Kenma menghela napas panjang ketika Kuroo memberi sinyal untuk beristirahat selama lima belas menit. Sudut bibirnya tertarik tanpa bisa ditahan ketika ekor mata menangkap sosok gadis yang—baru saja membungkuk sopan pada pelatih Nekomata, berjalan menghampiri.
Menerima botol minum yang disodorkan, Kenma menepuk-nepuk lantai di sampingnya. “Terima kasih minumnya, [Name].”
“Sama-sama, Ken.” [Name] duduk tepat di samping sang pria hingga bahu mereka bersentuhan, melirik sang setter untuk memastikan bahwa pria itu tidak keberatan. Senyumnya mengembang ketika Kenma menumpukan sebagian kecil berat badannya di bahu [Name]. “Bagaimana latihannya hari ini?”
“Melelahkan,” keluh Kenma setelah meneguk seperempat botol. “Lev masih belum menentukan pijakan stabil saat melompat dan pelatih memintaku untuk berlatih lebih banyak bersamanya.”
[Name] tertawa kecil. “Semangat berlatihnya, Ken. Anggap saja sedang menempa pedang barumu untuk digunakan saat pertarungan nanti.”
Garis wajahnya melembut saat [Name] menyenggol bahunya jenaka. Kenma menggelengkan kepala geli, mengulum senyum. Gadis itu selalu tahu kata-kata yang tepat untuk meringankan beban di hatinya. Atensinya beralih pada sisi lapangan yang lain saat Lev mengaduh—Kenma menduga Lev menyinggung kata ‘pendek’ di depan Yaku.
Hampir tidak ada yang mempertanyakan keberadaan [Name] di gimnasium. Gadis itu hampir tidak pernah absen berkunjung sejak beberapa bulan lalu—lebih tepatnya setelah memberitahu pada anggota tim voli putra bahwa ia berkencan dengan [Name]. Pelatih Nekomata juga memperbolehkan kehadiran [Name] dengan alasan ia tampak sedikit lebih bersemangat ketika [Name] hadir di tengah-tengah orang yang menonton.
Satu-satunya keberatan Kenma adalah kejahilan Kuroo dan komplen Taketora pada awal kedatangan [Name] ke gimnasium. Betapa bersyukurnya ia ketika Taketora tak lagi melayangkan keberatan ketika menemukan mereka duduk berdua di sudut gimnasium.
Ingin membersihkan indra pendengarannya dari keributan di sisi lain lapangan, Kenma memutar kepalanya pada [Name]. “Bagaimana harimu? Ada yang kejadian menarik?”
“Saat berangkat tadi aku bertemu dengan seekor kucing di atas pagar tetanggaku. Kucingnya menggemaskan sekali! Warna bulunya mayoritas putih, tapi ada warna abu-abu di puncak kepalanya lalu warna telinganya kuning. Oh! Bulu pada matanya yang sebelah kanan juga berwarna kuning.” Ekspresi [Name] berubah cerah ketika menceritakan penemuannya pagi ini, sesuatu yang membuat Kenma mengulum senyum. “Kalau dipikir-pikir, kucing itu mengingatkanku padamu.”
Kenma memiringkan kepala. “Kenapa begitu?”
[Name] tercenung. “Karena aku menemukannya sedang tertidur nyenyak, bahkan saat aku mencoba mengajaknya bermain ia hanya membuka matanya sebentar lalu lanjut tertidur.”
“Mungkin ia sedang malas, makanya tidur nyenyak. Bukan berarti mirip denganku, [Name],” dengusnya geli.
“Tapi memang mirip denganmu, Ken!” [Name] bersikukuh. “Apalagi dengan rambut puddingmu. Mirip sekali dengan kucing yang kutemui tadi. Kita akan pulang bersama atau tidak? Kalau pulang bersama, semoga kucing itu masih ada jadi aku bisa menunjukkan padamu kalau kalian berdua memang mirip.”
“Baik, baik. Aku percaya padamu.” Kenma mengusak pelan puncak kepala [Name]. “Lalu, apalagi yang menarik hari ini?”
Sifat [Name] memang sedikit bertolak belakang dengannya. Meskipun memiliki sisi yang gemar menyendiri dan berada di tempat sepi, [Name] sering menunjukkan sisi lainnya yang senang bercerita jika bersama dengan orang yang membuatnya nyaman. Dan jujur saja, sebagai seseorang yang tidak menganggap banyak orang sebagai ‘teman’, Kenma merasa senang dan terhormat bisa termasuk dalam kategori ‘dekat’ dengan [Name].
Anehnya, alih-alih terganggu dengan celotehan [Name], Kenma mendapati dirinya menginginkan [Name] cerita lebih banyak. Suara [Name] serupa dengan tetesan air hujan yang membentur dinding dan bumi, sangat menenangkan. Dan Kenma tidak keberatan meletakkan nintendonya untuk lebih fokus mendengarkan cerita [Name] tentang harinya—alasan utama mengapa ia sering bertanya bagaimana hari [Name].
Karena itu jika ada yang menyebut [Name] ‘berisik’ atau ‘banyak omong’, Kenma akan menganggap ucapan itu sebagai hinaan personal. Bahkan, jika teman satu timnya yang berkata demikian.
“[Name]-san gemar bicara ya?”
Kenma memutar kepala cepat pada si pemilik suara. Gema seseorang terkesiap maupun helaan napas mengheningkan gimnasium. Si pemilik suara menoleh ke kanan-kiri linglung, bingung mengapa sekitarnya berubah sunyi. Sementara [Name] menghentikan ceritanya untuk menoleh pada anggota tertinggi tim voli putra.
“Berbagi cerita dengan orang yang dekat denganmu itu menyenangkan, Lev,” sahut [Name] mengulas senyum.
“Benar juga! Aku juga suka cerita pada kak Alisa,” seru Lev antusias. “Tapi aku tidak menyangka Kenma-san sampai tidak bermain game untuk menyimak cerita [Name]-san.”
Sebelum Kenma sempat membuka mulut, Yaku telah lebih dulu menendang Lev. “Kau ini makhluk tidak peka atau apa? Berdiri di sana!”
“Ia sudah tidak bisa diselamatkan.” Kuroo bergumam tanpa simpati, menggeleng pasrah.
“Eh? Tapi apa salahku? Aku cuma bertanya, Yaku-san.”
Kenma mendecak, membuat yang lain bergidik. Ia melirik Lev tajam. “Diam sebentar, [Name] sedang bicara.”
Kuroo dan Taketora meringis menangkap kecaman dalam nada bicara Kenma. Inouka dan Shibayama mundur selangkah, terlalu terkejut dengan perubahan drastis Kenma. Lev terperanjat dan memilih untuk mematuhi Yaku yang menceramahinya tentang kepekaan dan efek dari ucapan.
Garis wajah Kenma melembut seketika kala [Name] terkekeh geli dengan perubahan aura dalam gimnasium. Atensinya langsung berpindah pada [Name], meraih jemari gadis itu untuk menautkan jari-jarinya di antara celah yang kosong.
“Tidak perlu marah begitu, Ken,” kata [Name] lembut. “Lev benar. Aku memang senang bercerita padamu, kan?”
“Abaikan saja, Lev,” tutur Kenma menghela napas panjang. Kesal memang membutuhkan banyak energi. “Aku ingin tahu kelanjutan ceritanya. Jadi bagaimana dengan tugasmu minggu depan?”
[Name] termenung sejenak. “Mungkin akan kukerjakan di akhir pekan ini. Tidak apa-apa kalau aku tidak berkunjung ke rumahmu hari minggu nanti?”
Kening Kenma berkerut samar. “Datang saja. Aku akan menemanimu mengerjakan tugasnya.”
“Aku tidak mengganggumu?” tanya [Name] sangsi. “Bukannya kalau akhir pekan kau ingin bermain game sampai puas?”
Kenma mengangguk. “Aku juga ingin bertemu denganmu kok.”
Suasana gimnasium berangsur ringan, kembali seperti sedia kala saat [Name] mulai bercerita tentang pulpen warna yang baru ia beli tapi sudah dipinjam oleh temannya. Sudut matanya menangkap pelatih Nekomata mengisyaratkan pada Kuroo agar mengulur waktu istirahat sedikit lebih lama untuk meredakan ketegangan.
Setelah sepuluh menit berlalu, Kenma meremas tangan [Name] tiga kali lalu kembali ke lapangan. “Tunggu aku selesai, ya.”
“Semangat menempa pedang barunya, Ken!”
Jika setelah ini Kenma menjadi sedikit lebih agresif mengoper bola pada Lev, maka tidak ada satupun anggota tim yang menegurnya. Jika Kenma mendenguskan tawa ketika bola memantul dan membentur kepala Lev untuk yang kelima kalinya dalam dua belas menit terakhir, maka yang lain berpura-pura tidak melihat.
Balasan yang cukup setimpal karena membuatnya kesal.
YOU ARE READING
Haikyu!! One Shots
FanfictionSekumpulan cerita mengenai dirimu yang menjadi pasangan para atlet voli di berbagai situasi