Emo Mode - Bokuto Koutarou

1.8K 203 15
                                    

Siswa kelas 3 akademi Fukurodani. Kapten tim voli pria. Ace yang diandalkan. Mentor Hinata Shoyo. Teman sekaligus kakak kelas. Begitu banyak julukan yang disematkan untuk Bokuto, tapi hanya satu yang diingat oleh semua orang. Emo mode Bokuto yang kumat di waktu paling acak dan krusial.

Tim voli sudah terbiasa dengan perubahan suasana hati Bokuto yang drastis. Baik pada latih tanding atau di tengah kamp pelatihan maupun di pertandingan resmi, tidak ada yang bisa menduga kapan Bokuto akan memasuki emo modenya. Biasanya, Akaashi mampu mengembalikan suasana hati Bokuto seperti sedia kala tetapi setelah kedatangan [Name] sebagai kekasih Bokuto, tugas untuk menaikkan mood si kapten terlimpah padanya.

Sekali [Name] mampu membujuk Bokuto kembali bermain prima, semua anggota bersyukur. Kedua dan ketiga kalinya, baik manajer maupun anggota sudah tidak heran lagi. Untuk selanjutnya, tim voli pria secara tidak resmi mengadopsi [Name] sebagai salah satu manajer. Alasannya agar lebih mudah berada di sisi Bokuto jika ada acara di luar sekolah atau pertandingan resmi.

Benar saja. Di pertandingan resmi melawan tim dari Tokyo, emo modenya kambuh. Bukan karena bermain di lapangan cabang atau sedikit penonton yang menyaksikan pertandingan, tapi karena serangannya terus-menerus di blok akibat termakan provokasi dari tim lawan.

Pelatih Yamiji mengisyaratkannya untuk turun dari tribun setelah meminta time-out. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan Yukie yang mengacungkan ibu jari padanya.

"Hanya kau yang bisa mengembalikan semangatnya dengan cepat," Yukie menepuk bahunya, memamerkan senyum. "Kami mengandalkanmu."

Saat ia datang, Akaashi dan yang lain memberi ruang. Pelatih Yamiji sudah puas mengomel pada sang kapten, kini membiarkan [Name] yang berdiri berhadapan dengan Bokuto yang merengut—dalam pandangan subjektifnya tampak menggemaskan.

[Name] melirik anggota tim lain yang tengah berdiskusi dengan pelatih, mengabaikan ia dan Bokuto yang berdiri di ujung bangku panjang. Lega teralih dari puluhan pasang mata yang penuh ingin tahu, [Name] melingkarkan kedua lengan di tubuh kekasihnya.

"Eh... [Name]?"

"Kenapa kau sangat kesal saat diblok?" [Name] mendongak, beradu tatap dengan iris keemasan Bokuto. "Padahal kau bermain sangat baik. Pukulan lurus dan menyilangmu juga tepat sasaran."

Dalam pelukannya, ia mampu merasakan tubuh Bokuto yang perlahan melemas. Ketegangan yang menguasai tubuh sang kapten perlahan menguap, mulai balik memeluknya. Walau bibirnya masih mencebik lucu, binar senang di mata Bokuto menunjukkan perasaannya.

"Aku kesal karena diblok terus-terusan," ujar Bokuto muram. Ia mengeratkan pelukan lalu menyusupkan wajah di antara lekuk leher gadisnya sebagai upaya untuk menyembunyikan diri dari pandangan publik untuk sementara waktu.

"Lalu kenapa?" [Name] mengusap punggung Bokuto. "Kau sudah berlatih keras, bahkan pukulan lurusmu pernah tak terhentikan oleh middle blocker kan?"

Bokuto mengangguk kecil.

"Kalau begitu tidak ada yang perlu ditakutkan. Hantam saja semua bolanya. Pukul sebaik mungkin," [Name] menarik diri, menangkup wajah Bokuto yang menatapnya penuh tanda tanya. "Tim ini mengandalkanmu. Semua orang melihatmu, Kou."

Bokuto terkesiap. Ia balik menggenggam tangan [Name] yang menangkup wajahnya, memberikan remasan erat pertanda apa yang dikatakan [Name] berhasil mempengaruhinya. Netra keemasannya terpaku pada [Name].

Sedikit lagi. Hanya butuh sedikit dorongan lagi hingga suasana hati sang ace kembali bersemangat.

"Dan kau yang bilang padaku untuk menonton karena kau akan memenangkan pertandingan. Apa kau berbohong padaku?" bibirnya tertarik membentuk seulas senyum saat Bokuto tampak panik. "Buktikan padaku bahwa ace Fukurodani, Bokuto Koutarou, bukan pemain yang bisa diremehkan. Aku selalu melihatmu."

"Janji kau akan melihatku?" nadanya harap-harap cemas, membutuhkan konfirmasi.

Senyum mengembang di wajah [Name], sumringah. "Mana bisa aku mengalihkan pandangan dari pemuda tampan dan hebat sepertimu, Kou?"

Senyum yang sama terukir di wajah Bokuto. Hilang sudah suasana hatinya yang memanas akibat provokasi lawan, tergantikan oleh antusias dan gemas yang ditujukan untuk kekasihnya.

Alih-alih kembali pada timnya, Bokuto kembali menenggelamkan wajah di bahu [Name] kian mengeratkan dekapan yang sempat mengendur. [Name] melayangkan protes, tapi tidak ditanggapi. Selama peluit pertanda time out belum ditiup, ia tidak akan beranjak dari posisi nyamannya.

"Kou, apa yang kaulakukan? Kembali pada timmu sana."

"Tidak mau," Bokuto menggeleng. "Aku sedang mengisi ulang tenaga. Kuota pelukan darimu sudah menipis."

Pasrah. Hanya itu yang bisa [Name] lakukan, memasrahkan dirinya dalam kukungan lengan kekar Bokuto. Saat waktu time out habis, Bokuto menjauh dengan berat hati. Wajah [Name] memerah kala Bokuto mencuri ciuman ringan di dahinya sebelum kembali ke lapangan.

"Beritahu mereka betapa kerennya ace Fukurodani!"

Bokuto mengangkat sebelah tangan, hormat. "Siap laksanakan, Yang Mulia!"

Kekehan geli [Name] mengiringi kembalinya Bokuto bersama rekan satu timnya. Kini lebih bersemangat dari biasanya lantaran keberadaan sang kekasih di dekatnya. Memperhatikannya. Sekarang tim lawan yang harus gemetar takut karena Bokuto siap mencetak angka dengan seratus persen kemampuannya.

***

Pertandingan dimenangkan oleh Fukurodani dengan skor akhir 2-0.

Bokuto berlari ke arahnya dengan cengiran lebar. Tanpa peduli sekitar, pemuda itu menerjang ke arahnya lalu mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi, mengabaikan peringatan dari Akaashi dan Konoha.

"Hey hey hey. [Name] hey!"

"Selamat atas kemenanganmu, Kou!" ia menjawab tidak kalah antusias. Gelenyar bahagia dan bangga menerpa tubuhnya, memancing senyum lebar yang tertular oleh Bokuto.

"Kau lihat aku tidak? Kau melihatku kan. Bagaimana pukulanku, [Name]?"

"Keren sekali! Sudah kubilang kalau memukul sekuat tenaga pasti tidak akan ditahan oleh bloker," seru [Name] tidak kalah antusias. Lengan Bokuto yang memeluknya erat sedikit mengurangi perasaan malu karena puluhan pasang mata mengarah pada mereka lantaran teriakan bersemangat Bokuto.

Anggota tim lain tidak ada yang berkomentar, terbiasa dengan sifat hiper Bokuto akibat adrenalin yang masih terpompa kuat setelah menang pertandingan apalagi kalau lawannya kuat. Namun, setelah menjadi pandangan publik yang penasaran dengan teriakan Bokuto, Akaashi kembali mengingatkan.

"Bokuto-san, [Name] kelihatan tidak nyaman menjadi tontonan," kata Akaashi. "Kau bisa memeluknya nanti."

Bokuto mencebik seraya menurunkan [Name], membiarkan kekasihnya kembali memijak lantai. Meski begitu [Name] hanya bisa menerima kenyataan bahwa Bokuto masih enggan untuk berjauhan. Membiarkan dirinya dituntun oleh Bokuto kembali pada tim tanpa melepaskan pelukannya dari belakang, mereka tampak seperti penguin yang kesulitan berjalan.

"Kou, jalannya akan lebih mudah jika kau melepas pelukanmu dulu," [Name] menepuk lengan Bokuto pelan, memberi kode.

"Tidak mau," Bokuto mendengus. "Bayaran yang setimpal karena menjadi dewi kemenanganku hari ini adalah pelukan tanpa batasan waktu. Kau harus menerimanya."

[Name] tertawa pelan. "Baik, baik."

Ia menoleh saat Bokuto menaruh dagu di bahunya. Cengiran lebar juga binar bahagia bercampur bangga menyatu dalam iris keemasan. Bagai tak peduli kerumunan, Bokuto menempelkan bibir di pipinya sejenak. Suara Bokuto memelan, tidak membiarkan siapapun mendengar kata-kata yang hanya ditujukan untuk dirinya.

"Terima kasih, Penyemangatku," bisik Bokuto serak. "Aku sayang kamu."

Haikyu!! One ShotsWhere stories live. Discover now