Iwaizumi mengerang ketika ponselnya berdering nyaring, menggema di kamar tidurnya yang gelap. Meraba selimut dan tidak menemukan ponselnya, Iwaizumi terpaksa membuka mata dan mendapati ponselnya bergetar di meja nakas.
Matanya menyipit kala cahaya dari ponsel membutakannya selama beberapa detik. Helaan napas rendah lolos ketika tahu bahwa yang menelepon adalah gadisnya. Menggeser tombol hijau pada layar, Iwaizumi menyandarkan punggung pada kepala ranjang, siap mendengarkan apapun yang mengusik lelap sang gadis.
"Hajime, apa aku membangunkanmu?" suara [Name] yang menyapa telinga membuat Iwaizumi kesulitan untuk menahan senyum tipis.
"Tidak apa-apa," balasnya menenangkan kecemasan [Name]. "Ada apa? Kenapa masih terjaga?"
Hening sesaat dari seberang. Samar-samar Iwaizumi mendengar gemeresak selimut, menandakan [Name] tengah berganti posisi. Ia menunggu dengan sabar. Berulang kali mengerjapkan mata untuk menghalau kantuk yang masih bergelayut di kelopak.
"Hajime, apakah kau menyayangiku sebagai seorang kekasih atau seorang teman?"
Iwaizumi mengerjap. Ia menjauhkan ponsel dari telinga seolah [Name] bisa muncul dari layar ponselnya. Keningnya berkerut samar lalu mengerang setengah geli setengah jengkel. [Name] memang memiliki tendensi untuk melontarkan pertanyaan acak yang aneh jika gadis itu gelisah, tapi Iwaizumi tidak mengantisipasi pertanyaan yang keluar akan sebegini anehnya.
"Kau serius?" tanyanya kesulitan menyembunyikan sirat sebal. "Kau membangunkanku jam ...," Iwaizumi melirik jam digital di atas nakas," ... jam tiga pagi untuk bertanya apakah aku menyayangimu sebagai seorang kekasih atau teman?"
"Ini pertanyaan penting, Hajime," desak [Name] menuntut. "Jawabanmu akan menentukan apakah hubungan kita bisa berlanjut atau tidak."
"Oh, astaga." Iwaizumi mengusap wajahnya kasar. Meski begitu, bibirnya mengulas senyum geli. "Kau membuatku gila, tahu."
[Name] tertawa kecil. "Apa itu sebuah pujian?"
"Iya, itu sebuah pujian," kekeh Iwaizumi. "Dan untuk menjawab pertanyaanmu, aku menyayangimu. Kau gadisku. Kalau kau belum membuatku gila setelah pertanyaan-pertanyaan bodohmu, mungkin kau berkesempatan kupanggil 'istri', bagaimana?"
[Name] terkesiap. Iwaizumi bisa mendengar jeritan tertahan—ia membayangkan [Name] tengah menutupi wajahnya dengan bantal lalu berteriak dengan ekspresi menggemaskan. "Kau bersungguh-sungguh?"
"Kenapa tidak?" Ia mengangkat bahu tanpa sadar. "Ingat. Hanya jika kau belum membuatku gila."
"Sayangnya, kita berdua tahu kau sudah tergila-gila padaku sejak kita pertama kali bertemu, Hajime," tukas [Name]. "Jangan berusaha mengelak. Oikawa menceritakan segalanya, termasuk bagaimana wajahnya yang berubah merah setiap kali kita bertemu di lorong sekolah."
Iwaizumi mengerang. "Oikawa sialan."
"Astaga!" seruan [Name] membuat punggung Iwaizumi menegang. "Apa ini artinya aku tidak bisa menjadi istrimu? Aku sudah membuatmu gila, Hajime. Bagaimana ini?"
Iwaizumi mengembuskan napas yang tanpa sadar ia tahan. Dalam hati mengutuk tingkah sang gadis yang dengan mudah mengguncangkan emosinya. Sungguh. Iwaizumi beberapa tahun lalu takkan menyangka bahwa ia bisa dengan mudah dikerjai oleh seorang gadis. Ia yakin, Oikawa menyebutnya dengan kata 'kasmaran'.
"Kalau kau tidur sekarang, kupertimbangkan untuk memintamu menjadi istriku beberapa tahun lagi," tawar Iwaizumi tenang.
Ia tahu ada sesuatu yang mengusik [Name], tetapi gadis itu terlalu mandiri untuk mengungkapkan kekhawatirannya dengan cara yang gamblang. Entah sudah berapa kali mereka melewati hal semacam ini agar [Name] mau mengutarakan apa yang berada dalam pikiran.
YOU ARE READING
Haikyu!! One Shots
FanfictionSekumpulan cerita mengenai dirimu yang menjadi pasangan para atlet voli di berbagai situasi