Attentive - Kozume Kenma

725 115 7
                                    

[Name] lagi-lagi mengerang ketika makhluk itu berhasil membunuhnya. Makhluk hasil eksperimen dengan menanamkan beberapa parasit di dalam tubuh sehingga menghasilkan efek regenerasi itu teramat menakutkan. Makhluk yang dinamakan Regenerador itu tidak bisa dibunuh dengan mudah, butuh banyak peluru untuk menumbangkan makhluk yang mirip dengan manusia ini. Mengingat parasit yang tertanam dalam tubuhnya berfungsi sebagai alat vital juga alasan mengapa Regenerador ini bisa beregenerasi, [Name] yakin ia harus mendapatkan biosensor scope lebih dulu untuk menghemat peluru.

Sayangnya, Regenerador juga memiliki kemampuan berlari yang mencengangkan untuk ukuran makhluk eksperimen berbadan besar. Ditambah dengan suasana gelap yang mencekam di laboratorium, [Name] bersumpah jantungnya nyaris copot setiap kali mendengar langkah kaki atau suara napas Regenerador.

Tulisan game over yang muncul di layar komputer seolah mencemooh kemampuannya untuk menyelesaikan teka-teki. [Name] menghela napas panjang, menyandarkan kepala di punggung kursi lalu menatap sang kekasih yang asyik dengan laptopnya di meja pendek.

Matanya menjejaki rupa Kenma, mengagumi garis wajah sang pria dalam diam. Kening Kenma mengerut begitu juga dengan bibirnya yng mengerucut lantaran berkonsentrasi. Rambut pirang-hitamnya diikat kendur agar tidak menghalangi pandangan. Namun, yang memancing atensi [Name] adalah Kenma hanya mengenakan sebelah headphonenya.

Tiba-tiba saja [Name] teirngat dengan ucapan Kuroo beberapa waktu lalu. Tentang kebiasaan Kenma saat bermain game.

"Kenma kalau sedang fokus dengan permainannya, pasti akan abai dengan sekitar. Lupa makan, lupa minum. Mungkin kalau bernapas bukan sesuatu yang otomatis terjadi, ia juga akan lupa bernapas."

[Name] tersentak dari lamunan saat Kenma menoleh padanya. Pria berambut mirip puding itu memiringkan kepala. "Ada apa, [Name]?"

"Ah ... tidak, tidak." [Name] mengibaskan tangannya cepat. "Hanya teringat sesuatu yang dikatakan oleh Kuroo."

Kening Kenma berkerut samar. "Jangan digubris omongan Kuroo. Sebagian besar hanya omong kosong."

"Tapi ia mengatakan sesuatu tentangmu?" ujar [Name] heran.

"Apalagi kalau berkaitan denganku. Ia pasti berbohong," balas Kenma memberengut. Ia teringat bagaimana Kuroo berkata bahwa ekspresinya melihat permainan Hinata di lapangan sama seperti ketika ia akan memulai game baru. Benar-benar omong kosong. "Tidak usah didengarkan."

Mata [Name] memicing curiga, melipat kedua tangan di depan dada. "Jadi saat Kuroo berkata kalau kau sedang fokus dengan game-mu kau akan lupa dengan sekitar itu bohong?"

Kenma mencebik. "Tidak. Yang itu tidak bohong."

Sebelah alis [Name] terangkat tinggi. "Begitukah? Lantas mengapa kau langsung sadar saat aku memperhatikanmu, Ken?"

"Karena ...." Kenma memalingkan wajah ke arah lain, enggan beradu tatap dengan gadisnya. "Karena kupikir kau membutuhkan sesuatu, tapi tidak ingin menggangguku." Kenma mengangkat bahu, berusaha tampak acuh tak acuh. "Aku tidak mau kau mengurungkan keinginanmu untuk bicara denganku hanya karena aku sedang bermain game."

[Name] terbelalak, nyaris menganga kalau ia tidak berhasil mengendalikan diri. Ekpresinya berubah cerah saat teringat sesuatu. "Itukah alasanmu hanya mengenakan sebelah headphone saja?"

Lagi-lagi Kenma membuang muka ke arah yang berlawanan. Kali ini tidak mengizinkan [Name] untuk mengintip ekspresinya. Namun, tampaknya Kenma tidak sadar bahwa telinganya yang memerah bisa dengan jelas dilihat oleh [Name].

"...lau ...tuhku, ...ku bisa ...mu."

[Name] mengulum senyum. Ia beranjak dari kursi lalu memeluk Kenma dari belakang, tidak memberikan kesempatan pada sang pria untuk bersembunyi darinya. "Aku tidak mendengarmu, Ken. Bisa diulangi?"

"Aku melakukannya untuk berjaga-jaga kalau kau membutuhkanku, supaya aku bisa mendengarmu," ulang Kenma seraya menepuk punggung tangan [Name] yang melingkar di bahunya.

"Aw ... kau manis sekali, Kenma!"

Kenma hanya bisa pasrah saat [Name] menghambur padanya. Gadis itu berulang kali mengecup puncak kepala dan pipinya sebagai luapan perasaan gemas yang menyelimuti batinnya. Kenma masih belum terbiasa dengan hubungan asmara yang melibatkan banyak kontak fisik, tapi ia tidak menolak afeksi yang [Name] tunjukkan padanya.

"Satu-satunya yang manis di sini adalah dirimu, [Name]," cetus Kenma pelan.

"Bagaimana mungkin?" tanya [Name]. "Dengan sikapmu itu, kaulah yang manis di sini. Dan menggemaskan."

Kenma mendecak. "Aku tidak menggemaskan."

"Kau menggemaskan."

"Tidak menggemaskan."

"Sangat menggemaskan."

"Aku tidak menggemaskan, [Name]."

[Name] mengendikkan bahu. Apapun yang Kenma katakan, menurutnya pria itu tetap manis dan menggemaskan. Ia mengintip layar laptop Kenma dari balik bahu sang pria, lalu tercengang dengan apa yang ia lihat.

"Kau bermain Devil May Cry?" seru [Name] tidak percaya. "Kenapa memainkannya?"

Kenma berdehem rendah seraya mengangguk kecil. Ia menggapai tangan [Name] yang melingkar di lehernya, kemudian meremas pelan jemari [Name] yang lebih pendek sebagai balasan afeksi yang dicurahkan oleh gadis itu beberapa saat lalu. Sedikit banyak senang mengamati ekspresi terkejut sang hawa.

"Aku ingin tahu bagaimana sistem game ini bekerja," gumam Kenma. Ia menekan mouse pada bagian continue agar [Name] bisa ikut menonton bagian terakhir yang sedang ia mainkan sebelum [Name] menyita perhatiannya. "Ternyata lumayan asyik. Banyaknya senjata yang bisa kugunakan juga perbedaan karakter yang tersedia membuat game ini cukup menyenangkan."

[Name] berpindah posisi, kini duduk di samping Kenma agar bisa mengamati layar dengan lebih jelas. Bibirnya berulang kali menggumamkan kata 'wow' saat Kenma dengan lihainya mengganti pedang dengan pistol dan melakukan serentetan gerakan rumit yang pantas diberi nilai SSS.

"Tapi game ini bukanlah tipe game yang biasa kau mainkan, kan?" [Name] mendongak menatap Kenma. "Kenapa memutuskan untuk memainkannya sekarang?"

"Memang," tukas Kenma ringan. "Tapi kau menyukai game ini, kan?"

[Name] diam seribu bahasa.

"Oh, dan aku membeli edisi spesialnya," lanjut Kenma masih dengan pandangan terfokus pada layar. "Kau bilang suka pada Vergil, kan? Ia hanya bisa dimainkan pada edisi spesialnya."

[Name] masih bungkam.

"[Name]?" Kenma menjeda permainannya saat [Name] tidak kunjung bersuara. Saat melirik sang hawa, netra keemasan itu menangkap ekspresi tercengang dan terpana dari wajah sang hawa. "[Name]? Kau baik-baik saja?"

"Kenma!" [Name] menghambur pada prianya, menyusupkan wajah di bahu Kenma. "Aku menyayangimu, Kenma. Aku benar-benar menyayangimu."

Kenma tersentak. "Eh? Kenapa tiba-tiba?"

"Memangnya tidak boleh aku berkata kalau aku menyayangimu?" balas [Name] dengan tajam.

"Tentu saja tidak masalah. Aku juga kok." Kenma menghela napas panjang, memeluk [Name] dengan sedikit canggung lalu mengusap lembut punggung gadisnya. Ia menunggu beberapa menit sampai [Name] berhasil meredakan ledakan emosinya. "Jadi, kenapa sebelumnya kau memandangiku?"

[Name] mengangkat kepala dari dada Kenma. "Aku butuh bantuanmu untuk menyelesaikan level yang satu ini. Teka-tekinya menyulitkan dan monsternya mengerikan!"

Kenma terkekeh pelan. "Kau sedang memainkan apa?"

"Resident Evil 4 Remake," cicit [Name].

Kenma tergelak rendah. "Wajar saja kalau monsternya mengerikan, kan?"

"Tapi yang satu ini benar-benar tampak seperti mimpi buruk, Ken!" [Name] memukul bahu Kenma ketika pria itu belum selesai terkekeh. "Aku serius!"

"Baiklah, baiklah. Mari kita coba lagi. Kali ini aku yang main, kau yang mengarahkanku, oke?"

Kenma mungkin tidak terbiasa memainkan tipe game survival-horor semacam ini, tapi ia tidak keberatan mencobanya demi [Name]. Karena jujur saja, yang menarik bagi [Name] juga menarik baginya.

Haikyu!! One ShotsWhere stories live. Discover now