Presence - Bokuto Koutarou

930 130 5
                                    

Bertengkar bukanlah hal yang lumrah terjadi di antara mereka. Bokuto yang lebih suka menghadapi masalah dengan kepala dingin juga [Name] yang memilih untuk membicarakan apapun yang mengganjal di hati membuat hubungan keduanya tampak adem seolah tak ada masalah. Namun ada satu hal yang membuat keduanya selalu bersikukuh dengan opini mereka.

Bokuto dengan volinya. [Name] dengan kesehatan Bokuto.

Kekhawatiran [Name] juga bukan tanpa alasan. Kaki Bokuto terkilir pada pertandingan beberapa hari yang lalu. Pelatih sudah mengusulkan agar Bokuto beristirahat untuk pertandingan selanjutnya. Yang dilakukan pria itu? Tentu saja memaksakan diri untuk berlatih.

"Aku tidak merasa hidup kalau tidak main voli, [Name]!" itu alasan sang pria kala [Name] melarang tegas Bokuto pergi ke gimnasium.

"Lalu bagaimana dengan kakimu, hm?" [Name] berkacak pinggang, menghalangi pintu utama.

Bokuto memamerkan cengiran lebar. "Kakiku baik-baik saja. Lihat."

Pria itu menggoyangkan kakinya yang terkilir, melompat-lompat di tempat dan memutar sendi pergelangan kakinya untuk membuktikan bahwa ia sudah pulih. Hanya saja [Name] tetap sangsi. Jika pelatih berkata Bokuto harus istirahat, bukankah itu yang seharusnya dilakukan oleh si mantan ace Fukurodani?

"Tidak," tegas [Name] membulatkan keputusan. "Istirahatlah dulu. Kau bisa latihan lain kali."

Bokuto menghela napas, tapi belum melepaskan tasnya. "Maaf, [Name], tapi untuk yang satu ini aku tidak bisa menuruti keinginanmu. Pertandingan dua hari lagi adalah pertandingan besar dengan tim yang kuat. Aku harus giat berlatih supaya menang."

Cukup. [Name] memejamkan mata untuk mengatur emosi yang hampir meledak. Namun yang terbersit di balik kelopak mata adalah sosok Bokuto yang meringis ketika menumpukan seluruh berat tubuhnya di kaki yang terkilir. Muncul sosok Bokuto yang mengerang tak nyaman dalam tidurnya lantaran kakinya terantuk tepi ranjang. Yang ia lihat adalah bagaimana Bokuto yang murung menatap kakinya yang dibalut.

Saat [Name] membuka mata, ada sirat tajam yang menghunjam pada netra kecokelatannya. Kedua lengannya terkulai lemas di sisi tubuh, tetapi tangannya mengepal seakan menahan diri untuk tak meledak pada prianya.

"Terserah kau saja, Bokuto," desis [Name] lemah tapi tak menutupi nada dingin dalam tiap penggalan katanya. "Kalau memang pertandingan ini jauh lebih berharga daripada kakimu. Kalau memang kekhawatiranku ini sangat sepele dan merepotkan bagimu, silakan saja pergi."

Bokuto tercengang, tampak syok dan terpukul.

"Kekhawatiranku adalah hal yang sepele bagimu, kan?" tanya [Name] menyunggingkan seringai sinis. "Kesehatanmu juga tidak penting, kan? Pertandingan dan kemenangan itu segalanya, kan? Pergi saja. Aku tidak akan menghalangimu."

Tanpa menunggu balasan Bokuto, [Name] meninggalkan pria itu di muka pintu. Memasang telinga lebar-lebar untuk mendengar respons Bokuto.

Indra pendengarannya menangkap balasan lemah Bokuto sebelum pintu utama terbuka dan tertutup. "Maaf, [Name]. Aku menyayangimu."

Alih-alih puas bisa mengungkapkan isi pikirannya, gelombang perasaan bersalah malah menerpanya. Ia memeluk lutut di atas sofa, mengutuk diri sendiri atas hilangnya kendali. Andai saja ia mampu mengerti atau setidaknya bertoleransi dengan keinginan Bokuto. Seharusnya ia tahu voli adalah alasan hidup dan semangat Bokuto. Seandainya ...

Namun tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menunggu kepulangan Bokuto.

***

Dua hari berlalu sejak pertengkaran mereka. Namun [Name] masih enggan untuk membuka suara, terlalu tenggelam dalam perasaan bersalah dan kesalnya. Bokuto sudah meminta maaf, tapi tetap tidak mengindahkan sarannya untuk beristirahat. Lantas, [Name] memilih untuk bungkam.

Haikyu!! One ShotsWhere stories live. Discover now