Dissemble - Oikawa Tooru

1.3K 165 1
                                    

Oikawa bergerak gelisah, atensinya berulang kali teralih dari pertandingan voli yang terputar pada layar komputer menuju sosok gadis berhelai gelap yang asyik dengan buku bacaannya di sisi lain ruangan.

Netra kecokelatannya menelisik sosok sang kekasih. Iris gelap yang fokus pada tulisan dalam buku, tangan yang menggenggam pena lalu menulis sesuatu dalam buku catatan, helaian jelaga yang diikat asal agar tidak menutupi pandangan juga telinga yang disumpal dengan earphone—yang Oikawa yakin tidak ada musik yang melantun, gadisnya hanya suka menyumpal telinganya dengan alasan lebih fokus.

Perasaan bersalah berkecamuk dengan gelisah dan gugup. Bersalah lantaran harus mengusik gadisnya yang sedang fokus, tetapi juga gelisah karena harus menyuarakan ganjalan dalam dada. Dalam pikirannya, terbayang sosok Iwaizumi dengan tampang seram yang menyuruhnya untuk segera memberitahu berita ini pada kekasihnya.

Tahu bahwa ia menunda hanya akan berujung pada penyesalan yang lebih dalam, Oikawa angkat bicara. "[Name]."

Seperti yang ia duga, [Name] tidak menyalakan lagu. Gadis itu langsung mendongakkan wajah dengan sebelah alis terangkat. "Ada apa?"

Ia menaruh bola voli di lantai, seluruh tubuhnya kali ini berhadapan dengan [Name] yang melemparkan tatapan penuh tanda tanya. Menyadari seberapa serius dirinya, [Name] turut melepas earphone dan meletakkan buku catatannya.

"Jangan membuatku takut, Tooru," kata [Name] was-was. "Ada apa?"

"Ada yang harus kuberitahukan padamu." Ia mencoba memupuk keberanian, membulatkan tekad untuk mengaku.

[Name] berdehem pelan, menunggu Oikawa melanjutkan ucapannya.

"Ini tentang studiku. Sepertinya aku akan langsung pergi ke Argentina setelah masa SMAku selesai," tutur Oikawa hati-hati. Matanya lekat memandangi perubahan ekspresi [Name], mengantisipasi ledakan emosi sang hawa. "Aku ingin memulai karir voliku di sana. Maaf karena baru mengatakannya sekarang."

Namun di luar dugaannya, [Name] hanya berdehem pelan seolah mereka tengah membicarakan cuaca di musim semi. Tak ada ledakan emosi yang telah ia antisipasi. Tidak ada ekspresi terkejut. Tidak ada pertanyaan bertubi-tubi yang telah ia siapkan jawabannya. Mengingat bagaimana sifat gadisnya, reaksi datar semacam ini berada di luar karakter [Name].

"Aku tahu ini terkesan mendadak. Hanya tinggal satu bulan lagi sampai kepindahanku ke Argentina, tapi aku tidak bisa menahan berita ini darimu lebih lama. Aku tahu kau mungkin saja marah karena kau tidak bereaksi apa-apa, tapi [Name]—"

"Aku sudah tahu, Tooru."

"—aku ingin kau tahu bahwa aku menghargai perasaanmu. Hubungan jarak jauh pastilah berat dan—hah? Apa maksudmu kau sudah tahu?" alih-alih dirinya yang menjawab, justru Oikawalah yang benaknya dipenuhi oleh pertanyaan dan ekspresi pongah [Name] sama sekali tidak membantu.

"Iwaizumi yang memberitahuku." [Name] mengulum senyum, memilin kabel earphonenya dengan jari telunjuk. "Ia sudah berkata kalau kau mungkin saja akan menunda memberikan informasi ini padaku dan benar saja. Berita ini sudah kudengar sebulan yang lalu. Katakan padaku, Oikawa Tooru, mengapa aku yang terakhir tahu?"

Menelan ludah dengan susah payah, Oikawa berujar. "Karena aku bingung bagaimana mengatakannya padamu. Maksudku, mungkin sedikit berat berpisah dengan Iwa-chan, tapi lain halnya dengan berpisah denganmu. Bagaimana dengan hubungan kita? Bagaimana dengan komunikasinya? Banyak hal yang harus dipikirkan."

[Name] menghela napas berat, melipat kedua tangannya di depan dada. Netra gelapnya menghunjam sosok Oikawa yang tampak gelisah, yakin bahwa sang setter belum menemukan jawaban dari sekian banyak pertimbangan mengenai hubungan mereka.

"Lalu, apa sudah dapat jawabannya?" tanya [Name] dengan sebelah alis terangkat.

Oikawa memandangi [Name] lalu mendesah tak berdaya kemudian menggelengkan kepala lemah.

"Tooru, hubungan itu dijalankan oleh dua orang. Sudah sepatutnya dua orang yang berpikir tentang kelanjutan hubungan itu. Selama ini kau menyimpannya seorang diri, merenung sendirian dan berakhir tanpa jawaban," omel [Name] dalam satu tarikan napas. "Saking sibuknya meratapi hubungan kita sendirian, kau sampai lupa kalau aku ada. Kau lupa kalau aku masih kekasihmu dan apapun yang kaupikirkan akan berdampak pula padaku."

Oikawa memainkan ujung kausnya, mencicitkan satu kata yang terpikirkan. "Maaf."

[Name] mendengus kecil. Lantas mengambil kembali buku catatannya dan menyumpal telinganya. Kini dibiarkan sepi dengan pikirannya sendiri, Oikawa kebingungan menentukan sikap. Apa yang harus ia lakukan? Haruskah ia meminta maaf pada sang kekasih? Mengurungkan niat untuk pergi demi voli bukanlah pilihan. Seberapa besar rasa sayangnya pada [Name], tidak akan bisa mengalahkan keinginannya untuk berada di puncak. Setidaknya tidak saat ini.

Belum selesai dengan rantai pikirannya, Oikawa dikejutkan dengan pengakuan [Name].

"Sayang sekali karena kau harus bersabar, Tooru," celetuk [Name] tanpa mengalihkan tatapan dari catatan.

"Bersabar untuk apa?" tanyanya bingung.

Mata [Name] memicing. "Apakah kau berniat untuk memutus hubungan denganku, Oikawa Tooru?"

Oikawa mengibaskan tangannya cepat, buru-buru menyanggah pertanyaan [Name]. "Tidak, tidak. Tentu saja tidak. Dalam mimpi pun aku tidak ingin putus darimu, [Name]. Sungguh."

[Name] mengulum senyum geli, mengangguk kecil. "Kalau begitu bersabarlah sedikit. Seandainya kau belum muak denganku, sepertinya aku akan mengincar beasiswa ke Argentina juga."

"Hah!?"

"Tidak boleh ya?" tanya [Name] sembari memasang ekspresi sedih terbaiknya. "Kau sudah muak denganku? Sudah berencana untuk menggantikanku dengan gadis Argentina, hm?"

"Tidak. Bukan begitu." Oikawa gelagapan mencari kata. Informasi ini tampaknya sulit dicerna untuk dirinya yang masih diserang syok. [Name] akan ikut dengannya ke Argentina? Mereka tidak akan menjalani hubungan jarak jauh terlalu lama? [Name] akan bersamanya? "Kau benar-benar akan melakukannya untukku?"

[Name] terkekeh pelan melihat ekspresi melongo Oikawa, bertopang dagu dengan senyum yang mengembang. "Tidak sepenuhnya untukmu. Ada program yang ditawarkan universitas di sana yang membuatku tertarik." [Name] tergelak ketika Oikawa menerjangnya. "Tapi harus kuakui sebagian besar alasannya adalah dirimu. Sepertinya perasaanku begitu kuat hingga sulit untuk berpisah darimu. Bagaimana kau akan bertanggung jawab, Tooru?"

Oikawa meraih [Name] ke dalam pelukannya, mengukung kuat tubuh yang lebih kecil darinya. Dihirup dalam aroma bebungaan yang menguar dari [Name], dalam hati kerap melantunkan syukur karena dirinya telah diizinkan untuk menyayangi dan disayangi [Name]. Begitu banyak kekasih di masa lalu, tapi tak satupun dari mereka sanggup membuatnya bertekuk lutut sebagaimana [Name] pada dirinya.

"Aku berjanji akan mengirim pesan setiap hari, menelponmu kalau ingin tidur dan melakukan panggilan video tiap akhir pekan," cetusnya sungguh-sungguh. "Aku akan membantumu mencari tempat tinggal yang dekat denganku nanti. Tidak akan ada gadis lain yang menarik perhatianku saat kau dan voli saja sudah cukup menyibukkan duniaku. Aku ... aku menyayangimu, [Name]. Amat sangat menyayangimu."

[Name] membenamkan hidung di lekuk leher Oikawa, membalas dekapan prianya. "Aku akan menagih janjimu, lho."

"Tagih saja. Karena ketika aku berjanji, aku juga akan menggenapinya," bisik Oikawa. Dadanya penuh, sesak oleh berbagai macam emosi. Bahagia dan luapan kasih sayang yang paling kentara. Entah apa yang ia perbuat sehingga mampu mendapatkan [Name]. "Aku akan membuatmu bangga padaku, [Name]."

[Name] tertawa kecil, menggeleng singkat. "Sekarang pun aku sudah bangga padamu." Ia menangkup wajah Oikawa, mencium puncak hidung kekasihnya. "Setter terbaikku. Oikawa Tooru. Aku bangga padamu."

Jika sebelumnya ia sudah menyayangi [Name], kini ia terlampau jatuh padagadis itu. Jika ada momen yang meyakinkannya bahwa [Name] satu-satunya, makamomen inilah alasannya. Sia-sia saja mencoba menahan perasaannya karena [Name]membuktikan bahwa gadis itu selalu bisa menarik paksa afeksi dalam dirinya.Wujud kasih sayang dan bangganya.

Haikyu!! One ShotsWhere stories live. Discover now