"Aku akan sedikit terlambat, ini sudah berangkat. Tsumu sulit dibangunkan kalau pagi."
[Name] mendengus geli membaca isi pesan sang kekasih lalu memasukkan ponsel ke dalam saku blazer. Sudah terbiasa dengan tingkah si Sulung Miya yang malas bangun pagi—apalagi kalau cuaca sedang dingin yang mampu membuai siapapun kembali ke gelungan selimut.
Ia mengerang, meringis ketika angin kencang menerpanya. Ia tidak menyangka perubahan temperatur yang drastis di awal musim dingin, karena itu jaketnya ditinggalkan di rumah. Keputusan bodoh, tentu saja. Karena setelah masuk gerbang sekolah, [Name] yakin ujung jarinya mulai membeku dan bibirnya mulai biru. Syal yang melilit di lehernya tidak membantu banyak.
Alih-alih melangkahkan kaki menuju kelas, ia mengarahkan tungkainya ke arah gimnasium. Hari ini adalah bagiannya untuk piket sebelum latihan pagi tim voli dimulai.
Asap putih terbentuk kala ia menghela napas panjang seolah mengejeknya lantaran hanya mengenakan syal untuk melawan suhu yang kian menurun. Ia mengeluarkan tangan dari saku blazer, menggosok cepat kedua tangannya lalu mengembuskan napas hangat dari mulut.
"Tidak membawa jaket?"
[Name] menoleh cepat pada sumber suara. Sudut bibirnya tertarik lebih dalam ketika melihat middle blocker berambut kecokelatan menyejajarkan langkah dengannya.
"Tidak." [Name] mengeluarkan kunci gimnasium dari dalam tas. "Kupikir tidak akan sedingin ini."
Ia melirik Suna yang masuk ke dalam gimnasium, mendesah memikirkan betapa nyamannya mengenakan jaket tebal saat ini. Pikiran itu buru-buru ditepis. Tidak ada gunanya menyesal, lebih baik mulai membersihkan gimnasium dan memasang net, lalu berharap semua aktivitas itu akan sedikit menghangatkan tubuhnya.
[Name] cukup dekat dengan Suna—mengingat mereka sekelas dan meja mereka berdampingan, tapi baik dirinya maupun Suna bukanlah orang yang suka bicara banyak. Maka tidak heran gimnasium cenderung hening terlepas dari mereka yang sibuk dengan tugas masing-masing, kecuali suara giginya yang gemeletuk menahan dingin.
"Ini. Pakailah." [Name] berbalik di waktu yang tepat ketika sebuah jaket menghantam wajahnya. "Gertakan gigimu itu mengganggu."
[Name] terkekeh, memakai jaket pemberian rekan satu timnya. "Ah ... Suna Rintarou ternyata adalah seorang pria baik hati yang peduli dengan temannya."
Suna melirik [Name] tanpa minat, tampak tak terpengaruh dengan lelucon sang gadis. "Kutarik niat baikku. Sini, kembalikan jaketku."
[Name] mendecak dengan gaya berlebihan. "Bayangkan betapa kecewanya penggemarmu jika tahu idolanya adalah pria keji yang membiarkan gadis tak berdaya membeku."
"Aku tidak peduli dengan mereka." Suna mengembuskan napas berat ketika berhasil memasang net, memandang [Name] dengan ekspresi setengah mengantuk. "Dan apakah kau sudah selesai? Sebentar lagi latihan pagi akan dimulai. Aku tidak ingin ditegur Kita-san."
[Name] tertawa sambil mengangguk. Sejujurnya ia tidak pernah ditegur oleh kapten tim voli putra, tapi melihat bagaimana anak kelas dua takut dan langsung menegang ketika sang kapten angkat bicara menjadi hiburan tersendiri untuknya. Percayalah, satu-satunya alasan mengapa sang kapten sering menegur anak kelas dua adalah karena mereka terlalu banyak tingkah.
Ia baru saja keluar dari ruang penyimpanan ketika pintu gimnasium berderak. Sapaan saling bertukar ketika mereka bertemu satu sama lain, bahkan beberapa ada yang mengeluh tentang berangkat terlalu pagi di hari yang dingin. Namun, netranya langsung bersirobok dengan iris keabuan si opposite hitter.
[Name] menghampiri kekasihnya yang baru keluar dari ruang ganti. "Selamat pagi, Samu."
"Selamat pagi." Miya Osamu mengerutkan dahi ketika menelisik sosok kekasihnya. "Jaketmu kebesaran?"
"Ah, ini?" Ia mengamati diri, baru menyadari bahwa jaket Suna memang kebesaran di tubuhnya. Lengan jaketnya terlalu panjang hingga melewati jari-jarinya. "Bukan jaketku. Ini jaket Suna."
Si Bungsu Miya semakin memberengut, tak suka dengan gagasan gadisnya mengenakan pakaian pria lain. "Kenapa kau memakai jaket Suna?"
"Karena aku meninggalkan jaketku di rumah, Samu." Ia menatap sang pria dengan penuh selidik, heran dengan perubahan sikap Osamu. "Kenapa? Ada yang salah?"
Osamu mengambil langkah untuk mengikis jarak. Tangannya terjulur, menggenggam jaket pada bagian bahu dengan tatapan marah. Tanpa bicara, pria berambut keabuan itu mendorong jaket yang kebesaran dari pundak gadisnya. Diabaikan tatapan penuh tanda tanya yang terpancar di netra gelap sang gadis, terlalu kesal untuk memberi respons dengan kepala dingin.
"Lepas," titahnya tegas. [Name] menurut dengan bibir mencebik. Kemudian Osamu melempar jaket itu kembali pada sang pemilik. "Oi Suna. Makasih jaketnya."
Masih tidak mengerti apa yang dipikirkan oleh Osamu, [Name] meringis ketika sang pria menggamit pergelangan tangannya erat. Ia mengekori Osamu menuju ruang ganti. Alisnya terangkat tinggi ketika Osamu memintanya untuk duduk lalu membongkar sesuatu dari lokernya.
"Lain kali jangan pakai jaket orang lain, mengerti?" Osamu berbalik, menyampirkan jaket berwarna merah gelap di bahu [Name]. "Kau bisa memintaku membawakan jaket untuk tadi pagi, bodoh."
[Name] memberengut. "Tapi kau bilang sudah berangkat tadi pagi."
Osamu mendecak, menyentil kening [Name]. "Aku baru keluar gerbang. Lagipula lebih baik kembali ke rumah untuk mengambil jaket tambahan daripada menemukan kekasihku membeku karena ceroboh."
"Atau kau bisa langsung ke sekolah dan aku meminjam jaket temanku. Bagaimana? Solusi yang baik untuk kita berdua, kan?" [Name] melipat kedua tangannya di depan dada, mencoba memenangkan argumen dengan sang pria.
"Kupikir Tsumu sudah paling bodoh." Osamu menghela napas panjang. Ia menarik resleting jaket hingga sebatas dagu [Name]. "Aku tidak suka kau pakai jaket orang lain, oke? Apalagi kalau laki-laki."
[Name] mengulum senyum geli. Miya Osamu yang biasanya tampak tak terpengaruh oleh sekitar—kecuali kalau Atsumu yang menjadi biang keladi, kini terpancing emosi oleh hal sesepele jaket.
"Oh ya? Kenapa begitu?"
"Karena kau milikku. Masa yang begitu tidak mengerti?" Osamu berjongkok di depan [Name], meraih jemari gadis itu dalam genggamannya lalu menempatkan tautan jari mereka di atas paha kekasihnya. "Seumur hidupku aku harus berbagi segalanya dengan saudaraku, tapi kau ... hanya kau yang tidak akan kuizinkan untuk disentuh oleh siapapun, oke?"
[Name] tercenung, lalu mengangguk paham. "Oke, Samu."
"Lain kali langsung datang padaku kalau ada masalah," gumam Osamu sembari meremat lembut tangan [Name]. "Aku tidak peduli apa masalahmu. Baik sekadar tugas yang belum selesai atau sekecil jaketmu yang tertinggal. Langsung beritahu aku, oke?"
[Name] terkekeh kecil. Ia mengangkat kepalan tangan mereka, meninggalkan kecupan singkat pada punggung tangan Osamu. "Jika ada masalah, langsung datang padamu. Akan kuingat itu."
Osamu mencondongkan tubuh, menyapukan bibirnya pada dahi [Name]. "Gadis pintar."
Pria itu terkekeh kala mendapati kekasihnya memalingkan wajah, tapi semburat merah pada telinga [Name] memberitahu isi hati gadis itu sebenarnya. Osamu mengusak rambut [Name] lembut, meyakinkan diri bahwa gadisnya tak lagi terancam bahaya membiru lantaran terlalu lama terpapar suhu dingin.
"Lebih baik aku kembali sebelum Kita-san mencariku," ujar Osamu seraya beranjak dari posisi. Ia menghentikan langkah tatkala teringat sesuatu. "Aku tidak tahu kau sudah sarapan atau belum, tapi aku membawa kotak bekal lebih. Tamagoyaki dan sosis gurita. Makan saja kalau kau mau."
Pria itu tertawa kecil ketika gadisnya meloncat ke loker, antusias untuk mencoba masakannya. Benar-benar. Jika gadisnya semenggemaskan ini, mana sudi ia membiarkan pria lain menyentuhnya?
Jika hari ini ia bermain lebih agresif dari biasanya—sangat agresif sampai Atsumu meliriknya was-was, maka hanya ia yang tahu alasannya. Dan tidak. Serve yang terakhir itu memang tidak sengaja mengenai Suna, bukan intensinya memukul sekuat tenaga dan menargetkan si rubah tibet itu. Sama sekali bukan.
YOU ARE READING
Haikyu!! One Shots
FanfictionSekumpulan cerita mengenai dirimu yang menjadi pasangan para atlet voli di berbagai situasi