Saat pertama kali Oikawa bertemu dengan gadisnya, ia tidak menyangka bahwa jalur hidupnya akan berakhir sedemikian rupa. Sesungguhnya, ia tidak mengerti mengapa ia menyelamatkan [Name] dari dua pria yang berusaha mencegatnya di ujung gang gelap. Mungkin karena ia takjub dengan tekad gadis itu untuk melawan, mungkin juga sesuatu dalam dirinya terpesona dengan [Name]. Oikawa tahu jika ia terlibat dengan perkelahian di gang gelap, reputasinya akan dipertanyakan—belum lagi adanya kemungkinan bahwa gadis yang ia selamatkan belum tentu gadis yang baik-baik pula—Namun, malam itu Oikawa membuat pengecualian untuk [Name].
Dan sejak malam itu, ia terus-menerus memberi pengecualian untuk sang hawa. Mungkin takkan berhenti dalam waktu dekat.
"Tooru, Tooru." Oikawa mengerang, mengeratkan dekapannya pada [Name] ketika gadis itu mendorong dadanya. "Tooru, bangun. Ayolah."
Oikawa mendengus, membuka sebelah mata dan mendelik tajam pada gadisnya. "Apa? Ada apa?"
Ia memiliki kebiasaan untuk tidur dengan bertelanjang dada. Hangat kulitnya yang bersinggungan dengan [Name] terasa seperti rumah. Nyaman dan menenangkan. Namun, sepertinya masih belum cukup untuk membuat [Name] tetap terlelap.
"Mau es krim," gumam [Name]. Gadis itu menekan telapak tangannya pada dada Oikawa, menjejaki kulit sang pria dengan pola lingkaran halus, sesuai dengan yang disukai Oikawa. Sang hawa tampaknya berharap gestur itu mampu melembutkan Oikawa setelah mendengar keinginannya.
Kening Oikawa mengerut. Ia mengangkat kepala, memicingkan mata untuk melihat jam yang menyala di meja nakas. "Jam tiga pagi?" pandangan Oikawa beralih pada [Name]. "Kau ingin es krim di jam tiga pagi?"
"Jam setengah empat, Tooru." [Name] mencebik, bibir bawahnya bergetar dengan mata yang melebar penuh harap.
Oikawa mendesah kasar saat [Name] mengerjap. "Jangan bereskpresi begitu, [Name]. Aku tidak peduli—kubilang jangan melihatku begitu."
Oikawa tahu permintaannya berakhir sia-sia. Ia tahu, ia akan beranjak dari hangat dan nyamannya ranjang dan mengenakan pakaian sebelum [Name] memohon untuk kedua kalinya. Seperti biasa, ia selalu membuat pengecualian, untukmu. Ia tidak tahu bagaimana atau kenapa [Name] bisa menggenggamnya, mengapa [Name] bisa sangat penting sampai ia mampu bertingkah seperti orang bodoh dan membiarkan sang hawa menyuruhnya, tetapi tetap ia perbolehkan.
Oikawa memang bodoh. Benar-benar bodoh dan putus asa. Semua itu karena ia jatuh cinta. Ia jatuh cinta pada [Name].
"Kumohon, Tooru? Mau ya? Mau, kan? Mereka mengeluarkan rasa baru—" bujukan [Name] berhenti saat Oikawa menarik selimut sebatas kepala lalu menjebak [Name] di dalamnya.
"Tidak," gerutu Oikawa. "Tidurlah. Demi Tuhan, sekarang masih jam tiga pagi."
Dan seperti yang ia duga, [Name] membalikkan badan dan beringsut menjauh darinya dengan dengusan kecewa. Oikawa berusaha mengabaikan fakta bahwa [Name] kesal padanya, terlebih saat [Name] sengaja mengeraskan dengusan seolah memberitahu betapa sebalnya ia. Dan Oikawa lagi-lagi tunduk pada keinginan [Name]. Seperti biasa.
"Baiklah. Aku bisa pergi sen—"
"Cepat berpakaian," gumam Oikawa seraya bangkit dari posisi. Ia mengucek mata, berusaha menghalau kantuk yang masih menggelayuti kelopak.
Ia seharusnya marah. Seharusnya ia kesal dengan [Name] yang—entah bagaimana—dengan mudah membuatnya patuh dan mengabulkan keinginan sang hawa, tapi sekali lagi [Name] memaksanya untuk membuat pengecualian.
[Name] terkesiap antusias, duduk di pangkuan Oikawa dengan lengan terkalung di leher sang pria. "Benarkah?"
"Iya." Oikawa mendesah mengalah.
"Benar-benar yakin?"
"Iya." Oikawa mengerang. Meski begitu, matanya tetap berbinar geli seraya meremas pelan pinggul [Name]. "Kau yang akan bertanggung jawab kalau aku dimarahi oleh pelatih besok."
[Name] tertawa, mencuri kecupan singkat pada pipi Oikawa. "Aku bersumpah akan menghadap dan membelamu di depan pelatih besok!"
Oikawa terkekeh, menggeleng pasrah setengah geli kemudian mengecup puncak hidung [Name]. Ia menangkup pipi sang hawa, membelai rupa [Name] dengan lembut. "Aku akan menagih janjimu."
"Aku menyayangimu, Tooru," bisik [Name] rendah.
Senyumnya mengembang. "Aku juga menyayangimu, amour. Nah sekarang segera berpakaian sebelum aku berubah pikiran."
***
"Apa yang kau lakukan?" Oikawa mengawasi [Name] yang mengamati refleksi dirinya pada kamera CCTV di toserba.
"Aku kelihatan lelah, Tooru."
Karena pernyataan [Name], Oikawa turut mendongak. Masih tersisa jejak kantuk yang membayangi rupa mereka. Suaranya dan [Name] masih serak—pengaruh dipaksa bangun lima belas menit yang lalu. Namun, sesaat setelah lengannya menemukan tempat pada pinggang [Name] dan ia menumpukan dagu di puncak kepala sang hawa, seulas senyum terpatri di bibir [Name].
Ia benar-benar jatuh cinta pada [Name], pikirnya saat [Name] masih asyik memilih rasa es krim dalam lemari pendingin. "Ayo, amour. Udaranya semakin dingin. Kita harus segera pulang."
"Tapi, rasa apa yang harus kubeli?" tanya [Name] menimbang rasa chocomint dan chocovanilla dalam genggaman. "Rasa barunya menarik, tapi kalau rasanya tidak sesuai harapan aku mau rasa kesukaanku juga."
Oikawa terkekeh, mengecup cepat pipi [Name] dan mengambil alih kedua tube es krim. "Beli keduanya. Princessku tidak perlu memilih."
Sudut bibirnya tertarik lebih dalam saat [Name] memeluk lengannya—menyurukkan pipi pada lengan jaketnya seakan gadis itu telah menemukan tempat di sisinya. Ia menuntun [Name] berjalan di menyusuri rak-rak makanan, mengambil beberapa bungkus camilan kesukaan [Name] dan roti sarapannya nanti.
Menyadari tatapan [Name] saat ia meletakkan belanjaan mereka di kasir, Oikawa menyeringai. "Aku sangat memanjakanmu, kan?"
"Tentu saja. Tooru yang terbaik!"
Oikawa tergelak rendah. Gadis itu selalu tahu cara untuk membuatnya merasa lebih baik. Ia merangkul pinggang [Name] lebih dekat saat gadis itu menggigil. Bibirnya membelai pelipis [Name] ringan kala gadis itu mendongak menatap langit.
"Masih gelap," gumam [Name].
"Karena seseorang bersikeras tidak bisa menunggu langit lebih cerah untuk mendapatkan es krimnya," goda Oikawa tanpa benar-benar mengeluh. Ia suka menghabiskan waktu berdua dengan gadisnya, meski harus mengorbankan jam tidur. "Kau seharusnya merasa beruntung, amour. Karena aku merelakan ketampananku untuk menemanimu."
[Name] tertawa. Gadis itu berjinjit untuk mengusap kantung matanya. "Bahkan dengan kantung matamu yang menghitam, kau tetap yang paling tampan bagiku, Tooru."
"Lebih tampan dari Iwa-chan?"
"Ya, itu sih masih diperdebatkan."
"Aku akan membuang es krimmu kalau kau tidak menarik ucapanmu, amour."
"Aku bercanda, Tooru. Hanya bercanda." [Name] meraih kantung belanjaan dengan sigap, mengulas senyum lebar. "Iwaizumi takkan mau bangun di pagi buta untuk menemaniku membeli es krim. Jadi, Oikawa Tooru-ku tetap yang terbaik."
Ia menjawil puncak hidung [Name]. "Gadis Pintar."
Oikawa beringsut mendekat, merangkul bahu [Name] hingga sisi tubuh mereka bersinggungan. Saat [Name] menguap lalu menyandarkan kepala di bahunya, Oikawa kembali tersenyum. Ia menelusuri wajah [Name], mematri rupa menggemaskan dalam ingatan. Dan ia menyadari sesuatu.
Hanya butuh satu kata untuk mencuri sisa keraguan dalam hatinya. Hanya butuh satu kata untuk menyerahkan segala yang ia punya untuk [Name].
YOU ARE READING
Haikyu!! One Shots
FanfictionSekumpulan cerita mengenai dirimu yang menjadi pasangan para atlet voli di berbagai situasi