Jika ada satu kata yang cocok untuk menggambarkan bagaimana hari ini berjalan, maka Sakusa akan memilih kata menjengkelkan. Entah bagaimana, Atsumu dan Bokuto lebih menyebalkan hari ini, Hinata juga tidak membantu mengurangi perasaan kesalnya—anggota berambut oranye itu malah berseru semangat tiap kali Atsumu atau Bokuto melakukan sesuatu yang ... terbilang bodoh.
Yang paling membuatnya geram adalah ketika ia pulang [Name] masih mengabaikannya.
Gadis berhelai gelap itu telah bungkam selama tiga hari. Tiga hari yang panjang, melelahkan, dan membuatnya frustrasi. Bukan rahasia lagi kalau sumbu kesabaran Sakusa terbilang pendek, tapi suara [Name] biasanya mampu meredakan kekesalannya dalam sekejap. Namun, dengan diamnya [Name] selama beberapa hari belakangan, stok kesabaran Sakusa yang sebelumnya menipis kini telah lenyap.
"Kau masih marah?" tanya Sakusa menghampiri [Name] yang sibuk di dapur. "Ayolah. Kalau aku melakukan kesalahan, kita bisa bicarakan selayaknya dua orang dewasa, kan?"
[Name] meletakkan pisaunya dengan kasar, menimbulkan gema keras di dapur. Gadis itu menoleh dengan mata menyorong tajam, bibirnya mengerucut pertanda suasana hatinya belum membaik. Kernyitan di keningnya memberitahu Sakusa kalau sang hawa tengah mempertimbangkan pilihan bicara atau tetap bungkam.
Satu menit yang hening itu terasa seperti satu jam lamanya. Suara sayup-sayup kendaraan bermotor juga deru pendingin ruangan mengisi keheningan. Mereka beradu tatap, saling mengunci dan saling menelisik. Sakusa dengan sabar menunggu [Name] untuk mengambil keputusan.
"Lupakan saja," desah [Name] seraya mengambil kembali pisau. "Bukan hal yang penting."
Sakusa mengembuskan napas panjang. Ia tahu kalau gadisnya keras kepala—dan di beberapa kesempatan ia mengagumi kekeras kepalaan [Name]--tapi sekarang ia mulai tidak sanggup berhadapan dengan sisi [Name] yang satu ini.
"[Name]." Sakusa meraih pergelangan tangan [Name], meminta gadis itu untuk berhenti mencacah wortel di atas talenan. "Apapun yang mengganggumu jelas sesuatu yang penting. Sekarang, bisakah kau mengatakan alasan kau bersikap ... pendiam tiga hari ini?" Sakusa menggenggam bahu kekasihnya. "[Name], kumohon?"
Jika yang berdiri di hadapannya adalah orang asing atau sekadar teman, maka Sakusa tidak akan rela menghabiskan waktunya untuk membujuk dan merayu agar lawan bicaranya mengalah. Ia tidak peduli bagaimana reaksi orang lain terhadap dirinya, juga Sakusa tidak memiliki kebutuhan khusus pada orang lain. Namun, yang berada di depannya adalah sang kekasih. Terkutuklah ia jika abai dengan [Name] yang marah atau gelisah.
"Kau akan mengganggapnya sepele," lirih [Name], memalingkan muka ke arah yang berlawanan.
"Coba saja dulu."
[Name] menggigit bibir lalu mengerjap pelan. Kemudian gadis itu menghela napas panjang sebelum berkata, "Kencan tiga hari lalu. Kau lupa."
Kening Sakusa berkerut, mencoba mengingat agendanya tiga hari lalu. Namun, seberapa keras ia berusaha menggali ingatan, Sakusa tidak menemukan kata 'kencan' dalam pikiran. Benarkah ia melupakan kencan dengan [Name]? Ini pertama kalinya terjadi.
"Kau lupa karena malam itu Meian-san memutuskan kalau kalian harus latihan lebih larut," lanjut [Name]. "Jangan salah sangka, kau memang mengabariku lebih dulu, tapi tampaknya kau lupa dengan janji kencan kita. Saat pulang, kau terlalu lelah. Setelah mandi, kau langsung terlelap."
Sakusa tetap diam, tahu [Name] belum selesai bicara.
"Hari itu adalah hari jadi kita, Kiyo."
Oh, sial. Oh, sial!
Sakusa tertegun. Ia segera mengeluarkan ponsel dari dalam saku, mengecek kalender untuk memastikan ucapan [Name] dan benar saja. Tiga hari yang lalu adalah hari jadi mereka yang ketiga. Dan ia melupakannya.
"Oh, astaga." Sakusa membingkai wajah [Name] dengan sebelah tangan, menuntun gadis itu untuk bersitatap dengannya. "Aku tahu aku melupakan sesuatu. Astaga, [Name], maafkan aku. Sungguh. Aku tidak bermaksud melupakannya."
[Name] menggeleng. "Tidak masalah. Sudah kubilang kalau hal ini sepele. Aku tahu kalau kau sedang sibuk mempersiapkan pertandingan melawan Schweiden Adlers."
Sakusa mendecak. Mungkin baginya merayakan hari jadi tidak menduduki prioritas teratas, tapi mengingat bagaimana sifat sang hawa, selebrasi peringatan hubungan mereka merupakan hal yang penting. Ia tidak ingin menjadi sosok kekasih yang menyepelekan perasaan dan keinginan gadisnya. Lantas, Sakusa menyejajarkan wajah mereka hingga puncak hidung mereka bersentuhan.
"Maafkan aku, [Name]," bisiknya lembut. Ujung jemarinya menyusuri kulit lengan [Name], menautkan jari-jarinya dengan jemari [Name] yang lebih kecil. "Sungguh. Aku melewatkan momen penting untuk kita. Aku yakin malam itu kau tampak menakjubkan."
Perlahan tapi pasti, Sakusa mengamati otot wajah [Name] melemas. Gadis itu tidak lagi khawatir dengan reaksinya, malah mencebik lalu menyandarkan kening di bahunya.
"Aku bahkan mengenakan gaun yang kau belikan beberapa waktu lalu, Kiyo," gumam [Name] dengan nada cemberut di bahunya.
Sakusa mengulum senyum, berpura-pura menghela napas kecewa. "Sayang sekali. Melewatkan dirimu yang merias diri dan berpakaian indah. Bagaimana kalau akhir pekan ini kita mengulang kencan? Aku yang reservasi tempatnya."
"Janji kali ini kau tidak akan melupakannya?" [Name] mendongak, memukul pelan bahu Sakusa yang terkekeh. "Ak u serius. Kalau kau melupakannya lagi mungkin aku akan sangat kecewa hingga mengurung diri di kamar."
Sakusa menyentil kening [Name]. "Berlebihan."
"Aku bersungguh-sungguh, Kiyo."
"Baiklah, baiklah." Sakusa meraih ponselnya, mengetik 'kencan dengan [Name]' di kolom agenda. Ia bahkan menyetel alarm untuk mengingatkannya. "Lihat. Tidak akan lupa lagi."
[Name] mengeluarkan suara puas lalu melingkarkan kedua lengannya di pinggang Sakusa. Pasrah—sekaligus senang karena akhirnya ia kembali mendapatkan atensi yang ia inginkan setelah menunggu tiga hari yang panjang, Sakusa turut merengkuh lembut tubuh [Name] yang hangat.
Ia yang enggan melakukan kontak fisik dengan orang lain, yang benci berada di tengah kerumunan, yang tidak sudi bersentuhan dengan orang asing, bisa dengan mudah mendekap dan mengecup [Name] seolah ia tengah bernapas. Sakusa tidak keberatan. Ia tahu [Name] merasa dicintai ketika mengungkapkan perasaannya dengan sentuhan dan dengan cara itulah ia berusaha mencintai [Name].
"Terima kasih, Kiyo." [Name] menyurukkan wajah di lehernya. "Karena tidak meremehkan perasaanku."
Sakusa mendecak tak suka. "Tidak ada yang remeh kalau kau merasa terusik, [Name]."
[Name] tertawa kecil. Ia tahu sebagian besar orang berpikir Sakusa Kiyoomi bukanlah pria yang mudah disayangi, tapi [Name] bersumpah menjalin hubungan sang pria adalah keputusan termudah dalam hidupnya.
"Omong-omong, aku memaafkanmu," ujar [Name] pelan seraya menarik diri. "Hanya jika kau yang memasak makan malam."
Sakusa mendengus. Ia mengecup lamat pelipis [Name] lalu memutar tubuh gadis itu untuk mengambil alih tugas memasak malam ini. "Kulakukan agar kau memaafkanku."
YOU ARE READING
Haikyu!! One Shots
FanfictionSekumpulan cerita mengenai dirimu yang menjadi pasangan para atlet voli di berbagai situasi