Inarizaki berhasil menduduki posisi ketiga pada kompetisi Interhigh tingkat SMA. Meski ada ketidak puasan karena kalah di semifinal, anggota inti tim voli putra tampak cukup gembira dengan hasil akhir dari usaha mereka. Lantas, sebagian besar anggota tim mengusulkan ide untuk selebrasi kemenangan mereka di kedai makanan yang paling dekat dengan stadion.
Kita awalnya menolak untuk ikut, teringat dengan sang nenek yang berada di rumah sendirian. Namun, selain dari ajakan Aran dan rengekan Atsumu tentang betapa hampanya selebrasi tanpa kapten, Kita akhirnya luluh karena bujukan [Name]—manajer tim Inarizaki sekaligus kekasihnya.
"Aku sudah mengabarkan nenek kalau mungkin kita akan pulang sedikit larut," ujar [Name] setengah membujuk. "Aku mengantisipasi si kembar akan bersikeras untuk makan-makan sebelum pulang."
Kita mengulum senyum tipis. "Maksudmu kau sudah tahu mereka akan mengajak kita kemari?"
[Name] mengangkat bahu acuh tak acuh. "Bukan hal yang luar biasa. Siapapun yang mengenal si kembar pasti tahu nafsu makan mereka yang luar biasa besar. Jadi, kau akan ikut, kan?"
"Saat kau menelepon nenek, apa nenek mengizinkan?" tanyanya.
[Name] mengangguk. "Nenek malah bilang kalau sesekali kau perlu jalan-jalan bersama dengan temanmu atau dengan kekasihmu."
"Nenek yang bilang atau kau?"
"Keduanya." [Name] terkekeh kecil lalu memiringkan kepala. "Jadi, apa kau akan ikut makan-makan bersama yang lain karena kelihatannya Osamu sudah tidak sabar meninggalkan stadion. Si kembar nyaris bertengkar lagi di pintu keluar kalau tidak dipisahkan oleh Ginjima."
Kita mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjukkan oleh [Name], melayangkan tatapan datar pada Ginjima yang berusaha melerai si Kembar. Menyadari bahwa tatapannya tertuju pada mereka, Ginjima segera menepuk bahu Atsumu lalu menyentakkan kepala ke arahnya. Sekujur tubuh Atsumu langsung menegang ketika tatapan mereka bertemu lalu memutar badan secepat kilat.
[Name] tertawa. "Satu tatapan dan mereka berhenti. Kau ini semacam superhero atau apa, Shin?"
Kening Kita berkerut samar. "Aku tidak merasa seperti pahlawan."
"Yang tadi itu hanya kiasan."
Kita menyambut uluran tangan [Name], meremas jemari yang lebih kecil itu tiga kali—cara tersirat mereka untuk saling mengutarakan rasa. Sudut bibirnya tertarik lebih dalam kala menangkap senyum sumringah [Name], mengekori sang gadis yang berjalan menuju gerombolan tim voli putra.
Membiarkan anak kelas dua yang memilih tempat mereka makan, Kita mengamati [Name] yang bercengkerama dengan Akagi tentang performa para anak kelas dua di lapangan beberapa saat yang lalu, kemudian beralih membicarakan pekan ujian yang akan diadakan beberapa minggu lagi dan bagaimana mereka akan mengatur jadwal belajar bersama sekaligus latihan intensif untuk tur[Name]n musim semi.
"Hati-hati." Kita menarik lembut tangan [Name]. "Ada tangga."
[Name] tersenyum berterima kasih padanya. "Pahlawanku."
"Sekali lagi, aku tidak merasa seperti pahlawan, [Name]."
Tidak hanya [Name] yang tersenyum, tapi Akagi dan Omimi turut tergelak rendah dengan jawabannya. Sungguh, ia tidak mengerti mengapa [Name] memanggilnya demikian padahal yang ia lakukan hanyalah menjaga [Name] agar tidak terpeleset.
"Oi, Kita! Yang lain sudah berebut kursi." Suara Aran terdengar dari kejauhan.
Akagi mengembuskan napas panjang sambil menggeleng pasrah. "Kujamin Si Kembar yang sedang berebut kursi sekarang."
"Kau tahu bagaimana mereka," sahut [Name].
Sesuai dugaan [Name] dan Akagi, Miya Bersaudara tengah bertengkar karena ingin memesan makanan lebih dulu, beralasan kalau yang lainnya hanya akan memesan makanan kesukaan mereka. Ginjima berusaha menengahi keduanya, seperti biasa, tapi Miya Bersaudara sudah tidak bisa dihentikan. Kita mendapati Suna sedang sibuk dengan ponselnya, kamera diarahkan pada si Kembar yang saling mendorong.
"Atsumu, Osamu. Berikan menunya pada [Name]."
Bagai kuda dipecut, Osamu buru-buru memberikan menu dalam genggaman pada [Name] yang tergelak geli. Dari tempatnya duduk, ia mampu mengawasi Miya Bersaudara yang kini saling menyalahkan dan saling menyikut.
"Pesan karaage juga untuk dimakan bersama," tambahnya pada [Name], yang disetujui oleh Akagi. Beberapa dari anggota tim ikut menambahkan makanan yang mereka inginkan. Beberapa diiyakan, beberapa ditolak karena bukan menu yang cocok untuk dibagi ke banyak orang. "Atsumu, Osamu, ada yang mau ditambahkan?"
"Tuna."
"Onigiri."
Ia dan [Name] bertukar pandangan lalu mengangguk. [Name], masih dengan senyum geli yang merekah di bibir, menambahkan pesanan Miya Bersaudara kepada pelayan—yang langsung disambut dengan seruan senang mereka tentu saja.
"Kau harus sedikit lebih toleran pada mereka berdua, Shin," ujar [Name] ketika Ginjima dan Suna berhasil mencairkan suasana di meja Miya Bersaudara. Kini, mereka tengah memperdebatkan sesuatu.
"Karena aku punya harapan yang besar pada mereka," balasnya jujur. "Keduanya memiliki potensi yang luar biasa. Sayang sekali mereka masih kurang disiplin dan bertindak sesuai insting di lapangan."
"Bukankah itu hal yang bagus?" [Name] bertanya seraya mengambil buku catatannya dari dalam tas. "Mereka menemukan banyak ide untuk gerakan baru di lapangan. Kita bisa meminta mereka untuk melatih gerakan itu, kan?"
"Bisa dibicarakan dengan pelatih besok." Kita menutup buku catatan [Name], mengunci mata gelap sang gadis dengan pandangannya. "Sekarang kita sedang merayakan kemenangan. Jangan memikirkan tentang pekerjaan dulu. Istirahat juga bagian dari latihan."
[Name] tersenyum ringan, memasukkan kembali buku catatannya ke dalam tas. Mengamati gadis itu mengetukkan jari-jarinya di atas meja sambil memandangi sekitar dengan penasaran, Kita merasa sesuatu dalam dirinya merasa ... damai.
"Jarang sekali melihatmu begini." Ia menoleh pada Akagi, menuntut penjelasan. "Maksudku malam ini kau banyak tersenyum. Karena menang atau karena [Name]?"
"Keduanya," jawab Kita tegas.
"Cinta benar-benar bisa mengubah seseorang ya?" celetuk Akagi terkekeh.
Sebelum Kita membalas, ekor matanya menangkap salah satu pelayan yang membawa terlalu banyak gelas. Saat nampan yang dibawa oleng, Kita segera menuntun [Name] untuk menyembunyikan wajah di dada dan menutup kedua telinga sang gadis. [Name] sempat meronta, bingung karena ia tiba-tiba memeluk sang hawa juga tersipu lantaran mereka masih berada di publik. Namun, Kita tidak sempat memikirkannya. Yang menjadi prioritas utamanya adalah mencegah [Name] untuk mendengar suara bising dan nyaring dari gelas-gelas yang membentur lantai.
Gadisnya tidak dibesarkan di keluarga yang ... sehat. Sebagian besar percakapan menguras emosi selalu berakhir dengan barang-barang yang dilempar maupun suara lantang yang saling menegaskan maksud. Kita tidak ingin [Name] teringat dengan keadaan yang menyesakkan itu.
"Shin?"
"Shhh ... sebentar lagi," bisiknya.
Hanya setelah ribut antara pelayan yang meminta maaf dan pelanggan lain yang terkejut mereda, barulah Kita membiarkan [Name] menarik diri. [Name] yang penasaran melongokkan kepala ke balik bahu Kita dan menyadari apa yang baru saja terjadi serta mengapa Kita menutupi telinganya beberapa saat lalu.
"Kau baik-baik saja?" tanya Kita. Mata cokelatnya berkilat khawatir.
[Name] mengulum senyum. "Aku tidak apa-apa. Kau menekan telingaku kuat sampai aku nyaris tidak mendengar apa-apa."
"Tujuannya memang begitu." Kita mengembuskan napas lega. "Kau yakin baik-baik saja?"
Sekali lagi [Name] mengangguk. "Kau tahu aku sudah baik-baik saja, kan? Kau tidak perlu melakukannya."
Untuk kesekian kalinya malam itu, Kita mengulas senyum lembut lalu mengusak puncak kepala [Name] pelan. "Bukan masalah. Lagipula aku pahlawanmu, kan?"
Kini, Kita mulai mengerti mengapa [Name] sering memujinya dengan sebutan 'pahlawanku' dan ia tidak keberatan. Karena menjaga dan melindungi [Name] sudah menjadi bagian dari hal yang lumrah ia lakukan sehari-hari. Menyayangi [Name] terasa seperti bernapas, terasa alami dan teramat mudah dilakukan.
YOU ARE READING
Haikyu!! One Shots
FanfictionSekumpulan cerita mengenai dirimu yang menjadi pasangan para atlet voli di berbagai situasi