tampang Oikawa saat ini. Namun, ia menjaga ekspresi.

"Maaf karena aku bukan Iwaizumi," celetuk [Name] datar. "Tapi aku ingin menanyakan hal yang sama dengannya. Kenapa kau tidak berbaring dan beristirahat, Tooru?"

Oikawa menjeda pertandingan yang terputar di komputernya, memutar tubuh hingga sepenuhnya menghadap [Name]. "Kenapa bertanya dengan nada seperti itu? Ke mana perginya [Name]-ku yang penyayang dan menggemaskan?"

"[Name] yang penyayang dan menggemaskan hanya muncul kalau kau dalam keadaan sehat, Tooru," sahut [Name] masih menjaga suaranya agar tidak terpengaruh.

Oikawa mencebik lucu, menarik tangan [Name] untuk duduk di sampingnya. Pria berambut cokelat itu menyurukkan kepala di bahu kekasihnya, menghirup dalam aroma yang absen seharian ini. "Aku merindukanmu, tahu. Hari ini belum melihatmu dan saat kau menemuiku, kau malah mengomel. Sudah kuduga, Iwa-chan adalah pengaruh buruk."

Sudut bibir [Name] tertarik tanpa bisa ditahan. Ibu jarinya mengusap punggung tangan Oikawa yang mengisi celah jemarinya. "Kita baru bertemu kemarin sore, Tooru. Dan semalaman kita juga bertukar pesan."

"Lalu?" Oikawa mencebik, mengangkat bahu acuh tak acuh. "Aku ingin kau berada di sisiku sepanjang waktu."

[Name] tergelak rendah. "Kau bisa melamarku nanti setelah kau sembuh, oke?"

"Oh?" sebelah alis Oikawa terangkat tinggi. "Jadi [Name]-chan mau kulamar, hm? Baiklah kalau begitu."

"Bicara apa sih!" [Name] mendorong wajah Oikawa menjauh, mengerucutkan bibir ketika Oikawa tertawa puas. Meraih kantong yang ia letakkan di dekat pintu, ia mengeluarkan sebuket kecil bunga. "Ini. Cepat sembuh ya, Tooru."

Mata Oikawa terbelalak, menerima buket yang didominasi oleh bunga lavender. Pria itu menatap buket dalam genggaman dan [Name] bergantian. Sesaat kemudian senyum cerah merekah di bibir sang kapten.

"Ini untukku?"

[Name] mengangguk, memiringkan kepala bingung. "Kau ... tidak suka?"

"Apa kau bercanda?" Oikawa meletakkan buketnya di sebelah komputer dengan hati-hati bagai meletakkan porselen buatan seniman ternama. "Ini pertama kalinya seseorang memberiku bunga! Oh, astaga. [Name]-chan, aku menyayangimu. Aku sangat menyayangimu!"

Tidak ada yang bisa [Name] lakukan selain memasrahkan diri dalam pelukan erat Oikawa. Ia bisa merasakan suhu tubuh Oikawa yang terlampau panas untuk dibilang normal ketika pria itu menyurukkan wajah di bahunya. Selimut yang menutupi tubuh mereka juga membuat [Name] sesak dengan panas, tetapi ia terlanjur nyaman dalam dekapan Oikawa untuk menyuarakan protes.

"Aku juga menyayangimu, Tooru," gumam [Name] pelan. Ia mendorong bahu Oikawa untuk memberi jarak. "Dan aku akan jauh lebih menyayangimu kalau kau mematikan komputermu dan tidur untuk memulihkan tubuh."

"[Name]-chan," rengek Oikawa. "Kau tahu kalau turnamen hanya tinggal beberapa minggu, kan? Aku ingin mengingat semua tentang tim lawan agar mengantisipasi gerakan mereka."

"Kau bisa melakukannya saat kau sehat, Tooru."

"Satu pertandingan lagi? Kumohon?" Oikawa menangkupkan kedua tangan di depan wajah dengan ekspresi memelas. "Setelah itu aku milikmu. Menyuruhku untuk tidur atau makan atau apapun, akan turuti."

[Name] terdiam, menimbang baik-buruknya membiarkan Oikawa menonton satu pertandingan lagi. Matanya bertemu dengan netra kecokelatan Oikawa yang berkilat memohon. Menjejaki rupa sang pria dengan pandangannya, [Name] tidak memiliki pilihan lain selain menurut.

"Hanya satu pertandingan," kecam [Name] tegas. "Setelah itu kau minum obatmu dan tidur, Tooru."

"Kau yang terbaik, [Name]-chan!"

[Name] mendengus geli saat Oikawa menariknya untuk duduk di antara kaki sang pria. Oikawa membenahi posisi selimutnya agar menyelubungi mereka dengan nyaman—[Name] tidak sampai hati mengatakan pada kekasihnya bahwa ia merasa pengap—lalu memeluk pinggang [Name] dari belakang.

"Kau bisa menonton pertandingannya seorang diri, Tooru," ujar [Name] ketika Oikawa menumpukan dagu di bahunya.

"Mauku sih menciummu, tapi nanti tertular demamku," balas Oikawa ringan, tidak menyadari efek dari ucapannya. "Tapi seperti ini saja tidak masalah. Sudah kubilang, aku merindukanmu, [Name]-chan. Memangnya [Name]-chan tidak tahu?"

[Name] sedikit mendongak menatap Oikawa. "Tahu apa?"

"Kalau demamku bia disembuhkan dengan sebuah pelukan." Oikawa tersenyum lebar, melayangkan kecupan singkat pada kening gadisnya. "Jadi, [Name]-chan sudah berkontribusi untuk menyembuhkanku dengan membiarkan aku memelukmu."

"Omong kosong macam apa itu?"

"Bukan omong kosong." Oikawa mengeratkan dekapannya. "Aku bersungguh-sungguh. Keberadaanmu memberikan sokongan energi yang besar agar aku segera pulih. Mungkin karena kekuatan cinta?"

Haikyu!! One ShotsWhere stories live. Discover now